Dalam beberapa tahun terakhir, lembaga peradilan di Indonesia menghadapi sorotan tajam dari masyarakat. Kritik datang bertubi-tubi, mulai dari ketidakpercayaan terhadap integritas hakim hingga isu dugaan pelanggaran etika. Kondisi ini tentu menempatkan para hakim dalam posisi yang tidak mudah. Di satu sisi, mereka adalah pengemban amanah keadilan; di sisi lain, mereka harus menjalankan tugas dalam situasi krisis kepercayaan publik.
Krisis ini tak lepas dari sejumlah kasus yang mencuat ke publik dan melibatkan aktor-aktor di lingkungan pengadilan. Namun, penting untuk dipahami bahwa satu atau dua kesalahan tidak dapat dijadikan tolok ukur atas keseluruhan institusi. Di tengah turbulensi ini, banyak hakim tetap teguh menjaga profesionalisme, bekerja dalam senyap untuk memastikan keadilan dapat ditegakkan.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan, hakim harus mandiri, bebas dari campur tangan pihak manapun, dan hanya tunduk pada hukum dan hati nuraninya. Mandat ini tidak hanya bersifat normatif, tetapi merupakan fondasi utama dalam menjaga martabat institusi peradilan.
Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif tertinggi memiliki tanggung jawab besar dalam memulihkan kepercayaan publik. Melalui penguatan sistem pengawasan internal, penerapan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran, serta pembinaan berkelanjutan kepada para hakim, diharapkan citra lembaga peradilan dapat kembali pulih.
Menjadi hakim hari ini berarti lebih dari sekadar memahami hukum. Dibutuhkan keteguhan moral, integritas tanpa celah, serta kemampuan menghadapi tekanan dari berbagai arah. Hakim dituntut tidak hanya memutus perkara, tapi juga menjadi teladan dalam bersikap, baik di ruang sidang maupun dalam kehidupan sosial.
Ke depan, penting kiranya Mahkamah Agung terus memperkuat narasi positif dan memberikan ruang kepada hakim-hakim yang telah bekerja dengan baik untuk bersuara. Di tengah gempuran opini negatif, publik perlu tahu bahwa masih banyak hakim yang berdiri kokoh di atas nilai keadilan dan etika profesi.
Krisis kepercayaan bisa menjadi momentum perbaikan. Asalkan seluruh elemen di lembaga peradilan bersatu menjaga marwah institusi, maka kepercayaan publik perlahan akan pulih. Karena sejatinya, keadilan tidak hanya harus ditegakkan, tetapi juga harus tampak ditegakkan.