Pendahuluan: Dilema Kontemporer Administrasi Peradilan
Lembaga peradilan, sebagai benteng terakhir keadilan, menghadapi dilema struktural yang kian nyata: bagaimana merumuskan sistem waktu kerja dan presensi yang mencerminkan martabat dan karakter kerja yudisial. Francis Fukuyama (2014) menegaskan, institusi yang kuat berdiri di atas ketegangan antara otonomi dan akuntabilitas.
Bagi hakim, ketegangan ini bukan abstraksi teoritis, melainkan realitas harian: menjaga independensi berpikir sekaligus tunduk pada mekanisme pertanggungjawaban. Namun, apakah kehadiran fisik semata dapat menjadi indikator integritas seorang hakim?
Dalam konteks Indonesia, dilema ini membentur berbagai realitas lapangan: beban perkara yang tidak proporsional, tingkat kompleksitas yang sangat bervariasi, dan sistem mutasi yang memisahkan hakim dari basis sosial dan keluarganya. Jarak ratusan kilometer antara tempat tugas dan domisili keluarga bukan hal langka, melainkan gejala sistemik.
Di bawah tekanan semacam itu, tuntutan presensi yang rigid justru menciptakan paradoks, kehadiran dipaksakan, namun produktivitas dan kejernihan berpikir terkorbankan. Sistem presensi yang dirancang menyerupai birokrasi administratif gagal menangkap watak kerja yudisial yang hakikatnya kontemplatif, tidak seragam, dan sangat bergantung pada ruang intelektual.
Maka, pertanyaan dasarnya bukan lagi "bagaimana memastikan hakim hadir secara fisik", melainkan "bagaimana membangun sistem yang memfasilitasi kerja yudisial secara optimal, tanpa kehilangan transparansi dan kepercayaan publik". Untuk itu, diperlukan keberanian untuk ke luar dari kerangka pikir biner antara fleksibilitas dan akuntabilitas, dan bergerak menuju sintesis yang menghormati kompleksitas kerja hakim sebagai penjaga nurani konstitusi.
Anatomi Kompleksitas Kerja Yudisial di Indonesi
Sistem presensi hakim tidak dapat disamakan dengan pegawai administratif karena kerja yudisial bersifat multidimensi. Hakim tidak hanya hadir dalam persidangan, tetapi juga menjalankan aktivitas intelektual yang memerlukan ruang reflektif dan waktu kerja yang fleksibel (Barak, 1983). Proses berpikir hukum, analisis fakta, dan pembentukan argumentasi hukum membutuhkan kondisi mental tertentu yang tidak dapat dibatasi oleh jam kerja kaku. Dworkin menyebutnya sebagai reflective equilibrium-keseimbangan reflektif yang mustahil dicapai di bawah tekanan waktu yang artifisial (Dworkin, 1986).
Selain itu, beban kerja hakim sangat bervariasi. Perkara sederhana dapat diselesaikan dalam hitungan jam, sementara perkara kompleks bisa memerlukan riset mendalam berbulan-bulan. Sistem presensi yang mengasumsikan keseragaman ritme kerja jelas tidak relevan. Di sisi lain, kerja hakim juga bersifat kolaboratif-melibatkan diskusi antarhakim, pelatihan teknis, hingga riset bersama-yang semuanya tidak selalu terjadwal secara formal (Edwards, 2003).
Faktor lain yang tak kalah penting adalah sistem mutasi yang membuat masa tugas hakim bersifat sementara dan memerlukan adaptasi sosial yang signifikan. Ketika adaptasi ini dibatasi oleh presensi yang rigid, fragmentasi psikologis pun tak terhindarkan, dan hal itu dapat memengaruhi kualitas putusan. Karena itu, diperlukan sistem presensi yang lebih adaptif—yang tidak hanya menjaga akuntabilitas, tetapi juga memberi ruang bagi fleksibilitas sesuai dengan karakter kerja yudisial.
Teknologi sebagai pemberdaya, Bukan pengendali
Dalam arus modernisasi administrasi peradilan, teknologi kerap diperlakukan bak peluru perak, solusi instan bagi segala persoalan, termasuk dalam pengelolaan presensi hakim.
Namun, pendekatan yang menempatkan teknologi secara deterministik, tanpa menyentuh sosiologi kerja peradilan, berisiko menimbulkan disfungsi yang tak kasat mata. Sebagaimana dikritik oleh Evgeny Morozov (2013), obsesi pada technological solutionism justru menyederhanakan masalah kompleks menjadi sekadar soal pengukuran dan kendali.
Sistem presensi biometrik atau kehadiran digital yang rigid mungkin efektif untuk pekerjaan rutin berbasis input, namun berpotensi menimbulkan frustasi dalam ekosistem kerja yudisial yang sangat bergantung pada ruang intelektual dan waktu reflektif. Teknologi, dalam konteks ini, seharusnya bukan menjadi alat kontrol atas kehadiran fisik, melainkan sarana fasilitasi akuntabilitas substantif. Yang dibutuhkan bukan "pengawasan", tetapi "pembuktian kontribusi".
Fukuyama (2014) menawarkan kerangka “getting to Denmark”, yakni menciptakan sistem yang mampu memadukan high trust dan high accountability. Dalam kerangka itu, teknologi idealnya menjadi medium transparansi yang memperlihatkan produktivitas yudisial secara utuh: dari jumlah dan ketepatan waktu putusan, kualitas argumentasi hukum, hingga partisipasi dalam ekosistem pengetahuan hukum. Model seperti ini bukan hanya melampaui logika kehadiran, tetapi juga menghargai dimensi performa yang selama ini tersembunyi di balik meja kerja hakim.
Integritas sebagai Pondasi, Bukan Renungan
Diskusi tentang sistem presensi hakim seringkali terjebak dalam pendekatan instrumental, bagaimana memastikan hakim "hadir" dan "bekerja." Padahal, pertanyaan yang lebih fundamental adalah bagaimana sistem tersebut dapat mendukung dan memperkuat integritas yudisial.
Integritas dalam konteks yudisial tidak hanya soal kejujuran atau ketiadaan korupsi, tetapi juga tentang kejujuran intelektual, konsistensi dalam penerapan prinsip hukum,dan komitmen terhadap keadilan. Sistem presensi yang suportif terhadap integritas adalah sistem yang memungkinkan hakim untuk melakukan pekerjaan mereka dengan optimal, termasuk memberikan waktu yang cukup untuk refleksikan pekerjaannya, penelitian, dan konsultasi.
Paradoksnya, sistem presensi yang terlalu rigid justru dapat menghambat integritas judisial. Ketika hakim dipaksa untuk "tampil hadir" tanpa mempertimbangkan kualitas mental dan persiapan mereka, risiko terjadinya pengambilan keputusan yang dangkal atau bahkan judicial error menjadi lebih tinggi. Sebagaimana yang diamati oleh Richard Posner dalam How Judges Think, kualitas yudisial sangat tergantung pada kondisi mental dan persiapan yang memadai (Richard A. Posner, 2008).
Apa yang dibutuhkan adalah perubahan paradigma dari "presence-based accountability" menuju "outcome-based accountability." Sistem yang fokus pada hasil-kualitas putusan, ketepatan waktu penyelesaian perkara, kepuasaan level dari stakeholder terkait-memberikan insentif yang lebih tepat bagi hakim untuk menjaga integritas professional mereka.
Menuju Sintesa: Kerangka Akuntabilitas yang Fleksibel
Berdasarkan analisis kompleksitas di atas, Indonesia memerlukan apa yang dapat disebut sebagai "Flexible Accountability Framework" untuk sistem presensi dan jam kerja hakim. Kerangka kerja ini dibangun atas tiga pilar utama: penjadwalan kerja yang bersidat adaptif, pengukuran berbasis hasil, dan transparansi yang didukung teknologi.
Penjadwalan kerja adaptif mengakui bahwa kerja yudisial memiliki ritme yang berbeda-beda. Alih-alih menerapkan jam kerja yang bersifat seragam, sistem ini memungkinkan hakim untuk mengelola waktu mereka berdasarkan beban kasus, kompleksitas kasus, dan pola produktivitas pribadi. Tentu saja, fleksibilitas ini bukan tanpa batas, ada jam kerja utama dimana hakim diwajibkan hadir untuk persidangan dan koordinasi, tetapi ada juga jam kerja fleksibel dimana mereka dapat melakukan kerja secara mendalam.
Pengukuran berbasis hasil, menggeser fokus dari input (jam kerja) ke output (hasil kerja). Hakim dinilai berdasarkan kualitas putusan, ketepatan waktu penyelesaian perkara, kontribusi terhadap yurisprudensi, dan feedback dari komunitas hukum. Sistem ini memberikan insentif yang tepat: hakim yang produktif dan berkualitas mendapat pengakuan, sementara yang underperform mendapat dukungan dan tentunya pelatihan.
Transparansi yang didukung teknologi. menggunakan teknologi untuk menciptakan visibility tanpa menciptakan beban. Dashboard yang menampilkan produktivitas hakim, sistem manajemen perkara yang terintegrasi, dan platform berbagi pengetahuan hukum memungkinkan stakeholder untuk melihat kontribusi hakim tanpa mengatur aktivitas harian secara mikro mereka.
Implementasi dan Tantangan Kedepan
Implementasi kerangka akuntabilitas yang fleksibel tentu menghadapi tantangan, mulai dari resistensi internal komunitas yudisial yang terbiasa dengan pola konvensional, hingga kesulitan merumuskan indikator kinerja yang adil dan potensi salah tafsir publik terhadap konsep fleksibilitas (David S. Law, 2010).
Namun, tantangan ini dapat dikelola melalui strategi manajemen perubahan yang terukur, mulai dari pilot project di beberapa pengadilan, konsultasi berkelanjutan dengan para hakim dan pemangku kepentingan, hingga edukasi publik yang menekankan bahwa fleksibilitas bukan pelemahan integritas, melainkan jalan menuju pelayanan keadilan yang lebih manusiawi dan berkualitas.
Pengalaman negara seperti Inggris, Singapura, dan Jerman membuktikan bahwa fleksibilitas kerja yudisial dapat berjalan berdampingan dengan akuntabilitas yang kuat. Di Inggris, hakim diberi ruang untuk sidang malam, bekerja di luar jam kantor, hingga memilih skema kerja paruh waktu di tingkat tinggi, selama tidak mengganggu fungsi pokok pengadilan. Konsep Flexible Operating Hours yang telah diterapkan untuk pengadilan sipil dan keluarga menjadi contoh adaptasi sistemik terhadap kebutuhan zaman.
Efektivitas peradilan, dengan demikian, tidak lagi ditakar dari kehadiran fisik semata, melainkan dari kualitas output, efisiensi penyelesaian perkara, dan kemampuan sistem merespons realitas kontemporer. Di sinilah pentingnya membangun sistem berbasis kepercayaan (trust-based system) yang ditopang oleh metrik kinerja substantif dan mekanisme transparansi yang kokoh (Lasser, 2004; HMCTS, 2018).
Kesimpulan: Menuju Administrasi Peradilan yang Dewasa
Redesain sistem presensi dan jam kerja hakim bukan semata soal teknis administratif, melainkan cermin kedewasaan institusional dalam mengelola kekuasaan kehakiman. Pergeseran dari pendekatan berbasis kontrol menuju kerangka kerja berbasis kepercayaan dan akuntabilitas menandai langkah penting dalam evolusi administrasi peradilan di Indonesia.
Pertanyaan mendasarnya: bagaimana merancang sistem akuntabilitas yang menjaga esensi kerja yudisial, yang menuntut ruang intelektual dan keseimbangan psiko-sosial, tanpa mengabaikan kepercayaan publik? Jawabannya terletak pada pengembangan paradigma presensi yang lebih kontekstual, humanis, dan responsif terhadap kompleksitas kerja hakim.
Dalam jangka panjang, sistem yang memadukan fleksibilitas profesional dengan mekanisme akuntabilitas yang kuat akan memperkuat kualitas putusan, mempertebal integritas lembaga, dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap peradilan. Seperti diingatkan Fukuyama, pembangunan institusi adalah proses jangka panjang yang menuntut kesabaran. Reformasi presensi hakim mungkin tampak sederhana, namun dampaknya menyentuh fondasi rule of law itu sendiri. Saatnya kita menata ulang sistem ini dengan cara yang matang dan berkarakter.