Saatnya Negara Serius Merampas Aset Hasil Tindak Pidana

Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Terkait dengan Tindak Pidana hadir untuk menutup celah itu. Aturan ini memperkenalkan mekanisme perampasan aset berbasis in rem (Pasal 2
Ilustrasi pengelolaan barang rampasan dan pemulihan aset tindak pidana. Foto djkn.kemenkeu.go.id/
Ilustrasi pengelolaan barang rampasan dan pemulihan aset tindak pidana. Foto djkn.kemenkeu.go.id/

Kerap kali kita mendengar pelaku tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, maupun kejahatan transnasional, dijatuhi hukuman penjara, namun harta hasil kejahatan mereka tetap aman. 

Bahkan, tidak sedikit kasus di mana aset tersebut justru dinikmati oleh keluarga atau pihak lain, sementara kerugian negara tak kunjung pulih. 

Kondisi ini menunjukkan adanya celah dalam sistem hukum kita yang terlalu fokus menghukum pelaku, bukan pada mengembalikan hasil kejahatannya.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Terkait dengan Tindak Pidana hadir untuk menutup celah itu. Aturan ini memperkenalkan mekanisme perampasan aset berbasis in rem (Pasal 2, Penjelasan Pasal 2 draft RUU Perampasan Aset Terkait Dengan Tindak Pidana), yakni fokus pada benda/aset, bukan pada orangnya. 

Dengan demikian, negara tetap dapat merampas aset yang diduga berasal dari tindak pidana, bahkan jika pelaku sudah buron, meninggal, atau belum divonis bersalah (Pasal 7 draft RUU Perampasan Aset Terkait Dengan Tindak Pidana).

Aturan di Negara Lain

Indonesia tidak sendirian dalam langkah ini. Australia sudah lebih dulu menerapkan aturan unexplained wealth, yang memaksa pemilik kekayaan menjelaskan asal-usul hartanya. Inggris melalui Proceeds of Crime Act 2002 bahkan memungkinkan perampasan aset lewat jalur perdata.

RUU Perampasan Aset mengadopsi semangat serupa. Misalnya, Pasal 5 ayat (2) huruf a memperbolehkan perampasan terhadap aset yang tidak seimbang dengan penghasilan dan tidak bisa dibuktikan asal-usulnya secara sah. Ketentuan ini mirip dengan rezim unexplained wealth di luar negeri.

Peran Mahkamah Agung

Agar aturan ini tidak bergeser menjadi alat kesewenang-wenangan, peran Mahkamah Agung (MA) sangat krusial. Pasal 49 draft RUU Perampasan Aset Terkait Dengan Tindak Pidana secara eksplisit menugaskan Mahkamah Agung untuk mengatur proses peradilan permohonan perampasan aset melalui Peraturan Mahkamah Agung. 

Artinya, MA adalah penentu arah penerapan aturan ini untuk menjaga konsistensi putusan, melindungi asas praduga tak bersalah, dan mengawal agar pembalikan beban pembuktian tidak melanggar hak asasi.

Lebih jauh, putusan kasasi (Pasal 47 draft RUU Perampasan Aset Terkait Dengan Tindak Pidana) yang bersifat final dan mengikat akan menjadi sumber yurisprudensi penting. Dari titik inilah legitimasi dan kepastian hukum bisa dibangun.

Sejatinya, Mahkamah Agung pernah mengeluarkan Perma Nomor 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan. 

Peraturan ini lahir untuk mengisi kekosongan hukum acara dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencucian Uang.

Di dalamnya, Perma tersebut secara rinci mengatur mekanisme penanganan aset. Permohonan penanganan harta kekayaan dapat diajukan oleh penyidik, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 hingga Pasal 3 Perma Nomor 1 Tahun 2013. 

Setelah itu, Pengadilan Negeri berkewajiban mengumumkan permohonan tersebut selama 30 hari penuh. Tujuannya agar pihak ketiga yang merasa berhak, khususnya mereka yang beritikad baik, mendapat kesempatan untuk mengajukan keberatan (Pasal 8 Perma Nomor 1 Tahun 2013).

Selanjutnya, hakim diberi kewajiban untuk segera memutus permohonan tersebut dalam jangka waktu paling lama tujuh hari sidang. Putusan ini menentukan apakah harta kekayaan dimaksud akan ditetapkan sebagai aset negara atau dikembalikan kepada pihak yang berhak (Pasal 10 Perma Nomor 1 Tahun 2013). 

Tidak berhenti di situ, Perma ini juga membuka ruang bagi pihak ketiga yang keberatan atas putusan tersebut. Mekanisme keberatan diatur secara jelas, lengkap dengan tata cara pembuktian, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 19 Perma Nomor 1 Tahun 2013.

Kerangka hukum acara yang diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2013 ini pada akhirnya menjadi fondasi awal yang sangat penting bagi pengaturan lebih luas di dalam RUU Perampasan Aset. 

Dengan adanya pengalaman yuridis ini, konsistensi dan kepastian hukum dalam perampasan aset dapat lebih terjaga, sekaligus memastikan perlindungan hak bagi pihak-pihak yang beritikad baik.

Orientasi RUU Perampasan Aset

Tujuan utama dari aturan ini bukan sekadar menghukum pelaku, melainkan mengembalikan hak rakyat. Aset hasil kejahatan yang dirampas negara tidak boleh dibiarkan mengendap, melainkan harus dikelola secara profesional, transparan, dan akuntabel. 

Pasal 50–52 draft RUU Perampasan Aset Terkait Dengan Tindak Pidana menugaskan Jaksa Agung untuk melakukan penyimpanan, pengamanan, penilaian, hingga pemanfaatan aset rampasan. 

Bahkan, Pasal 56–58 draft RUU Perampasan Aset Terkait Dengan Tindak Pidana membuka ruang agar aset dilelang atau digunakan untuk kepentingan publik—misalnya membangun sekolah, rumah sakit, atau infrastruktur yang bermanfaat langsung bagi masyarakat.

Namun, keberhasilan aturan ini hanya bisa tercapai jika implementasinya diawasi ketat. Transparansi dan akuntabilitas bukan sekadar jargon, melainkan syarat mutlak agar publik percaya bahwa aset yang dirampas benar-benar kembali untuk kepentingan bangsa.

Penutup

RUU Perampasan Aset adalah langkah maju yang patut diapresiasi. Ia menutup celah hukum yang selama ini membuat hasil kejahatan tetap nyaman di tangan para koruptor atau keluarga mereka. 

Tetapi, tanpa pengawalan Mahkamah Agung yang konsisten dan independen, aturan ini bisa kehilangan ruh keadilannya.

Harapan publik jelas RUU ini harus memperlihatkan wajah negara yang kuat dalam memberantas kejahatan ekonomi, sekaligus adil dalam melindungi hak-hak warga negara.