Pendahuluan
Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah menargetkan zero ODOL (Over Dimention Over Loading) pada 2023, namun urung terlaksana dan kembali diberlakukan pada 2025.
Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum (PU) Roy Rizali Anwar menyebut aktivitas truk ODOL berdampak pada negara. Kendaraan ODOL juga memboroskan keuangan negara sebesar Rp43,47 triliun per tahun dalam 10 tahun terakhir.
Kerugian tahunan sebesar itu, timbul akibat jalanan yang rusak lebih cepat dari usia seharusnya. Akibat kelebihan muatan, infrastruktur jadi lebih cepat rusak.
Pemodifikasian suatu kendaraan bermotor sejatinya tidaklah dilarang secara mutlak, kegiatan tersebut diperbolehkan asal dilakukan sesuai prosedur yang berlaku, dibuktikan dengan hasil akhir berupa surat keputusan pengesahan rancang bangun dan rekayasa serta sertifikat registrasi uji tipe.
Pemodifikasian kendaraan bermotor tidak dapat dilakukan secara sembarangan dan tidak boleh membahayakan keselamatan berlalu lintas, mengganggu arus lalu lintas, serta merusak lapis perkerasan/daya dukung jalan yang dilalui, sebagaimana Pasal 52 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UULLAJ).
Dalam UULLAJ, terdapat dua ketentuan yang terkait dengan tindak pidana ODOL, yaitu:
1. Pasal 277, lengkapnya berbunyi: “setiap orang yang memasukkan kendaraan bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan ke dalam wilayah Republik Indonesia, membuat, merakit, atau memodifikasi Kendaraan Bermotor yang menyebabkan perubahan tipe, kereta gandengan, kereta tempelan, dan kendaraan khusus yang dioperasikan di dalam negeri yang tidak memenuhi kewajiban uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah)”.
2. Pasal 307, lengkapnya berbunyi: “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Angkutan Umum Barang yang tidak mematuhi ketentuan mengenai tata cara pemuatan, daya angkut, dimensi kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)”.
Oleh karena rezim UULLAJ masih menganut dikotomi berupa tindak pidana pelanggaran atau kejahatan, adapun Pasal 307 digolongkan ke dalam tindak pidana pelanggaran, sedangkan Pasal 277 ke dalam tindak pidana kejahatan.
Berdasarkan Pasal 6 ayat 1 huruf e PERMA No. 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, tindak pidana lalu lintas yang berupa kejahatan, menjadi salah satu jenis perkara yang dapat diterapkan PERMA tersebut, meskipun demikian dalam hal terdapat perkara yang memuat dakwaan Pasal 277 UULLAJ, hakim tampaknya tidak dapat serta merta menerapkan pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif, sesuai PERMA 1/2024, oleh karena:
- Berdasarkan definisi keadilan restoratif dalam pasal 1 angka 1 PERMA 1/2024, tindak pidana mengharuskan menimbulkan korban, sehingga disyaratkan eksistensi dan keterlibatan korban atau keluarganya dalam proses keadilan restoratif. Sedangkan Pasal 277 UULLAJ, sama sekali tidak mensyaratkan adanya korban dalam pembuktian unsur-unsurnya.
- Meskipun negara mengalami kerugian akibat praktek ODOL, dalam konteks penerapan PERMA 1/2024, negara tidak dapat dikualifisir berstatus korban, hal mana sesuai asas expressio unius est exclusio alterius, yakni ruang lingkup dan konsep korban telah ditentukan khusus, sehingga tidak dapat ditafsirkan berbeda, sebagaimana definisi dalam Pasal 1 angka 2 PERMA 1/2024.
Penjatuhan Pidana Denda Sebagai Wujud Spirit Keadilan Restoratif
Berdasarkan uraian di atas, meskipun secara prosedural formal, hakim tidak dapat menjalankan PERMA 1/2024 terhadap perkara dengan dakwaan 277 UULLAJ, akan tetapi sudut pandang hakim, spirit dari wujud keberhasilan tercapainya keadilan restoratif adalah dengan bentuk meringankan hukuman dan/atau menjatuhkan pidana bersyarat/pengawasan (vide: Pasal 19 ayat 1 PERMA 1/2024).
Keringanan hukuman mencakup perubahan jenis pidana maupun besarannya dari tuntutan penuntut umum. Dalam konteks Pasal 277 UULLAJ yang memuat ancaman pidana alternatif (penjara atau denda), meskipun tidak sepenuhnya memenuhi konsep keadilan restoratif sebagaimana didefinisikan dalam PERMA 1/2024, semangat dan prinsip keadilan restoratif tetap dapat diterapkan. Salah satunya adalah dengan mengutamakan penjatuhan pidana denda, dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Menyelaraskan dengan Politik Hukum Pidana Nasional terbaru, sebagaimana diatur Pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini mengatur bahwa pidana denda dapat dijatuhkan jika: a) tidak ada korban, b) korban tidak mempermasalahkan, atau c) tindak pidana bukan merupakan pengulangan.
- Pidana denda berkontribusi pada pemulihan kerugian negara, sebagaimana diatur Pasal 42 KUHP jo Pasal 1 angka 1 huruf c PP Nomor 37 Tahun 2024. Dana denda yang dibayarkan akan masuk sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), yang selanjutnya dapat dialokasikan untuk memperbaiki infrastruktur terdampak akibat tindak pidana. Dengan demikian, pidana denda memiliki nilai pemulihan (restoratif) yang nyata.
Tantangan bagi hakim adalah menentukan besaran pidana denda yang proporsional dengan tingkat kesalahan terdakwa. Hal ini penting untuk mencegah persepsi bahwa denda terlalu ringan, yang dapat mengurangi fungsi pidana sebagai prevensi khusus (mencegah terdakwa mengulangi perbuatan) maupun prevensi umum (mencegah masyarakat melakukan pelanggaran serupa).
Jika nilai denda terlalu kecil, pelaku maupun pihak lain mungkin menilai keuntungan materiil yang diperoleh dari pelanggaran, seperti dalam kasus ODOL, masih jauh lebih besar dibandingkan risiko pidana dendanya. Akibatnya, tujuan hukum untuk memberi efek jera dan menjaga ketertiban lalu lintas bisa gagal tercapai.
Begitu pula sebaliknya, agar jangan sampai pidana denda yang dijatuhkan menimbulkan kesan atau dianggap terlalu tinggi, yang tidak sebanding dengan dampak yang diakibatkan Terdakwa ataupun total kenikmatan, yang diperoleh selama interval waktu tertentu dalam pengoperasian ODOL.
Meskipun hakim dapat saja menjatuhkan pidana denda maksimal, jika tuntutan penuntut umum adalah berupa pidana penjara, hal mana didasarkan pada postulat “Quaelibet poena corporalis, quamvis minima, majorest quaelibet poena pecuniary” (bagaimanapun ringannya suatu pidana badan, akan lebih berat daripada pidana denda atau seberat-beratnya pidana denda, masih lebih ringan dari suatu pidana badan).
Kondisi dimaksud, menyesuaikan kebijakan pemerintah saat ini, yang gencar melakukan efisiensi anggaran di berbagai sektor pemerintahan, sehingga dengan penjatuhan denda maksimal diharapkan menjadi booster di tengah efisiensi yang dilakukan, guna merestorasi dampak akibat praktek ODOL.
Penentuan Status Barang Bukti dalam Tindak Pidana ODOL
Terhadap penentuan status barang bukti, berdasarkan Pasal 46 ayat (2) KUHAP dan dipertegas Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 359/KMA/SK/XII/2022 tentang Template dan Pedoman Penulisan Putusan/Penetapan Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada Empat Lingkungan Peradilan di Bawah Mahkamah Agung, pada pokoknya memuat pilihan penentuan status barang bukti yang dapat berupa:
- Bukti yang telah dipergunakan melakukan kejahatan dan dikhawatirkan, akan dipergunakan untuk mengulangi kejahatan/merupakan hasil dari kejahatan, maka perlu ditetapkan agar barang bukti tersebut dimusnahkan/dirusak, sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.
- Bukti yang telah dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan/atau merupakan hasil dari kejahatan, serta mempunyai nilai ekonomis, maka perlu ditetapkan agar barang bukti tersebut dirampas untuk negara.
Adapun barang bukti dalam perkara ODOL, lumrahnya terdiri dari sarana yang digunakan untuk melakukan modifikasi (misalnya alat las dan besi penyambung), serta kendaraan (kendaraan bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan) hasil modifikasi itu sendiri.
Terhadap barang bukti berupa kendaraan hasil modifikasi, terlepas dari hakim akan mengkualifisir barang bukti kendaraan tersebut sebagai sarana melaksanakan tindak pidana (instrumentum sceleris), target yang hendak dituju dalam melakukan tindak pidana (objectum sceleris), ataupun hasil dari melakukan tindak pidana (fructum sceleris/productum sceleris), dengan pilihan penentuan status barang bukti sebagaimana tersebut di atas, dapat terjadi kondisi penuntut umum menuntut barang bukti kendaraan dikembalikan kepada terdakwa.
Ada tidaknya tuntutan penuntut umum yang menuntut kendaraan dalam perkara ODOL untuk dikembalikan kepada terdakwa, secara kasuistis hakim dapat menentukan status kendaraan tersebut, dikembalikan kepada terdakwa dengan alasan memang betul adalah miliknya serta didasarkan pada pertimbangan kemanusiaan yakni diperhitungkan sebagai alat/sarana menjalankan mata pencaharian, yang mana terdapat kemungkinan adanya anggota keluarga terdakwa yang bergantung hidup dari sarana tersebut.
Namun, perlu menjadi perhatian apabila hakim hendak menentukan status barang bukti dikembalikan kepada terdakwa, dapat kiranya melakukan terobosan, dengan menambahkan syarat atau frasa berupa mengembalikan kondisi kendaraan seperti sebelum dilakukannya modifikasi.
Hal tersebut, untuk mencegah dilakukannya pengulangan tindak pidana apabila syarat/frasa tersebut tidak dicantumkan. Frasa/syarat dimaksud, juga dapat diterapkan sebagai salah satu syarat terhadap permohonan pinjam pakai barang bukti kendaraan, saat proses persidangan berjalan.