Keterasingan Diri dan Harga Sejati Integritas Seorang Hakim: Refleksi Hukum dalam Perspektif Eksistensialisme

Bagi seorang Hakim, integritas adalah kemampuan untuk bertindak konsisten dengan sumpah jabatan, Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH)
Ilustrasi hakim agung. Foto : freepik.com
Ilustrasi hakim agung. Foto : freepik.com

Integritas seorang Hakim, adalah pilar utama tegaknya keadilan. Integritas tidak hanya berarti bebas dari korupsi maupun suap, tetapi juga mencakup kesatuan antara putusan, tindakan, ucapan dan nilai-nilai luhur yang diyakini. 

Ketika seorang Hakim mengkhianati hati nuraninya demi kepentingan material ataupun kekuasaan, ia tidak hanya merusak wibawa institusi peradilan, tetapi juga mengalami kehancuran dari dalam dirinya sendiri. Fenomena ini, yang dikenal sebagai alienasi atau keterasingan.

Integritas Hakim sebagai Keutuhan Diri (Self-Possession)

Integritas berasal dari bahasa Latin integer yang berarti utuh, lengkap, dan tidak terbagi. 

Bagi seorang Hakim, integritas adalah kemampuan untuk bertindak konsisten dengan sumpah jabatan, Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), dan yang terpenting, dengan hati nuraninya sendiri.

Rollo May (2019), dalam bukunya "Manusia Mencari Dirinya" (Man’s Search for Himself), menawarkan landasan psikologis-eksistensial yang berharga. 

Ia berpendapat, manusia modern sering mengalami kecemasan dan kesepian karena krisis identitas—mereka terasing dari diri otentik mereka (true self). 

Seorang Hakim yang berintegritas, adalah Hakim yang telah menemukan jati dirinya. Ia membuat keputusan berdasarkan nilai-nilai yang ia yakini (keadilan, kemanfaatan, kepastian, kasih sayang) dan bukan didorong oleh ketakutan, iming-iming materi, atau tekanan eksternal. 

Integritas adalah buah dari keberanian untuk memilih eksistensi otentik di tengah kecemasan kebebasan—kebebasan untuk memilih yang benar meskipun sulit, kebebasan untuk memilih yang hak dan menjauhi yang bathil, kebebasan untuk memilih kesederhanaan dan menjauhi hedonisme, kebebasan untuk menggunakan akal pikiran dan hati nuraninya. 

Ketika Hakim menyangkal potensi dirinya untuk menjadi pelayan keadilan yang sejati (seperti disinggung May (2019) dalam konsep existential guilt), ia mulai kehilangan integritas.

Alienasi: Ketika Hakim Terasing dari Peran Mulianya

Fenomena ketiadaan integritas pada Hakim, yaitu ketika ia bersikap koruptif, memihak yang salah, atau bahkan memanipulasi hukum—dapat dipahami sebagai bentuk sempurna dari apa yang dinamakan alienasi atau keterasingan.

Richard Schacht (1971), dalam karyanya "Alienation", memberikan analisis komprehensif mengenai konsep keterasingan. 

Schacht, yang menelusuri akar alienasi dari pemikiran Hegel dan Marx, mendefinisikannya secara umum sebagai pemisahan antara seseorang (subjek/agen) dan sesuatu yang seharusnya tidak terpisah darinya. Keterasingan adalah hubungan yang tidak sempurna/cacat (defective relationship).

Dalam konteks jabatan Hakim, alienasi terwujud dalam beberapa bentuk:

   A. Keterasingan dari Karya (Alienation from Product)

Karya utama Hakim adalah putusannya, mahkotanya seorang Hakim ada di putusan yang ia ciptakan.

Hakim yang korup atau salah memahami hukum dapat menciptakan putusan yang cacat—produk yang sejatinya bertentangan dengan tujuan mulia peradilan. 

Ia menjadi terasing dari putusannya sendiri karena putusan itu kini melayani tuan yang lain (uang, kekuasaan), bukan keadilan. Ia kehilangan rasa kepemilikan (sense of belonging) atas profesi yang seharusnya menjadi sumber kehormatannya.

   B. Keterasingan dari Diri Sendiri (Self-Alienation)

May (2019) menunjukkan, manusia “seharusnya” mengalami rasa bersalah saat menyangkal potensi yang ada pada dirinya. 

Hakim yang menjual jabatannya pada dasarnya menyangkal identitasnya sebagai penegak keadilan. Ia menjadi orang asing bagi dirinya sendiri (estranged from himself). 

Ia membiarkan Id atau tekanan lingkungan mendikte Ego. Id adalah bagian paling primitif dari kepribadian yang beroperasi berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure principle), tidak mengenal logika, nilai-nilai, norma, maupun konsekuensi; ia hanya menginginkan kepuasan instan/sesaat atas dorongan seperti makan, tidur, seks, materi dan agresi. 

Karena sifatnya yang impulsif dan intuitif, Id dapat menyebabkan perilaku yang tidak terkontrol jika tidak dikendalikan oleh Ego. 

Misalnya, jika seorang Hakim mempunyai kebutuhan ekonomi yang sangat mendesak, Id akan mendorongnya untuk segera mencari sebanyak-banyaknya penghasilan tanpa mempertimbangkan apakah penghasilan tersebut halal atau haram. 

Oleh karena itu, peran Ego sangat penting dalam mengontrol Id agar tidak bertindak sembrono. Sigmun Freud (2006) pernah berkata, "Dalam bertindak, anak kecil didorong oleh Id mereka, tanpa mempertimbangkan konsekuensi." 

Di sisi lain, Ego bertumbuh sebagai jembatan yang menghubungkan antara Id dan realitas. Bila diibaratkan sebuah kendaraan, Id ialah pedal gas, sedangkan Ego ialah rem-nya. 

Ego mempertimbangkan konsekuensi sebelum bertindak dan mencari cara yang lebih bijak dalam memenuhi keinginan daripada Id. Ego mengutamakan logika dan pemikiran yang rasional untuk menghindari masalah atau konflik sosial. 

Kemampuan Ego yang sehat membantu seorang Hakim dalam mengambil keputusan yang seimbang antara keinginan jangka pendek dan tujuan jangka panjang yang berdampak pada penjatuhan putusan yang berlandaskan keadilan, kemanfaatan serta kepastian hukum. 

Sehingga, penulis berpendapat, seorang Hakim yang menjual jiwanya untuk menghamba pada perilaku koruptif, layaknya seorang anak kecil yang belum mempunyai rasio, akal pikiran dalam bertindak  atau bersikap, dan ketika itu semua terjadi, ia tidak lagi bertindak berdasarkan kehendak otentiknya. 

Schacht (1971) menyebut, ini sebagai kondisi dimana seseorang tidak lagi menyadari siapa dirinya atau apa yang seharusnya ia yakini.

   C. Keterasingan dari Lembaga dan Masyarakat

Ketika seorang Hakim terasing dari peran mulianya, ia juga terasing dari institusi yang memberinya kehormatan. Pengadilan, yang seharusnya menjadi suaka bagi para pencari keadilan, dicemari oleh tindak tanduknya. 

Konsekuensinya, legitimasi publik terhadap peradilan akan runtuh, menyebabkan masyarakat menjadi terasing dari sistem hukum itu sendiri—sebuah bentuk alienasi sosial yang sangat berbahaya bagi negara hukum (rechsstaat).

Integritas sebagai Tindakan Pemulihan Diri

May (2019) menekankan, pentingnya Intensionalitas (Intentionality)—struktur yang memberikan makna pada pengalaman dan memungkinkan manusia memilih masa depan. 

Bagi seorang Hakim, intensionalitas ini harus diarahkan pada kepedulian (caring) terhadap keadilan, sehingga pada akhirnya seorang Hakim akan mempunyai compassion sebagai seniman hukum dengan memilih Integritas sebagai jalan mulia.

Ketika Hakim menghadapi godaan suap, gratifikasi atau intervensi dalam menegakkan keadilan, ia dihadapkan pada sebuah pilihan eksistensial:

  • Memilih Alienasi: Membuka ruang transaksional, bertindak tidak adil, dan secara sadar menukar keutuhan diri dengan kepuasan sesaat.
  • Memilih Integritas: Berani menghadapi kecemasan dan ketidaknyamanan, mempertahankan kebebasan hati nurani, dan bertindak selaras dengan nilai-nilai luhur profesinya.

Penutup

Integritas adalah manifestasi keberanian moral seorang individu yang terlepas dari segala tekanan dan memilih untuk tetap pada jalan kebenaran. 

Bagi seorang Hakim, integritas adalah satu-satunya cara untuk menyatukan kembali dirinya yang terpisah dari putusannya, dari sumpah jabatannya, dan dari panggilan jiwa untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. 

Upaya tersebut adalah jalan terbaik dari seorang Hakim untuk mencari dan menemukan kembali dirinya dalam peran mulianya. 

Maka, seorang Hakim yang teralienasi dari dirinya sendiri, sudah barang tentu tidak bisa memberikan jawaban atas permasalahan-permasalahan yang ada di tengah-tengah para pencari keadilan seperti yang diungkapkan oleh Freud (2006), “Semakin seseorang mampu memahami konflik yang ada di dalam dirinya, semakin ia dapat mengendalikan hidupnya”.

Daftar Referensi

Bertens, K. (2006). Psikoanalisis Sigmun Freud. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
May, Rollo. (2019). Manusia Mencari Dirinya (Man’s Search for Himself). Jakarta: BASABASI.
Schacht, Richard. (1971). Alienation. New York: Doubleday & Compay, Inc.