Penegakan hukum yang digerakkan semangat doa, tidak akan pernah menyisakan dendam. Bentuknya meninggalkan kedamaian, menyalakan harapan, dan menyatukan yang tercerai.
Hukum sebagai cermin, memberi kesempatan untuk melihat kembali seperti apa hukum itu sebenarnya. Semakin jernih hukum mencerminkan kehidupan, besar peluang masyarakat untuk memperbaiki dirinya.
Hukum dan narasi bukan dua hal saling bertentangan. Keduanya dapat bersinergi membangun keadilan yang utuh. Narasi memberi jiwa bagi hukum, sementara hukum memberi struktur bagi narasi.
Reformasi hukum yang sejati adalah ketika hukum mampu menyentuh sisi-sisi terdalam dari luka sosial. Ketika hukum mulai menimbang keadilan dari sisi yang terluka, maka keadilan tak lagi menjadi kemewahan, tetapi kebutuhan yang dirasakan setiap warga negara.
Dalam banyak masyarakat, hukum sering dianggap sakral hanya karena ia dibakukan dalam bentuk peraturan. Namun hukum tanpa etika hanyalah alat yang bisa dipakai siapa pun, bahkan oleh yang zalim.
Ketika masyarakat merasakan bahwa hukum mendengarkan, mereka akan percaya dan patuh dengan kesadaran. Hukum pun menjadi bagian dari budaya, bukan sekadar sistem kekuasaan.
Ketika hukum dapat meresapi makna air mata, maka wujudnya telah melampaui formalitas. Hukum telah menjelma sebagai pelita dalam kegelapan, pelukan dalam dinginnya prosedur, dan jembatan antara rasa sakit, serta keadilan.