Keadilan di Tengah Legalitas

Kehadiran keadilan sejati memerlukan kesediaan untuk membuka hati, menafsir hukum dengan hikmah, dan melihat manusia sebagai tujuan hukum, bukan objeknya.
Ilustrasi keadilan hukum. Foto depositphotos.com/
Ilustrasi keadilan hukum. Foto depositphotos.com/

Legalitas menjanjikan ketertiban dan kepastian. Setiap pasal, ayat, dan prosedur disusun dengan rapi, seolah tak menyisakan ruang bagi kekacauan. Namun, di balik jubah aturan yang megah itu, kerap tersembunyi keluhan sunyi dari keadilan yang tak menemukan tempatnya.

Legalitas hanya mengandalkan teks. Ia bekerja dalam batasan huruf-huruf yang terbatas, meski kehidupan jauh lebih kompleks dari apa yang bisa ditulis. Keadilan, sebagai nilai yang hidup dalam hati manusia, tak muat dalam ruang sempit logika legal semata.

Ketika hukum ditegakkan hanya dengan merujuk pada undang-undang tanpa mempertimbangkan konteks manusiawi, maka yang muncul adalah keputusan yang sah secara hukum, tetapi timpang dalam rasa. Di sinilah keadilan mulai goyah, tenggelam dalam formalitas tanpa ruh.

Misalnya, pada kasus tanah adat yang secara legal telah diambil alih oleh korporasi melalui izin resmi. Bisa saja sah secara administratif. Namun, di sisi lain, masyarakat yang telah mendiami tanah tersebut selama ratusan tahun tercerabut dari akar kehidupannya. Legal, tapi tak adil.

Ketika hukum menjauh dari nurani, maka suara yang lemah tak lagi didengar. Hanya yang mampu bermain di arena legalitas lah yang menang. Maka keadilan tak lagi menjadi tujuan, melainkan sekadar mitos yang dibungkus dalam bahasa prosedural.

Keadilan membutuhkan keberanian untuk melihat lebih dari sekadar dokumen. Ia memerlukan kepekaan hati untuk memahami bahwa kebenaran tidak selalu bisa dibuktikan dengan berkas, dan bahwa hak kadang terbungkam oleh mekanisme yang sah secara prosedur.

Hukum yang ideal adalah hukum yang hidup dalam masyarakat. Ia bukan hanya tulisan di lembar resmi, tetapi getar yang dirasakan rakyat kecil ketika diperlakukan adil. Jika hukum tak bisa melindungi yang lemah, maka legalitas hanyalah alat bagi mereka yang kuat untuk membenarkan dominasi.

Rasa keadilan lahir dari pengalaman langsung, bukan dari definisi. Ketika masyarakat merasa bahwa hukum hanya berpihak pada elite, maka wibawa hukum perlahan luntur. Sebab kepercayaan hanya tumbuh jika hukum benar-benar menjadi penjaga nilai, bukan sekadar pelayan regulasi.

Banyak yang berteriak tentang supremasi hukum, tetapi sedikit yang bertanya, hukum seperti apa yang seharusnya berdaulat? Supremasi hukum tanpa keadilan ibarat istana tanpa penghuni. Megah dari luar, tapi kosong dan sepi dari dalam.

Keadilan membutuhkan dimensi etik dan spiritual. Ia tak sekadar memutus benar atau salah, tetapi memulihkan luka, membela hakikat manusia, dan menyentuh sisi terdalam dari penderitaan. Di sini, keadilan bukan hasil, tetapi proses yang menghidupkan makna hidup.

Pengalaman para pencari keadilan menunjukkan bahwa formalitas hukum sering kali tidak sejalan dengan keadilan moral. Ada yang bertahun-tahun mengadu tanpa didengar. Ada pula yang menang secara hukum, tetapi kalah secara martabat. Legalitas menang, tetapi keadilan hilang.

Hukum adalah sarana untuk menegakkan amanah Tuhan di muka bumi. Jika hukum justru menindas, maka yang terjadi bukan lagi ibadah, melainkan pengkhianatan terhadap nilai Ilahi. Maka setiap proses hukum harus mengandung rasa takut akan kekeliruan yang menyakiti makhluk.

Kehadiran keadilan sejati memerlukan kesediaan untuk membuka hati, menafsir hukum dengan hikmah, dan melihat manusia sebagai tujuan hukum, bukan objeknya. Di sinilah nurani menjadi kompas dalam mengarungi samudra legalitas yang kadang kering dari makna.

Jika legalitas berdiri tanpa ruh keadilan, maka yang akan muncul adalah sistem yang sah, tetapi tak lagi dipercaya. Maka perlu kita membetulkan arah, bahwa hukum adalah jalan, bukan tujuan. Tujuan akhirnya tetaplah keadilan yang menyentuh jiwa, memulihkan luka, dan menyemai benih kedamaian.

Penulis: M. Khusnul Khuluq
Editor: Tim MariNews