Dimensi Publik dari Hukum

Peradaban yang besar bukan diukur dari tingginya menara gedung pengadilan, tetapi dari sejauh mana hukum menjadi alat kasih sayang sosial. Keadilan bukan hanya milik pengadilan, tetapi milik setiap insan.
Ilustrasi keadilan sosial. Foto margasari.desa.id/
Ilustrasi keadilan sosial. Foto margasari.desa.id/

Hukum bukan sekadar tumpukan pasal dalam kitab undang-undang. Ia adalah napas yang hidup dalam denyut masyarakat, hadir dalam setiap perjumpaan sosial, dan menyelinap dalam nilai yang disepakati bersama. Hukum bukanlah milik segelintir elite, tetapi bagian dari peradaban yang diciptakan dan dijaga bersama. Di situlah dimensi publik dari hukum menampakkan wajah sejatinya, yakni sebagai cermin dari kesadaran kolektif yang mendambakan keteraturan, keadilan, dan kemaslahatan bersama.

Dimensi publik hukum menunjuk pada aspek hukum yang hidup, tumbuh, dan bekerja dalam ruang sosial. Ia tidak berhenti pada wacana legal formal, tetapi merasuk ke dalam kultur masyarakat, meresapi etika bersama, dan menjadi sarana komunikasi nilai-nilai luhur. Dalam pengertian ini, hukum adalah medium dialog antara negara dan rakyat, antara norma dan realitas, antara cita dan fakta.

Sebuah peraturan tentang larangan membuang sampah sembarangan, misalnya, bukan sekadar instrumen sanksi administratif. Ia mencerminkan kepedulian publik terhadap kebersihan, kesehatan, dan keberlanjutan lingkungan. Ketika warga menaati aturan ini bukan karena takut didenda, tetapi karena merasa bertanggung jawab terhadap sesama, maka hukum telah menemukan bentuk idealnya, yakni hukum yang bersemayam dalam hati nurani.

Di balik setiap produk hukum yang baik, ada aspirasi publik yang tulus. Ketika masyarakat merasa didengar, dilibatkan, dan dihargai dalam proses perumusan hukum, maka hukum tersebut akan mengandung legitimasi moral yang kuat. Di sinilah hukum menjadi jembatan, bukan tembok. Ia menjadi cahaya, bukan bayangan.

Dimensi publik dari hukum juga mengandung makna keterbukaan dan transparansi. Hukum tidak boleh lahir dari ruang gelap atau bahasa asing yang tidak dimengerti rakyat. Ia harus bisa dipahami, diakses, dan dipertanyakan. Keterlibatan masyarakat dalam mengawasi jalannya hukum adalah bagian dari ibadah sosial yang mencerminkan semangat amar ma’ruf nahi munkar.

Hukum harus menjadi bagian dari laku etika spiritual. Ia bukan alat kekuasaan yang memukul, melainkan alat pelayanan yang merangkul. Seorang pedagang yang menolak korupsi, bukan semata-mata karena takut hukum pidana, tetapi karena menyadari bahwa kejujuran adalah bagian dari iman. Inilah wajah hukum yang publik dan profetik.

Dimensi publik juga menegaskan bahwa hukum harus berpihak kepada yang lemah. Hukum yang tidak bisa netral terhadap ketidakadilan. Ia harus hadir di gubuk yang tak beratap, di suara yang terpinggirkan, dan di hati mereka yang tak punya kuasa. Keadilan yang substantif tidak lahir dari teks, melainkan dari empati.

Hukum yang tidak membumi akan kehilangan daya gugah nya. Ia akan menjadi berhala formalitas yang disembah, tetapi tak lagi dipercayai. Maka dari itu, dimensi publik hukum mengajarkan bahwa hukum harus senantiasa berproses, menyesuaikan diri dengan perubahan sosial, menjawab tantangan zaman, dan tidak kaku dalam tafsirnya.

Dalam kehidupan demokratis, hukum bukanlah monopoli penguasa. Ia adalah kesepakatan moral antara warga. Ketika warga merasa memiliki hukum, maka mereka akan menjaga dan merawatnya seperti menjaga harta paling berharga. Inilah alasan mengapa partisipasi publik dalam pembentukan hukum harus menjadi keniscayaan, bukan sekadar formalitas.

Ketika hukum dipisahkan dari nilai publik, ia menjadi kerangka kosong. Namun ketika hukum menyatu dengan denyut publik, ia menjelma menjadi ruh yang hidup. Hukum yang publik adalah hukum yang membawa berkah, karena ia menjadi alat kebaikan, bukan sekadar aturan formal.

Peradaban yang besar bukan diukur dari tingginya menara gedung pengadilan, tetapi dari sejauh mana hukum menjadi alat kasih sayang sosial. Keadilan bukan hanya milik pengadilan, tetapi milik setiap insan. Setiap kebaikan yang dilakukan untuk sesama, setiap kejujuran yang dipilih meski sulit, adalah bentuk kepatuhan pada hukum yang sejati.

Dimensi publik hukum juga menjadikan hukum sebagai alat transformasi moral. Ia tidak hanya menghukum yang bersalah, tetapi mendidik agar kesalahan tidak terulang. Ia tidak hanya menyelesaikan sengketa, tetapi menyembuhkan luka sosial. Inilah fungsi hukum sebagai rahmat, bukan sekedar sistem.

Dengan demikian, hukum yang kuat dimensi publiknya adalah hukum yang hidup dalam hati manusia. Ia lahir dari nilai-nilai luhur masyarakat, dijaga oleh kesadaran kolektif, dan terus tumbuh bersama perubahan zaman. Hukum seperti ini mendekatkan manusia kepada tujuan mulia kehidupan, yaitu menjadi khalifah yang adil dan rahmatan lil ‘alamin.
 

Penulis: M. Khusnul Khuluq
Editor: Tim MariNews