Teori Kontrak Sosial dan Dasar Legitimasi Hukum Modern

Teori kontrak sosial mengajarkan bahwa hukum yang hidup adalah hukum yang dicintai rakyatnya. Hukum yang ditaati karena diyakini, bukan karena ditakuti.
Ilustrasi moralitas hukum. Foto freepik.com
Ilustrasi moralitas hukum. Foto freepik.com

Setiap tatanan hukum yang beradab membutuhkan landasan moral yang kuat. Hukum bukan sekadar perintah dari penguasa, tetapi hasil kesepakatan yang mengikat seluruh anggota masyarakat. Di sinilah teori kontrak sosial menemukan perannya sebagai fondasi legitimasi hukum modern, yaitu sebuah gagasan yang menegaskan bahwa ketaatan pada hukum bukan karena paksaan, melainkan karena kesepahaman yang lahir dari akal dan nurani.

Teori kontrak sosial berangkat dari keyakinan bahwa sebelum hukum dan negara terbentuk, manusia hidup dalam keadaan alami. Dalam situasi tersebut, belum ada otoritas, belum ada struktur kekuasaan, hanya naluri untuk bertahan hidup. Namun dalam ketidakteraturan itu, manusia menyadari bahwa kebebasan tanpa batas justru melahirkan ketakutan dan ketidakpastian.

Kesadaran kolektif pun tumbuh, bahwa demi keamanan, ketertiban, dan kesejahteraan, setiap individu harus menyerahkan sebagian haknya kepada suatu otoritas bersama. Inilah yang disebut sebagai kontrak sosial, yaitu perjanjian imajiner yang melahirkan negara dan mengikat semua pihak untuk tunduk pada hukum yang dibuat bersama. Legitimasi hukum lahir dari kesepakatan tersebut, bukan dari kekuatan sepihak.

Konsep ini menjadi dasar dari sistem demokrasi modern, di mana hukum bukan milik elite, melainkan produk kehendak umum. Hukum menjadi simbol kesepakatan sosial yang menjamin hak, kebebasan, dan martabat manusia. Negara tidak lagi dipandang sebagai penguasa yang bertindak semaunya, tetapi sebagai pelayan keadilan yang lahir dari kehendak rakyat.

Dalam praktiknya, teori ini tercermin dalam proses legislasi yang melibatkan representasi publik. Ketika sebuah undang-undang dibentuk melalui mekanisme demokratis, maka ketaatan terhadapnya tidak dianggap sebagai beban, melainkan sebagai bentuk penghormatan terhadap janji bersama. Hukum menjadi milik semua, bukan milik segelintir orang.

Namun demikian, kontrak sosial bukan konsep yang mati. Ia menuntut pembaruan terus-menerus agar tidak kehilangan ruhnya. Ketika hukum dibuat tanpa partisipasi rakyat, atau ketika kekuasaan digunakan untuk memperkuat kepentingan sendiri, maka kontrak sosial itu retak. Maka diperlukan mekanisme evaluasi dan koreksi agar hukum tetap sah di mata nurani publik.

Ketaatan terhadap hukum hanya memiliki makna apabila hukum itu adil, transparan, dan berpihak pada kebaikan bersama. Jika hukum digunakan untuk menindas atau menyeleweng, maka legitimasi moralnya hilang. Teori kontrak sosial mengajarkan bahwa kekuasaan yang sah adalah kekuasaan yang bersumber dari rakyat dan digunakan untuk kesejahteraan rakyat.

Dalam berbagai sistem hukum modern, kontrak sosial menjadi dasar filosofis bagi konstitusi. Konstitusi bukan hanya dokumen legal, melainkan perwujudan nilai-nilai luhur yang mengikat semua unsur negara. Ia adalah janji kolektif untuk hidup bersama dalam keteraturan, keadilan, dan kebebasan.

Agama pun tidak bertentangan dengan teori kontrak sosial ini. Justru dalam tradisi keagamaan, diajarkan pentingnya amanah, musyawarah, dan keadilan dalam kehidupan bersama. Prinsip-prinsip tersebut sejalan dengan semangat kontrak sosial yang menempatkan keadilan dan tanggung jawab sebagai poros utama kehidupan bernegara.

Kontrak sosial juga menegaskan bahwa hukum harus bisa diakses dan dipahami oleh seluruh rakyat. Jika hukum hanya dapat dipahami oleh segelintir orang, maka hukum kehilangan dimensi publiknya. Hukum harus hadir dalam bahasa yang adil, prosedur yang terbuka, dan semangat yang melindungi semua golongan.

Dalam tataran praksis, peran hukum sebagai perjanjian sosial menuntut adanya kesetaraan di hadapan hukum. Tidak boleh ada hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Jika kesetaraan ini runtuh, maka kepercayaan terhadap hukum pun pudar. Maka transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan publik menjadi keniscayaan dalam negara hukum yang sah.

Kontrak sosial bukan hanya konsep politik, melainkan panggilan moral. Ia mengingatkan bahwa hidup bersama adalah pilihan yang harus dijaga dengan integritas. Hukum yang adil bukan sekadar teks, tetapi juga manifestasi dari komitmen kolektif untuk menciptakan peradaban yang bermartabat.

Dengan demikian, teori kontrak sosial mengajarkan bahwa hukum yang hidup adalah hukum yang dicintai rakyatnya. Hukum yang ditaati karena diyakini, bukan karena ditakuti. Di tengah krisis kepercayaan terhadap otoritas, gagasan ini menjadi lentera yang menuntun kembali kepada akar keadilan dan makna sejati dari hukum.

Ketika hukum berpijak pada kesepahaman yang adil, maka ia akan menjadi cahaya yang membimbing perjalanan masyarakat. Sebuah cahaya yang tidak hanya menerangi jalan hukum, tetapi juga menghangatkan kehidupan bersama dengan rasa tanggung jawab, kasih, dan keadilan yang sejati.
 

Penulis: M. Khusnul Khuluq
Editor: Tim MariNews