Hakim yang bertugas di Provinsi Sumatera Barat dituntut untuk memiliki khazanah pengetahuan yang “ekstra” karena adanya keberlakuan Hukum Adat Minangkabau. Terlebih lagi, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman telah memberikan pedoman bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Untuk itu, hakim dituntut memahami tentang sistem dan susunan hukum adat setempat. Pengetahuan hakim mengenai hukum ini berkaitan dengan asas Ius Curia Novit, di mana hakim dianggap mengetahui hukum. Dengan demikian, tak ada alasan bagi hakim untuk menolak/menyelesaikan suatu perkara dengan dalih tak ada aturan undang-undangnya termasuk dalam penyelesaian perkara hukum adat sekalipun.
Berkaitan dengan hukum adat dimaksud, kemudian timbul pertanyaan selanjutnya, upaya apa yang dapat ditempuh oleh masyarakat dalam menghadapi sengketa tanah ulayat tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan menguraikan sebagaimana narasi di bawah ini.
Tanah Ulayat dalam Hukum Adat Minangkabau
Hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya seringkali berhadapan dengan hukum adat tidak tertulis yang salah satunya adalah Hukum Adat Minangkabau. Minangkabau merupakan salah satu suku yang telah dikenal memiliki budaya dan adat istiadat yang kuat.
Selain itu, ciri yang membedakan daerah Minangkabau dengan daerah lain adalah adanya hak kepemilikan tanah yang khas. Hal ini dikenal dengan tanah ulayat, yaitu tanah persekutuan yang berada di wilayah masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada, sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tanah Ulayat (Perda Sumbar Nomor 7/2023).
Masyarakat Hukum Adat Minangkabau memiliki hak ulayat yang bersifat komunal dengan menguasai, mengelola dan/atau memanfaatkan, serta melestarikan wilayah adatnya sesuai dengan tata nilai dan hukum adat yang berlaku.
Tanah ulayat tersebut diturunkan secara turun temurun di Sumatera Barat dengan sistem matrilineal atau garis keturunan ibu yang dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu:
Tanah Ulayat Nagari (desa) adalah tanah yang dikuasai langsung oleh Nagari dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat Nagari.
Tanah Ulayat Suku adalah tanah yang penguasaannya pada suatu suku secara komunal atau bersama, di bawah pimpinan seorang Penghulu Suku.
Tanah Ulayat Kaum adalah tanah yang penguasaannya berada pada suatu kaum secara komunal atau bersama, di bawah pimpinan seorang Mamak Kepala Waris.
Berbicara mengenai tanah ulayat maka tidak terlepas dari hak ulayat, yaitu hak atas tanah ulayat yang mencangkup pada harta pusaka di Minangkabau. Harta pusaka dalam Hukum Adat Minangkabau itu sendiri, secara garis besar dibedakan atas dua jenis berdasarkan asal-usulnya, yakni:
Pertama, harta pusaka tinggi merupakan harta pusaka yang diperoleh secara turun temurun, biasanya dari mamak (saudara laki-laki dari ibu) diwarisi oleh kemenakan dan bukan berasal dari mata pencaharian ayah dan ibu. Adapun yang kedua, harta pusaka rendah merupakan harta yang didapat dari hasil usahanya sendiri dan biasanya asal-usul harta ini dapat diketahui secara pasti.
Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat secara Kekeluargaan
Sebagaimana diketahui, sila keempat Pancasila menekankan pentingnya musyawarah untuk mencapai mufakat. Oleh karenanya, musyawarah menjadi sarana utama dalam menyelesaikan berbagai sengketa atau permasalahan yang timbul di masyarakat Minangkabau termasuk sengketa tanah ulayat. Musyawarah dimaksud dimulai dengan melibatkan unit terkecil dalam suatu masyarakat adat yaitu dari keluarga, kaum, suku dan nagari (desa).
Berangkat dari nilai musyawarah mufakat tersebut, Pasal 23 ayat (1) Perda Sumbar Nomor 7/2023 telah mengatur sebagai berikut:
“Sengketa Tanah Ulayat di Nagari diselesaikan oleh KAN dan/atau Peradilan Adat Nagari menurut ketentuan sepanjang adat yang berlaku, bajanjang naiak batanggo turun dan diusahakan dengan jalan perdamaian melalui musyawarah dan mufakat dalam bentuk putusan perdamaian.”
Lantas apa maksudnya? Aturan tersebut menegaskan, sebelum sengketa tanah ulayat diajukan ke pengadilan, maka masyarakat Minangkabau menyelesaikan sengketa terlebih dahulu secara bertangga turun atau dimulai dari tingkat bawah dengan mengacu pada asas bajanjang naiak batanggo turun (berjenjang naik, bertangga turun). Hal tersebut dimulai dari keluarga, paruik, kaum dan suku yang berlandaskan dengan nilai-nilai musyawarah.
Berbeda halnya dengan sengketa yang terjadi antarsuku dalam suatu nagari, maka penyelesaian sengketanya dapat langsung diajukan kepada Kantor Kerapatan Adat Nagari (KAN) atau Peradilan Adat Nagari.
Lebih lanjut, dalam Penjelasan Pasal 23 ayat (1) Perda Sumbar Nomor 7/2023 tersebut turut menyebutkan, pelaksanaan putusan penyelesaian sengketa atau eksekusi putusannya pun dilakukan secara bertangga turun yaitu melalui penghulu suku dan mamak kepala waris yang bersangkutan.
Selanjutnya, apabila dalam penyelesaian sengketa tanah ulayat secara bertangga turun tadi, para pihak mencapai mufakat dalam bentuk putusan perdamaian, maka putusan perdamaian tersebut dapat didaftarkan ke Pengadilan Negeri setempat untuk mendapatkan kepastian hukum.
Dengan kata lain, aturan tersebut memperkuat kedudukan fungsi lembaga di luar pengadilan seperti lembaga yang lebih rendah (keluarga, paruik, kaum dan suku) yang mengedepankan nilai musyawarah dalam alternatif penyelesaian sengketa tanah ulayat secara nonlitigasi.
Penyelesaian sengketa tanah ulayat dengan asas bajanjang naiak batanggo turun ini, menjadi penting, mengingat penyelesaian perkara adat akan lebih efektif apabila diselesaikan melalui musyawarah adat karena adanya hubungan kekerabatan yang sangat erat dalam suatu kaum dan suku.
Para pihak yang bersengketa juga dapat menelusuri dengan mudah asal usul tanah ulayat melalui ranji matrilineal (silsilah keturunan) yang lebih akurat. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat surat-surat yang dimiliki oleh para pihak dan mendengar saksi-saksi yang dibawa langsung oleh para pihak ke dalam forum musyawarah, tanpa adanya kekhawatiran bahwa sengketa tersebut dapat diketahui oleh orang di luar kaum/sukunya.
Pengajuan Gugatan Sengketa Tanah Ulayat Sebagai Upaya Terakhir
Hukum adat merupakan hukum yang berlaku atas tanah ulayat. Oleh karenanya, pengajuan gugatan ke Pengadilan Negeri menjadi upaya terakhir dalam penyelesaian sengketa tanah ulayat apabila proses musyawarah tidak berhasil.
Hal tersebut tercermin dalam Pasal 23 ayat (3) Perda Sumbar Nomor 7/2023 yang telah mengatur secara jelas, dalam hal putusan perdamaian tidak dicapai oleh para pihak yang bersengketa maka pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan perkaranya ke Pengadilan Negeri.
Gugatan yang diajukan ke Pengadilan Negeri tersebut dapat dilengkapi dengan lampiran putusan perdamaian/surat putusan KAN yang telah ditempuh oleh para pihak sebelumnya. Adanya lampiran dimaksud, dapat menunjukkan dan menguatkan hakim, bahwa para pihak telah berupaya menempuh penyelesaian sengketa secara kekeluargaan yang berlandaskan pada asas bajanjang naiak batanggo turun.
Tentunya, akan banyak manfaat yang dapat dirasakan oleh para pihak apabila menempuh upaya penyelesaian sengketa dengan menjunjung tinggi nilai musyawarah tersebut. Karena sejatinya upaya ini menekankan komunikasi yang baik antar para pihak dengan mencari solusi bersama yang saling menguntungkan dan sesuai dengan kebutuhan masing-masing pihak.
Perlu diingat juga oleh para pihak, bahwa sebelum memulai sidang di pengadilan, para pihak diwajibkan untuk menempuh upaya mediasi terlebih dahulu sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan juncto Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2022 tentang Mediasi di Pengadilan Secara Elektronik.
Pada akhirnya, penyelesaian sengketa secara kekeluargaan tersebut diharapkan dapat menjaga keharmonisan atau bahkan memperbaiki hubungan antara para pihak yang memiliki hubungan berkelanjutan di masa mendatang dalam suatu kaum/sukunya.
Hal demikian selaras dengan semangat kekeluargaan sebagaimana pepatah petitih Minangkabau, yakni “Elok kato dalam mupakaik, buruak kato dilua mupakaik” yang memiliki arti, keputusan yang dibuat bersama jauh lebih baik dan lebih mudah dilaksanakan daripada keputusan yang dibuat tanpa bermufakat.