Ada jarak yang tak kasat mata, namun terasa nyata antara hukum yang tertulis dan keadilan yang dirasakan. Di atas lembaran undang-undang, keadilan tampak rapi dalam struktur norma dan pasal. Namun di dalam hati manusia, keadilan hidup sebagai rasa, harapan, dan kadang sebagai luka yang menuntut pengakuan. Di situlah terjadi ketegangan antara teks dan realitas.
Hukum yang ditulis menawarkan kepastian. Ia menjanjikan keseragaman dan keteraturan dalam masyarakat. Dalam tatanan sistem, hukum yang tertulis adalah fondasi utama kehidupan bernegara. Namun, keadilan tidak selalu hadir dalam bentuk pasal-pasal formal. Ia tumbuh dari pengalaman manusia yang unik dan penuh warna.
Seringkali terjadi, hukum yang ditegakkan sesuai pasal justru meninggalkan perasaan tidak adil di benak masyarakat. Dalam kasus penggusuran misalnya, aturan legal bisa berpihak pada pemilik modal, sementara masyarakat kecil yang kehilangan tempat tinggalnya hanya memegang selembar perasaan bahwa ada yang tidak beres dengan keadilan.
Di sinilah hukum yang dirasakan menjadi penting. Ia adalah wujud dari hukum yang hidup dalam kesadaran masyarakat. Ia menuntut agar hukum tidak hanya benar secara normatif, tetapi juga adil dalam rasa. Rasa keadilan yang tumbuh dari realitas sosial, kearifan lokal, dan nilai-nilai moral bersama.
Filsafat hukum telah lama mempersoalkan dikotomi ini. Hukum tidak boleh menjadi menara gading yang kaku. Ia harus lentur dan mampu menangkap denyut masyarakat yang terus berubah. Sebab tujuan akhir hukum bukan sekadar kepastian, melainkan keadilan yang hidup dan menyentuh kemanusiaan.
Dalam sistem hukum yang ideal, teks dan rasa tidak saling bertentangan, tetapi saling melengkapi. Seorang hakim misalnya, tidak hanya membaca pasal, tetapi juga membaca suasana batin para pencari keadilan. Ia memutus bukan hanya berdasarkan logika hukum, tetapi juga dengan kebijaksanaan nurani.
Misalnya, tanah adat yang ditetapkan sebagai wilayah proyek strategis nasional. Ketika bulldozer datang untuk memulai pekerjaan, para penduduk berupaya untuk mempertahankan tanahnya. Secara legal, mereka bersalah. Namun secara historis dan sosiologis, ia hanya berusaha mempertahankan haknya yang dirampas. Hukum yang tertulis mengatur larangan, tetapi hukum yang dirasakan menuntut pemahaman dan empati.
Keadilan yang hanya hidup di atas kertas tidak akan membawa ketentraman sosial. Ia akan menimbulkan ketidakpercayaan, bahkan ketidakpatuhan. Ketika masyarakat merasa hukum tidak berpihak, mereka mencari jalan sendiri, bahkan menolak sistem yang ada. Inilah awal dari kekacauan moral dalam kehidupan berbangsa.
Hukum yang dirasakan tidak berarti bebas nilai atau tak berbatas. Ia tetap harus mengakar pada norma yang kuat, namun norma yang tumbuh dari kesadaran kolektif. Sebagaimana air yang mengalir mengikuti lekuk bumi, hukum yang dirasakan lahir dari interaksi terus-menerus antara norma tertulis dan realitas sosial.
Sebagaimana syariat dalam tradisi Islam yang bukan hanya sekadar teks, tetapi juga maqasid atau tujuan luhur, hukum pun harus dimaknai dalam kerangka tujuannya. Yaitu menegakkan keadilan, menjamin kemaslahatan, dan menjaga martabat manusia. Tanpa itu, hukum kehilangan ruhnya.
Dalam masyarakat majemuk, harmoni antara hukum tertulis dan hukum yang dirasakan menjadi sangat penting. Sebab di sanalah akan ditemukan keadilan yang inklusif. Keadilan yang bukan hanya untuk yang kuat, tetapi juga untuk yang lemah. Bukan hanya untuk yang tahu hukum, tetapi juga bagi mereka yang hanya mengerti keadilan sebagai rasa.
Penegak hukum perlu menyadari bahwa tugas mereka bukan hanya menjalankan aturan, tetapi juga menjaga perasaan keadilan dalam masyarakat. Setiap putusan dan setiap tindakan hukum, harus menjadi cermin bagi dua dunia, yaitu dunia norma dan dunia rasa. Keduanya harus berjalan seiring.
Jika hukum hanya mengandalkan teks, ia akan kaku dan beku. Tetapi jika hanya mengandalkan rasa, ia akan rapuh. Maka dibutuhkan kebijaksanaan untuk meramu keduanya dalam keseimbangan. Di titik inilah hukum menemukan keindahannya, yaitu ketika ia hidup sebagai suara hati dan pedoman masyarakat.
Hukum harus bisa menyapa manusia, bukan sekadar mengatur mereka. Ia harus hadir bukan hanya di ruang sidang, tetapi juga di ruang hati. Hukum yang demikianlah yang akan melahirkan kedamaian sejati.
Dengan demikian, antara hukum yang ditulis dan hukum yang dirasakan harus ada jembatan yang kuat, yaitu jembatan nurani. Dari jembatan itu, keadilan akan berjalan menyeberangi jurang-jurang formalitas menuju tanah yang penuh makna. Di situlah hukum tidak hanya ditaati, tetapi juga dimuliakan.