Salah satu risiko yang dapat memicu terjadinya korupsi di lembaga peradilan adalah beban hutang yang tidak wajar. Rasio hutang yang melebihi batas kewajaran dapat memicu hakim bertindak korup. Beban hutang yang tidak wajar akan mencekik kehidupan hakim, kebutuhan pokoknya terbengkalai, membuat gelap mata hingga nekat berbuat korupsi.
Selain cicilan hutang yang membengkak, gaya hidup konsumtif dan serba jetset semakin memperburuk finansial hakim yang ujung-ujungnya integritas tergadaikan. Pada akhirnya, iman antikorupsi luntur di tengah tawaran fulus yang menggiurkan.
Tulisan ini ingin menyimpulkan, kebijakan hutang sangat berkorelasi positif terhadap integritas hakim. Artinya semakin Mahkamah Agung mengatur kebijakan batas maksimum hutang hakim maka semakin terkendali risiko korupsi di lembaga peradilan.
Tulisan ini mengafirmasi pendapat; pertama, Pratiwi (2017) yang menunjukkan, kebijakan hutang sangat berkorelasi positif terhadap nilai perusahaan. Kedua, E.H. Tambunan (2019) menunjukkan kebijakan hutang berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan.
Kebijakan hutang yang dimaksud adalah kebijakan yang mengatur perbandingan antara total hutang dengan total penghasilan perbulan sehingga cicilan perbulan tidak memicu hakim melakukan korupsi.
Maksimal 30%-40%
Debt Service Ratio (DSR) hutang yang masih dianggap wajar, pertama, adalah 30% dari take home pay. Rasio hutang yang wajar membuat hakim masih bisa bernapas, healing bersama keluarga, shopping kebutuhan pokok, serta berbagi antarsesama.
Meskipun take home pay semakin besar, namun limit hutang tak lantas naik dengan beberapa alasan sebagai berikut; pertama, batasan 30 persen hakikatnya membantu hakim untuk melunasi cicilannya tanpa mengganggu stabilitas finansial.
Kedua, melebihi 30%, dapat berpotensi gagal bayar dan kredit macet menjadikan perekonomian nasional tidak sehat. Ketiga, melebihi 30%, dapat berpotensi hakim mencari pendapatan lain yang tidak legal.
Batasan rasio hutang 30% dapat dikecualikan dalam hal-hal tertentu, misalnya kenaikan rasio hutang 40% dimungkinkan apabila pasangan hakim juga bekerja atau penghasilan lain yang menambah pundi-pundi finansial keluarga dengan memperhatikan; repayment capacity (RPC) nasabah, outstanding kredit, profil nasabah serta beberapa penilaian lainnya.
Penyaluran pinjaman kepada hakim juga harus memastikan, pinjaman tersebut dalam rangka kredit produktif bukan konsumtif. Kredit konsumtif yang relatif digunakan untuk kesenangan sementara akan berakhir pada penyesalan. Uang yang seharusnya dimanfaatkan tepat sasaran, ludes begitu saja untuk hal-hal yang tak penting. Kalau kondisi sudah kepepet, di mana semua penghasilan habis untuk membayar cicilan, maka sangat mungkin hakim bakal mencari “ceperan” lain yang melanggar ketentuan untuk menambal kebutuhan pokoknya.
Menekan Gaya Hidup
Pembatasan hutang berkorelasi juga dengan penekanan gaya hidup. Ingin beli mobil mewah, rumah mewah, keliling dunia naik jet pribadi tidak akan cukup mengandalkan gaji akan tetapi keinginan tersebut yang seharusnya ditekan. Jika seorang hakim mau hidup serba hedonistik, sosialita, glamour dan serba mewah lebih baik copot toga dari sekarang dan beralih menjadi wiraswasta saja sebab profesi hakim lebih kepada pengabdian guna menebar benih-benih keadilan ketimbang mengikuti hasrat duniawi yang semakin tidak waras.
Gaya hidup yang tinggi ditambah beban cicilan hutang yang tidak rasional bisa membuat hakim mati berdiri hingga melakukan korupsi. Gaya hidup yang semakin tidak waras ditambah keinginan-keinginan yang tak terbatas akan menjerumuskan kepada praktik illegal, bahayanya merasionalisasi atas apa yang dilakukannya. Jika hakim kerap merasionalisasi tindakan koruptifnya karena ketidakcermatan mengatur finansial maka jangan berharap integritas profesi akan dijaganya.
Upaya menekan gaya hidup tidak hanya untuk hakim an sich, akan tetapi pasangan dan keluarganya pun harus ikut terlibat. Karena baik tidaknya hakim juga dipengaruhi oleh tuntutan keluarganya. Jika pasangan suka meminta yang “aneh-aneh” di luar batas kemampuannya lalu diamininya tak khayal hakim model begitu dapat terperangkap kepada perilaku koruptif.
Pembatasan rasio hutang hakim juga dapat menekan gaya hidup. Cicilan hutang yang wajar menyebabkan hakim lebih leluasa untuk mengatur isi dompetnya. Hakim lebih merdeka dalam bertindak dan bekerja. Pembatasan rasio hutang dan gaya hidup membantu pengelolaan keuangan yang akuntabel dan etis. Dirinya tidak tersandera oleh kebutuhan hidupnya sendiri karena kebutuhan hidupnya sudah terpenuhi berkat manajemen finansial yang efektif dan efisien.
Tren rela “ngutang” demi gaya hidup merupakan tindakan konyol yang tidak keren sama sekali. “Gaya kok ngutang”. Mempertontonkan gaya hidup serba lux demi mendapatkan pengakuan sosial justru bertentangan dengan kode etik hakim dan pedoman perilaku poin 9 berperilaku rendah hati dimana hakim dituntut pandai bersyukur dan diselimuti kesederhanaan.
Pengaturan rasio hutang ditujukan bukan untuk mencampuri isi dompet hakim akan tetapi lembaga bertanggung jawab secara moral untuk menjaga integritas aparaturnya guna menyelamatkan cetak biru organisasi. Pembatasan hutang ini juga bukan berarti melarang hakim untuk makmur akan tetapi memastikan bahwa kemakmurannya legal dan halal.
Intersep Ranah Privasi
Hutang merupakan ranah privasi seorang hakim. Lalu mengapa kebijakan hutang itu penting? Apa tidak melampaui terlalu jauh, lembaga mengurusi hutang personal? Tidak. Lembaga bisa mengatur lebih jauh privasi hakim demi mengendalikan risiko korupsi akibat rasio hutang yang tidak wajar. Artinya kebijakan ini untuk melindungi lembaga peradilan dari penyalahgunaan wewenang oknum hakim ketika kebutuhan hidupnya terdesak.
Selain itu, kebijakan hutang bukan untuk melanggar zona privasi hakim akan tetapi upaya melindungi reputasi lembaga. Meskipun kebijakan hutang ini merupakan kebijakan yang melanggar hak privasi namun kebijakan pengaturan rasio hutang ini masih dapat diperbolehkan sepanjang untuk mengendalikan risiko korupsi di lembaga peradilan.
Pembatasan hak privasi dimungkinkan karena hak privasi masih termasuk derogable rights sehingga hak privasi masih dapat dibatasi sepanjang pembatasan tersebut dilakukan berdasarkan Undang-Undang. (Reda Manthovani, 2015).
Semakin tinggi kepentingan lembaga maka semakin melemah kepentingan individu. Jika lembaga memiliki visi misi untuk mewujudkan cetak biru organisasi maka kewajiban lembaga pula untuk menekan hak privasi demi kebaikan bersama.
Ide ini memang kurang populis di kalangan hakim, bahkan tidak mendapatkan applause sama sekali. Namun setidaknya, ada kebijakan alternatif yang dikeluarkan demi menjaga kebutuhan hidup hakim, integritas lembaga peradilan, serta kesehatan lembaga keuangan.