Era digital membawa kemudahan, tetapi juga ciptakan lanskap baru penuh tantangan, terutama bagi profesi luhur seperti hakim. Di tengah derasnya arus informasi dan keterbukaan digital, hakim dihadapkan risiko digital, yang mengancam independensi dan keamanan mereka.
Salah satu ancaman paling nyata, adalah peretasan dan serangan siber. Bentuknya bisa pencurian data pribadi hakim, peretasan akun, atau bahkan intimidasi digital, yang bertujuan menekan. Lebih jauh lagi, praktik doxing (penyebaran informasi privasi untuk umum) dan penyebaran fitnah yang tidak benar, menjadi senjata ampuh bagi pihak tidak bertanggung jawab untuk merusak reputasi dan kredibilitas hakim.
Fenomena polarisasi opini atau propaganda yang masif, dapat memengaruhi persepsi publik dan menciptakan tekanan eksternal. Semua tindakan dimaksud, dilakukan oknum dengan kepentingan terselubung, yang bertujuan mengintervensi putusan, demi keuntungan pribadi atau kelompok.
Ancaman Keamanan Fisik Sering Terabaikan
Di luar ancaman digital, risiko keamanan yang mengancam profesi hakim, adalah kenyataan pahit yang sering terabaikan. Di berbagai platform media, tidak jarang mendengar kabar tragis hakim yang jadi korban pembacokan, penganiayaan, bahkan ancaman pembunuhan. Hal Ini bukan sekadar berita, melainkan pengingat brutal, bahwa menegakkan keadilan di Indonesia, bukanlah tanpa bahaya.
Ancaman fisik dan digital, menciptakan lingkungan kerja yang menekan, dimana berpotensi mengganggu objektivitas dan keberanian hakim dalam memutus perkara.
Ketika Penilaian Publik Bertemu Intervensi Digital
Setiap putusan hakim, prinsipnya akan selalu dievaluasi masyarakat, berdasarkan rasa keadilan yang tumbuh di dalamnya. Namun, persoalannya bukan terletak pada penilaian putusan tersebut, karena setiap orang berhak berpendapat, dan hakim juga berhak mengambil putusan, selama ia bertanggung jawab, termasuk kepada Tuhan Yang Maha Mengetahui.
Namun pada era digital, pihak yang tidak puas, dapat memanfaatkan celah guna melakukan doxing, propaganda, fitnah, informasi yang menyesatkan, tuduhan liar, pembunuhan karakter, mencari-cari kesalahan, cela dan penggiringan opini secara masif. Tujuannya jelas, mempengaruhi dan mengintervensi alam pikir objektif seorang hakim.
Selain meningkatkan kualitas kompetensi dan kesejahteraan hakim, agar tetap objektif. Selain itu, lembaga negara bertanggung jawab membina dan melindungi martabat hakim, agar para hakim tidak dapat diintervensi atau dipengaruhi segala bentuk tekanan. Hal Ini, penting untuk menjaga kemandirian hakim, termasuk ancaman dan kampanye hitam.
Perlindungan dimaksud, esensial untuk memastikan independensi peradilan tetap tegak, sehingga keadilan dapat benar-benar ditegakkan, tanpa rasa takut. Demikian juga agar hakim jujur dan bersih dalam mengadili setiap perkara, serta lebih tenang tanpa beban.
Aspek keamanan hakim dalam dunia digital merupakan hal fundamental, mengingat risiko dan tekanan yang dihadapi dalam menjalankan tugas. Fasilitas keamanan saat ini, hanya terfokus pada pengamanan selama persidangan. Padahal, ancaman terhadap hakim, tidak hanya terjadi dalam ruang sidang, tetapi juga di luar pengadilan, bahkan dapat menyasar keluarga hakim, termasuk di dunia maya.