Integritas Hakim Lebih dari Sekadar Validasi

Integritas adalah tentang keteguhan hati, kejujuran, dan keberanian untuk memihak kebenaran, bahkan ketika itu berarti harus berhadapan dengan kritik dan ketidakpuasan.
Ilustrasi integritas hakim. Foto istimewa
Ilustrasi integritas hakim. Foto istimewa

Integritas seorang sering kali disalahpahami sebagai sekadar upaya untuk terlihat baik di mata publik atau mendapatkan pengakuan (citra positif). Padahal, integritas sejati jauh melampaui itu. Integritas adalah komitmen pribadi yang kokoh untuk tidak terlibat sebagai pemain perkara dan tidak menjadi penerima suap. Ini adalah prinsip fundamental yang harus dipegang teguh, terlepas dari tekanan eksternal dan godaan yang mungkin datang.

Hakim pada dasarnya, adalah manusia biasa yang tak luput dari kekurangan. Namun, selama seorang hakim berpegang teguh pada norma dan hukum, serta berusaha semaksimal mungkin menjalankan tugasnya, maka ia telah menunjukkan integritasnya.

Kita tidak bisa menutup mata bahwa ruang persidangan adalah medan pertempuran kepentingan, medan peperangan argumentasi yang akan saling memberikan dampak satu sama lain, tempat di mana kebenaran materiil dicari dan diuji. Berbagai pihak yang merasa berkepentingan pasti akan berupaya menanamkan pengaruhnya untuk memengaruhi objektivitas hakim. Tekanan yang datang dari berbagai arah ini dapat menjadi sungguh sangat deras.

Janji seorang hakim sesungguhnya adalah kepada Tuhan Yang Maha Esa, bukan pada penilaian manusia. Tanggung jawabnya sebagai manusia biasa tercermin dalam Al-Qur'an surah Al Anbiya Ayat 78-79. 

"Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, ketika keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu.", "Maka Kami memberikan pengertian kepada Sulaiman (tentang hukum yang lebih tepat); dan kepada masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu, dan Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan Kamilah yang melakukannya."

Ini menunjukkan, hikmah dan ilmu adalah karunia langsung dari Allah SWT. Meskipun Nabi Daud adalah seorang nabi dan hakim yang bijaksana, Allah tidak menyalahkan Nabi Daud, namun Allah memilih untuk memberikan pemahaman yang lebih tepat dalam kasus ini kepada Nabi Sulaiman. Ini adalah bukti bahwa pengetahuan dan kebenaran sejati berasal dari Allah, dan Dia memberikannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki.

Kisah tersebut juga menyoroti betapa beratnya amanah seorang hakim. Mereka harus memutuskan perkara dengan seadil-adilnya, mempertimbangkan segala aspek, dan berusaha mencari solusi terbaik yang mendatangkan kebaikan bagi semua pihak.

Mengingatkan bahwa manusia biasa tidak akan pernah sempurna dalam mengemban tugas dan tanggung jawab yang berat. Terlebih lagi, dalam mencari kebenaran materiil suatu perkara, seorang hakim harus siap menghadapi upaya berbagai pihak untuk memengaruhi objektivitasnya. Pihak yang tidak puas atau menginginkan kepentingan nya tercapai mungkin sejak awal akan memakai berbagai cara untuk memberikan pengaruh nya, bisa dimulai dari tawaran kebaikan hutang budi hingga pada ancaman nyata dan propaganda serta penggiringan opini.

Akan ada dampak di mana, kehadiran seorang hakim yang menjunjung tinggi integritas akan membawa gelombang perubahan yang signifikan. Bagi mereka yang terbiasa mengandalkan cara "bayar untuk menang" atau "pay to win," tentu saja kepentingan mereka akan sangat terganggu.

Pihak-pihak yang selama ini leluasa ingin bertemu dan menitipkan berbagai kepentingan mereka, pastinya tidak akan senang dengan seorang hakim yang sedapat mungkin menghindari pertemuan di luar persidangan. Lingkungan yang selama ini bertolak belakang dengan nilai-nilai keadilan dan transparansi juga tidak akan merasa nyaman dengan adanya integritas hakim yang tak tergoyahkan. Mereka yang selama ini menikmati status quo-situasi di mana kecurangan dan intervensi menjadi lumrah-akan merasa sangat terancam dan terganggu dengan kehadiran hakim yang teguh pada prinsip integritasnya. Integritas hakim, pada akhirnya, adalah pukulan telak bagi korupsi dan langkah maju menuju sistem peradilan yang lebih bersih dan adil.

Ketika seorang hakim terlalu fokus pada pencitraan dan validasi, hal ini dapat mengubah persepsi dan mengikis objektivitasnya. Tugas utama seorang hakim adalah mengadili, bukan untuk dicintai. Jika hakim berubah menjadi "people pleaser"-yaitu mengutamakan kesenangan dan persepsi positif orang lain di atas hati nurani yang hakiki-maka kebenaran materiil bisa terabaikan. Dunia hukum sangat berbeda dengan dunia penjualan.

Dalam hukum, yang dicari adalah kebenaran, dan seorang hakim harus siap untuk dibenci demi menjaga integritasnya. Sebaliknya, dalam penjualan, mereka harus disukai, penyesuaian selera, kesenangan, dan kecintaan adalah kunci agar barang atau jasa laku terjual.

Oleh karena itu, integritas hakim bukanlah tentang tampil sempurna atau disukai banyak orang. Integritas adalah tentang keteguhan hati, kejujuran, dan keberanian untuk memihak kebenaran, bahkan ketika itu berarti harus berhadapan dengan kritik dan ketidakpuasan. Inilah esensi sejati dari integritas seorang penegak keadilan.