Senja itu, di ruang sidang Pengadilan Agama yang hening, aroma melati dan wewangian kayu cendana menguar tipis. Bukan persidangan biasa yang tengah berlangsung, melainkan sebuah ritual sakral: pengambilan sumpah jabatan.
Di mata Adi Sufriadi, seorang hakim senior dengan kerutan kebijaksanaan di dahinya, momen ini, selalu menyimpan makna yang mendalam. Ia teringat khotbah yang selalu mengawali setiap pelantikan, sebuah khotbah yang bukan sekadar rangkaian kata, melainkan pengingat spiritual bagi setiap jiwa yang akan memikul amanah keadilan.
Dalam khotbah itu, seseorang dengan suara bergetar selalu menekankan, jabatan bukanlah sekadar posisi, melainkan sebuah amanah ilahi yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Sang Pencipta.
Seringkali, lantunan ayat suci Al-Qur'an, khususnya Surat Ali Imran ayat 77, menjadi inti bisikan itu. Salah satunya ayat yang menghujam jiwa ini: "Sesungguhnya orang-orang yang memperjualbelikan janji Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga murah, mereka itu tidak memperoleh bagian di akhirat, Allah tidak akan menyapa mereka, tidak akan memperhatikan mereka pada hari Kiamat, dan tidak akan menyucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih."
Adi Sufriadi selalu merasakan getaran dahsyat dari ayat itu. Ini bukan sekadar ancaman, melainkan peringatan keras bahwa setiap janji yang diikrarkan. Apalagi sumpah jabatan yang mengikat seorang hamba dengan Tuhannya, adalah ikatan suci.
Melanggar sumpah demi ambisi duniawi, demi "harga murah" di mata dunia, adalah dosa besar yang berimplikasi pada nasib di akhirat. Ia melihat mata-mata calon hakim yang baru, sebagian menunduk, sebagian lagi menatap lurus, mencoba mencerna bobot kalimat-kalimat ilahi tersebut.
Sumpah: Fondasi Integritas yang Diuji Zaman
Khotbah itu, menurut Adi Sufriadi, adalah lebih dari sekadar seremoni. Pertama, ia adalah peringatan moral dan spiritual yang menguatkan nilai-nilai keislaman, agar sumpah jabatan tak menjadi formalitas belaka. Kedua, ia berfungsi menanamkan tanggung jawab bahwa setiap keputusan yang diambil di kursi keadilan akan dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat. Dan ketiga, melalui penguatan iman dan takwa, khotbah ini berupaya membentuk integritas pribadi, melahirkan aparatur yang teguh pada kebenaran dan keadilan.
Namun Adi Sufriadi tahu, mewujudkan integritas di tengah godaan dunia tidaklah mudah. Suap, kolusi, penyalahgunaan wewenang, semua itu adalah "hantu-hantu" yang selalu mengintai.
Ia percaya, kunci untuk menghadapi tantangan ini adalah kombinasi solusi preventif dan kuratif. Internalisasi nilai agama dan etika profesi sejak dini, penegakan sanksi yang tegas tanpa pandang bulu, khotbah rutin sebagai pengingat moral, dan tak kalah penting, peningkatan kesejahteraan pegawai agar tidak ada lagi alasan untuk tergelincir.
Malam semakin larut, namun cahaya di ruang kerja Adi Sufriadi masih benderang. Ia membayangkan setiap hakim dan pegawai yang telah mengambil sumpah. Semoga setiap sumpah yang diikrarkan di bawah langit pengadilan menjadi ikrar suci yang ditepati, bukan sekadar formalitas yang dilupakan. Karena di balik setiap kata sumpah, ada janji yang akan ditagih, bukan hanya oleh rakyat, tetapi oleh Allah SWT.
Integritas, bagi Adi Sufriadi, bukan hanya dinilai dari ucapan, tetapi dibuktikan melalui tindakan nyata dalam menegakkan keadilan dan menjalankan amanah. Ketika para aparatur peradilan benar-benar menjadikan sumpah sebagai kompas moral, maka kepercayaan publik akan tumbuh kokoh, dan peradilan agama akan berdiri sebagai benteng terakhir yang membela nilai-nilai kebenaran. Pada akhirnya, keberhasilan dalam menjaga sumpah bukan hanya mencerminkan kualitas institusi, tetapi juga menjadi cermin ketulusan jiwa dalam mengabdi kepada bangsa dan agama.