Yurisprudensi MA RI: Kedudukan Fotokopi Surat dalam Pembuktian Perdata

Surat fotokopi secara praktik dapat digunakan dan mempunyai nilai pembuktian, selama diakui kebenarannya oleh pihak lawan dalam suatu perkara perdata.
Gedung Mahkamah Agung. Foto dokumentasi MA
Gedung Mahkamah Agung. Foto dokumentasi MA

 Alat bukti merupakan salah satu instrumen utama dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara. Sedangkan menurut ahli hukum, Prof Subekti, alat bukti adalah instrumen yang difungsikan untuk menyatakan benar atau tidaknya dalil yang diajukan penggugat atau tergugat di persidangan.

Selain itu, M. Yahya Harahap dalam bukunya menjelaskan penggunaan alat bukti untuk membuat terang peristiwa hukum, sehingga Majelis Hakim memutus perkara yang diperiksanya didasarkan pada kebenaran dan keadilan. Dalam perkara perdata jenis-jenis alat bukti diatur dalam Pasal 164 HIR/284 Rbg.  

Adapun alat bukti dalam perkara perdata, antara lain bukti surat, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Dalam menilai kekuatan pembuktian surat, hukum acara perdata membaginya dalam dua bentuk yakni akta autentik dan akta di bawah tangan, sesuai Pasal 165 HIR/285 Rbg dan Pasal 286 Rbg. Kedudukan alat bukti surat dalam perkara perdata, memiliki nilai pembuktian yang tinggi dan utama, karena asasnya perkara perdata merupakan pembuktian formil.

Selanjutnya alat bukti surat yang digunakan di persidangan adalah bukti tulisan terletak pada aslinya, sehingga para pihak yang mengajukan alat bukti surat wajib menunjukan bukti surat yang aslinya di persidangan, sebagaimana ketentuan Pasal 1888 KUHPerdata dan Pasal 301 Ayat 2 Rbg.  

Praktik persidangan, tidak menutup kemungkinan para pihak mengajukan alat bukti surat yang tidak dapat ditunjukan aslinya, dengan berbagai alasan seperti sudah hilang bukti aslinya atau berada ditangan orang lain, dapat di pihak lawannya atau di luar pihak berperkara.

Dalam kondisi dimaksud, apakah Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara, langsung menolak alat bukti surat yang diajukan berbentuk fotokopi, tanpa ditunjukan aslinya? Atau fotokopi bukti surat yang diajukan di persidangan tanpa aslinya diperlihatkan, secara serta merta tidak dapat dipertimbangkan menjadi alat bukti dalam perkara perdata?

Menjawab problematika bukti surat fotokopian dalam pembuktian perdata, selanjutnya penulis akan menguraikan kaidah hukum berbagai Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, yang membahas kedudukan alat bukti surat fotokopi, yang tidak ditunjukan aslinya dalam persidangan perkara perdata. 

Kedudukan Bukti Surat Fotokopi dalam Pembuktian Perdata 

Hukum acara perdata, baik KUHPerdata, Herzien Inlandsch Reglement/hukum acara perdata yang berlaku di Jawa dan Madura (HIR), dan Rechtreglement voor de Buitengewesten/hukum acara perdata yang berlaku di luar Jawa dan Madura (Rbg), tidak memberikan kepastian hukum tentang kedudukan alat bukti surat berbentuk fotokopi, yang tidak dapat ditunjukan aslinya.

Hukum formil perdata dimaksud, hanya menerangkan kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan atau surat, terletak pada akta aslinya sebagaimana ketentuan Pasal 1888 KUHPerdata dan 301 Ayat 2 Rbg. Maka dalam praktek persidangan, fotokopi bukti surat yang sudah dinazegelen diserahkan ke Majelis Hakim, setelah aslinya diperlihatkan di persidangan. 

Melihat ketentuan hukum tersebut, penulis menilai tidaklah adil dan sangat bersikap formalistis, bilamana Majelis Hakim langsung mengesampingkan secara hukum bukti surat berbentuk fotokopi tanpa menilai alat bukti lainnya yang diajukan pihak yang mengajukan bukti surat berbentuk fotokopi. 

Berdasarkan kaidah hukum Yurisprudensi MA RI Nomor 112 K/Pdt/1996 tanggal 17 September 1998 dalam sengketa transaksi jual beli kayu ebony yang diputus Majelis Hakim Agung RI, Soeharso, S.H. dan didampingi Ny. Supraptini Sutarto, S.H. serta H. Soekirno, S.H. masing-masing sebagai hakim anggota, menerangkan fotokopi suatu surat diserahkan salah satu pihak ke persidangan Pengadilan Perdata untuk digunakan sebagai alat bukti surat. Ternyata tidak ditunjukan surat aslinya dan tanpa dikuatkan keterangan saksi serta alat bukti lainnya.

Dalam keadaan demikian, fotokopi surat dimaksud menurut hukum pembuktian acara perdata tidak dapat digunakan sebagai alat bukti sah dalam persidangan pengadilan.

Dengan demikian, kaidah hukum dari Yurisprudensi MA RI tersebut adalah fotokopi bukti surat yang tidak ditunjukan aslinya di persidangan, bernilai pembuktian selama didukung saksi dan alat bukti lainnya.

Selain itu, kaidah hukum Yurisprudensi MA RI lainnya, menerangkan surat berupa fotokopi yang diajukan di persidangan oleh salah satu pihak baik penggugat atau tergugat, meskipun tidak ditunjukan aslinya di persidangan selama proses pembuktian, tetapi bukti surat tersebut diakui dan dibenarkan pihak lawan maka fotokopi surat tersebut dapat diterima sebagai bukti yang sah dalam persidangan, sebagaimana Yurisprudensi MA RI Nomor 410 K/Pdt/2004 tanggal 25 April 2005 dalam perkara Rektor Vs Yayasan Universitas Trisaksi, yang diadili oleh Majelis Hakim Agung RI Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.CL. sebagai Ketua Majelis dengan didampingi H. Abdul Kadir Mappong, S.H., M.H. dan Mariana Sutadi Nasution, S.H., masing-masing sebagai Hakim Anggota. 

Berdasarkan Yurisprudensi MA RI tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa surat fotokopi secara praktik dapat digunakan dan mempunyai nilai pembuktian, selama diakui kebenarannya oleh pihak lawan dalam suatu perkara perdata. 

Demikianlah, artikel mengenai kedudukan hukum bukti surat dalam pembuktian perkara perdata berdasarkan berbagai kaidah hukum Yurisprudensi MA RI, yang didasarkan pada dua kondisi berbeda. Semoga menjadi referensi bagi hakim dalam mengadili dan memutus perkara perdata, atau menambah pengetahuan bagi para pembacanya, khususnya akademisi dan mahasiswa Fakultas Hukum di Indonesia.

Penulis: Adji Prakoso
Editor: Tim MariNews