Permufakatan Jahat dan Penyertaan dalam Tindak Pidana Narkotika, Dua Konsep Berbeda yang Dipahami Satu Makna

Permufakatan jahat dapat diberlakukan bagi dua orang atau lebih yang bersepakat melakukan tindak pidana narkotika dengan mensyaratkan belum selesainya perbuatan, sedangkan penyertaan tindak pidana narkotika diberlakukan bagi dua orang atau lebih yang secara bersama-sama melakukan tindak pidana.
Ilustrasi tahanan tindak pidana narkotika. Foto chatGPT
Ilustrasi tahanan tindak pidana narkotika. Foto chatGPT

Dalam penegakan hukum pidana terhadap perkara tindak pidana narkotika, tidak jarang dijumpai terdakwa terdiri dari dua orang atau lebih dalam melakukan perbuatannya baik di dalam berkas perkara yang terpisah (splitsing) maupun tergabung dalam satu berkas yang sama.

Dari segi hukum pidana formil, kewenangan untuk menggabungkan atau memisahkan berkas perkara terhadap terdakwa yang terdiri dari dua orang atau lebih ini merupakan hak dari penuntut umum yang juga bagian dari implementasi asas Dominus Litis.

Dari segi hukum pidana materil, khususnya dalam konteks tindak pidana narkotika, bagi terdakwa yang melakukan tindak pidana lebih dari satu orang sering juga dikaitkan dengan permufakatan jahat. Tidak jarang bagi penegak hukum, baik penyidik dalam berita acara pemeriksaan yang kemudian oleh penuntut umum diformulasikan dalam surat dakwaan dan dipertimbangkan oleh Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan menggunakan ketentuan “Permufakatan Jahat” untuk menjerat pelaku tindak pidana narkotika yang terdiri lebih dari satu orang.

Dalih yang digunakan kurang lebih sama, yakni memaknai delik permufakatan jahat dalam Undang-Undang Narkotika sebagai lex specialis dari delik penyertaan yang diatur dalam KUHP.

Lalu apakah benar permufakatan jahat dengan penyertaan memiliki kesamaan? Untuk menjawab hal tersebut penulis akan menjawab menggunakan analisa konseptual maupun normatif.

Secara konseptual, di dalam khazanah keilmuan hukum pidana, dikenal dengan adanya istilah “Form is of Criminal Act” atau disebut juga bentuk tingkatan atau perluasan dari tindak pidana. Mulai dari tingkatan terendah atau teringan hingga ke tingkatan tertinggi atau terberat.

Form is of Criminal Act ini terdiri dari:  1. Conspiracy (Permufakatan); 2. Preparation (Persiapan); 3. Attempt (Percobaan); 4. Criminal Act (Tindak Pidana); 5. Complicity (Penyertaan); 6. Concursus (bersamaan); dan 7. Recidive (Pengulangan), yang mana dari tingkatan tersebut mencakup gradasi berat ringannya perbuatan termasuk pula dilihat dari akibat yang ditimbulkan.

Permufakatan, persiapan dan percobaan adalah tahap awal dari terjadinya tindak pidana, artinya bahwa tiga fase awal dari Form is of Criminal Act. Ini merupakan bagian dari tindak pidana yang belum sempurna atau tidak selesai. Berbeda dengan tindak pidana yang merupakan delik selesai baik karena perbuatannya (delik formil) maupun karena akibatnya (delik materil). 

Permufakatan atau permufakatan jahat merupakan fase pertama dari terjadinya tindak pidana artinya perbuatan tersebut memiliki tingkat paling rendah kedudukannya di dalam Form is of Criminal Act. Karena yang ditekankan dalam permufakatan jahat adalah telah tercapainya kesepakatan dari dua orang atau lebih untuk melakukan tindak pidana, artinya tidak dituntut perbuatan atau akibat dari tindak pidana tersebut telah terjadi.

Sedangkan penyertaan dalam Form is of Criminal Act berada pada fase setelah tindak pidana. Artinya, dalam penyertaan ini perbuatan atau akibat yang ditimbulkan telah terjadi atau selesai.

Berdasarkan penjelasan tersebut, secara konseptual dapat disimpulkan, dalam permufakatan jahat adanya kesepakatan antara dua orang atau lebih untuk melakukan tindak pidana namun tindak pidana tersebut belum dilakukan, sedangkan dalam penyertaan dua orang atau lebih tersebut telah selesai melakukan tindak pidana.

Secara normatif, permufakatan jahat diatur dalam Pasal 88 KUHP (Ius Constitutum) yang menyebutkan “Permufakatan jahat terjadi jika dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan.” Selain itu juga diatur dalam undang-undang khusus, dimana salah satunya terdapat pada Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) khususnya diatur dalam Pasal 1 angka 18 juncto Pasal 132 UU Narkotika.

Pengertian permufakatan jahat diatur dalam Pasal 1 angka 18 yang menyebutkan,  “Permufakatan jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih yang bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu, turut serta melakukan, menyuruh, menganjurkan, memfasilitasi, memberi konsultasi, menjadi anggota suatu organisasi kejahatan Narkotika, atau mengorganisasikan suatu tindak pidana narkotika.”

Dari kedua ketentuan tersebut, secara expressive verbis terdapat frasa “akan” dan “untuk” yang artinya ketentuan ini tidak ditujukan terhadap selesainya perbuatan (delik selesai atau voltooid delict). Melainkan cukup dengan adanya kesepakatan saja tanpa perlu dilakukannya tindak pidana pokoknya agar dapat dikategorikan sebagai permufakatan jahat.

Sedangkan Pasal 132 UU Narkotika mengatur mengenai pemidanaan terhadap percobaan dan Permufakatan Jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika dapat dijatuhi pidana penjara yang sama dengan tindak pidana pokoknya. Sedangkan dalam ancaman pidana, beberapa tindak pidana pokok narkotika yang termuat dalam ketentuan tersebut, bersifat kumulatif yang terdiri dari pidana penjara dan pidana denda.

Dari perspektif pemidanaan, terdapatnya gradasi pemidanaan di dalam formulasi rumusan pasal menunjukan, terdapatnya pembedaan tingkat pidana berdasarkan berat-ringannya perbuatan. Berdasarkan ketentuan Pasal 132 UU Narkotika, jika unsur permufakatan jahat tersebut terbukti oleh perbuatan para terdakwa, maka pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidana penjara dengan menegasikan pidana denda. 

Artinya, orang yang terbukti melakukan permufakatan jahat dapat dijatuhi pidana yang lebih ringan dibandingkan dengan orang yang melakukan tindak pidana pokoknya (delik selesai). Dari analisa konseptual dan normatif di atas, maka dapat diketahui jika permufakatan jahat termasuk bagian atau perluasan dari tindak pidana yang paling ringan baik dari segi perbuatan maupun pemidanaannya.

Hal ini berbeda dengan konsep penyertaan. Penyertaan atau dikenal dengan istilah deelneming dalam hukum pidana mengacu pada keterlibatan lebih dari satu orang dalam suatu tindak pidana. Konsep ini mengatur pertanggungjawaban pidana bagi pihak yang tidak secara langsung melakukan tindak pidana, atau dengan kata lain penyertaan ini juga diartikan sebagai perluasan dari pertanggungjawaban pidana.

Secara normatif, delik penyertaan diatur dalam Pasal 55 KUHP Ius Constitutum, yang terdiri dari orang yang melakukan atau pleger, menyuruh lakukan atau doenpleger, turut serta melakukan atau medepleger, mengajurkan atau uitlokker dan Pasal 56 KUHP mengenai pembantuan atau medeplichtige.

Dari formulasi tersebut, diketahui jika penyertaan dengan berbagai bentuknya itu dilakukan pada fase dimana tindak pidana itu sempurna atau selesai voltooid delict. Dari penjelasan di atas apabila dikaitkan dengan tindak pidana narkotika, maka dapat disimpulkan, permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika secara konseptual berbeda dengan delik penyertaan. 

Di mana, pada permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika dapat dipidana berdasarkan tatbestand ausdehnungsgrund (dasar memperluas dapat dipidananya perbuatan), sedangkan  pada penyertaan melakukan tindak pidana narkotika pelakunya dapat dipidana berdasarkan strafausdehnungsgrund (dasar memperluas pertanggungjawaban pidana), yakni dengan melihat perannya dalam melakukan tindak pidana, baik dalam kualifikasi sebagai pembuat atau pembantu melakukan tindak pidana.

Terhadap pelaku penyertaan tindak pidana narkotika, perbuatannya harus dikaitkan dengan ketentuan penyertaan sebagaimana diatur dalam KUHP (juncto Pasal 55 atau Pasal 56 KUHP).

Berdasarkan analisa di atas, penulis menyimpulkan bahwa permufakatan jahat dapat diberlakukan bagi dua orang atau lebih yang bersepakat untuk melakukan tindak pidana narkotika dengan mensyaratkan belum selesainya perbuatan, sedangkan penyertaan tindak pidana narkotika diberlakukan bagi dua orang atau lebih yang secara Bersama-sama melakukan tindak pidana dengan mensyaratkan telah selesainya perbuatan atau voltooid delict.
 

Copy