Yurisprudensi MA RI Selesaikan Sertifikat Tanah Ganda: Bagaimana Pertimbangan Hukumnya ?

Bilamana terdapat sertifikat ganda (beda pemiliknya) atas objek tanah yang sama, di mana keduanya sama-sama akta autentik, maka bukti hak yang paling kuat adalah sertifikat terdahulu atau terbit lebih dahulu.
Gedung Mahkamah Agung. Foto dokumentasi MA
Gedung Mahkamah Agung. Foto dokumentasi MA


Konflik pertanahan masih menjadi pekerjaan rumah besar pemerintah Indonesia, dalam menyelesaikan program reformasi agraria. Menteri ATR/BPN Nusron Wahid pada akhir 2024, merilis jumlah sengketa pertanahan 2024 yaitu sekitar 48 ribu perkara.

Bahkan Indonesia masuk peringkat keenam konflik agraria terbanyak di Asia, setelah India, Kamboja, Filipina, Bangladesh dan Nepal. Sengketa tanah menjadi sengketa yang diselesaikan melalui jalur litigasi dengan angka tinggi di lembaga peradilan.

Badan Strategi Kebijakan dan Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI juga menyampaikan, konflik tanah masih mendominasi persoalan hukum yang diselesaikan peradilan umum di bawah Mahkamah Agung RI.

Tercatat, 44 % perkara yang diputus Pengadilan Negeri berasal dari konflik pertanahan. Sedangkan untuk sengketa tata usaha negara di PTUN, perkara yang berkaitan dengan kebijakan pertanahan memiliki persentase sejumlah 59,8%.

Konflik pertanahan terdiri dari berbagai macam bentuk, antara lain penguasaan tanah tanpa hak, sengketa batas, sengketa waris, konflik jual beli tanah, sertifikat ganda hak atas tanah, sertifikat hak atas tanah palsu, akta jual beli tanah palsu dan berbagai masalah lainnya.

Konflik pertanahan dapat terjadi antarsesama warga negara, atau warga negara berkonflik dengan korporasi dan tidak jarang, konflik warga negara dengan pemerintah, baik provinsi maupun pusat.

Salah satu problematika sengketa tanah karena terbitnya sertifikat ganda pada satu lokasi tanah. Permasalahan tersebut, menimbulkan ketidakpastian hukum dan dapat mengakibatkan konflik meluas, khususnya bagi para pihak yang mengeklaim pemilik sah atas satu objek tanah.

Maka, penulis akan menguraikan Yurisprudensi MA RI dalam mengadili konflik agraria dikarenakan terbitnya sertifikat ganda. Yurisprudensi MA RI dimaksud, diakses dari kolom/bagian Kaidah Hukum pada Direktori Putusan Mahkamah Agung RI.

Ketentuan Hukum Sertifikat Hak Atas Tanah

Tanah memiliki kedudukan penting dalam kehidupan manusia, merupakan identitas ekonomi, kebudayaan, politik dan identitas pribadi atau komunitas sosial. Bahkan menurut ahli hukum Ter Haar, tanah dan manusia terbangun ikatan kuat atau magis religius, karena tanah merupakan tempat domisili, sumber penghasilan dan tempat manusia dikebumikan. Tanah merupakan hak kebendaan yang dapat dimiliki warga negara dan dijamin secara hukum untuk tidak dirampas sewenang-wenang oleh siapapun, sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 28 H UUD NRI 1945.

Negara memiliki hak menguasai atas tanah, yang dapat diberikan dan dimiliki individu baik secara sendiri atau bersama-sama dengan individu lain serta badan-badan hukum, sesuai ketentuan Pasal 4 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Hak atas tanah yang dapat diberikan negara terdiri dari hak milik, hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut, yang akan ditetapkan undang-undang dan hak yang sifatnya sementara sesuai Pasal 53, sebagaimana Pasal 16 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Adapun di antara hak atas tanah, hak milik merupakan hak atas tanah terkuat dan terpenuh serta dapat dialihkan dan beralih kepada pihak lain, sesuai Pasal 20 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Pihak yang dapat memiliki hak milik adalah warga negara Indonesia, bank negara, koperasi pertanian dan badan hukum sosial atau keagamaan yang ditetapkan pemerintah bilamana memenuhi persyaratan, sesuai Pasal 21 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria jo Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang  Penunjukan  Badan-Badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah.

Sertifikat hak atas tanah merupakan alat pembuktian yang kuat sebagaimana ketentuan Pasal 19 Ayat 2 Huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Demikian juga, dipertegas kekuatan sertifikat hak atas tanah merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan yuridis yang termuat didalamnya, sepanjang sesuai dengan data dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan, sebagaimana Pasal 32 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Menurut penjelasan Pasal tersebut, sertifikat tanda bukti hak yang kuat, selama tidak dibuktikan sebaliknya mengenai data fisik dan yuridis yang tercantum dalam sertifikat, wajib diterima sebagai data yang benar.

Bagaimana dalam hal adanya sertifikat tanah ganda? Pembedanya hanya terletak pada nama pemiliknya yang berbeda. Selanjutnya penulis akan menguraikan pertimbangan hukum Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, dalam menyelesaikan dualisme sertifikat hak atas tanah di objek sengketa yang sama. 

Pertimbangan Hukum Yurisprudensi MA, Selesaikan Sertifikat Tanah Ganda

Meskipun prosedur pendaftaran tanah telah diatur secara rigid melalui Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, saat ini beberapa pasal yang mengatur pendaftaran tanah diubah atau disempurnakan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah. 

Akan tetapi, konflik pertanahan akibat sertifikat ganda masih dijumpai dalam penyelesaian perkara di pengadilan. Konflik tersebut, penyelesaiannya sampai tingkat kasasi dan Mahkamah Agung RI telah menjatuhkan berbagai putusan, kemudian menjadi Yurisprudensi karena diikuti oleh Majelis Hakim lainnya dalam mengadili perkara serupa.

Putusan Mahkamah Agung RI yang menjadi Yurisprudensi  dalam mengadili perkara sertifikat tanah ganda adalah Putusan Nomor  976 K/PDT/2015, Putusan Nomor 170 K/PDT/2017 dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1318 K/PDT/2017.

Kaidah hukum Yurisprudensi Mahkamah Agung RI dalam mengadili sertifikat tanah ganda yaitu, bilamana terdapat sertifikat ganda (beda pemiliknya) atas objek tanah yang sama, di mana keduanya sama-sama akta autentik, maka bukti hak yang paling kuat adalah sertifikat terdahulu atau terbit lebih dahulu.

Semoga artikel ini dapat menjadi referensi bagi para hakim dalam mengadili konflik agraria yang didasarkan sertifikat tanah ganda, serta memberikan informasi tambahan bagi masyarakat umum, khususnya akademisi dan mahasiswa fakultas hukum.

Penulis: Adji Prakoso
Editor: Tim MariNews