Yurisprudensi MA RI: Pembagian Harta Bersama Bagi Suami yang Tidak Cukup Nafkahi Istri

Bilamana terjadi putusnya perkawinan karena perceraian, maka pembagian harta bersama diatur menurut ketentuan hukum agama, hukum adat, dan ketentuan lainnya.
Gedung Mahkamah Agung. Foto: dokumentasi MA
Gedung Mahkamah Agung. Foto: dokumentasi MA

Mayoritas insan manusia yang tumbuh dewasa, memiliki keinginan membentuk ikatan keluarga harmonis dan bahagia melalui perkawinan yang sah didasarkan pada ketentuan hukum agamanya masing-masing dan tercatat oleh negara, sesuai Pasal 1 dan Pasal 2 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan).

Dalam suatu ikatan rumah tangga, antara laki-laki yang bertindak sebagai suami dan perempuan, istri memiliki hak dan kedudukan egaliter, baik di dalam rumah tangga ataupun sosial masyarakat, sesuai Pasal 31 Ayat 1 UU Perkawinan. 

Suami adalah pihak yang memiliki kewajiban memberikan nafkah atau membiayai kebutuhan keluarga didasarkan pada kemampuannya, sebagaimana Pasal 34 Ayat 1 UU Perkawinan.

Kewajiban pemberian nafkah oleh suami dalam UU Perkawinan, selaras dengan ketentuan berbagai agama, ambil contoh dalam agama Islam suami memiliki kewajiban memberikan nafkah kepada isteri dan anaknya, sesuai dengan kemampuannya yang ditegaskan berbagai surat dalam Al-Qur'an (surah Al Baqarah Ayat 233, surah At Thalaq Ayat 6 dan 7) dan hadis Nabi Muhammad SAW.

Demikian juga, kewajiban menanggung kehidupan dan membiayai keperluan isteri serta anak merupakan tanggung jawab suami/ayah, menurut ketentuan agama Kristen Protestan, sebagaimana tercatat dalam berbagai ayat di Alkitab seperti Timotius 5:8 dan Efesus 5:23-33.

Begitupun agama Hindu, kewajiban membiayai kehidupan isteri dan anaknya merupakan tugas dari seorang suami/ayah sebagaimana dalam kitab Bhagavad Gita dan Manava Dharma Sastra. Ketentuan kewajiban pemberian nafkah isteri dan anak, yang merupakan tugas suami juga tegas diatur dalam ajaran Agama Katholik, Budha dan Konghucu 

Walaupun telah diatur kewajiban membiayai kebutuhan istri dan anak sesuai kemampuannya, namun permasalahan ekonomi atau pembiayaan keluarga masih menjadi salah satu faktor penyebab putusnya perkawinan karena perceraian. Berdasarkan hasil riset Badan Pusat Statistik (BPS) 2023. Di mana, permasalahan ekonomi atau nafkah keluarga masih menjadi penyebab utama perceraian, selain perselisihan terus menerus, salah satu pihak meninggalkan pihak lain dalam perkawinan, adanya kekerasan dalam rumah tangga dan suami seorang pemabuk. 

Secara yuridis permasalahan ekonomi akibat tidak diberikan nafkah secara cukup, tidak dapat dijadikan alasan untuk ajukan perceraian, sesuai ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Kebiasaan yang dilakukan penggugat ketika mengajukan gugatan perceraian, akan menggunakan dalil antara suami dan isteri, terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran. Sehingga, tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga, hal itu sesuai Pasal 19 Huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Saat proses pembuktian akan terungkap perselisihan terus menerus diakibatkan kurangnya pemberian nafkah kepada isteri dan anak-anak.

Kekurangan pemberian nafkah yang berujung pada perceraian, menimbulkan problematika baru yakni, bagaimana pembagian harta bersamanya? Apakah suami yang tidak cukup memberikan nafkah tidak berhak atas harta bersama atau memiliki hak, tetapi dikurangi jumlahnya untuk diserahkan kepada isterinya? Terhadap problematika dimaksud, penulis akan uraikan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI mengenai pembagian harta bersama bagi suami yang tidak cukup berikan nafkah kepada isterinya

Kaidah Hukum Yurisprudensi MA RI: Pembagian Harta Bersama Bagi Suami yang Tidak Cukup Menafkahi Istri

Harta bersama merupakan seluruh kebendaan yang dihasilkan selama berlangsungnya perkawinan, hal itu sesuai ketentuan Pasal 35 Ayat 1 UU Perkawinan.

Adapun untuk perbuatan hukum atas harta bersama, di mana suami dan isteri dapat bertindak setelah mendapatkan persetujuan bersama, sebagaimana Pasal 36 Ayat 1 UU Perkawinan.

Bilamana terjadi putusnya perkawinan karena perceraian, maka pembagian harta bersama diatur menurut ketentuan hukum agama, hukum adat, dan ketentuan lainnya yang dipercayai oleh suami/isteri yang bercerai tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 37 UU Perkawinan dan penjelasannya.

Berdasarkan kaidah hukum Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 901 K/Pdt/2019 yang diputus 29 April 2019 oleh Majelis Hakim Agung yang diketuai Sudrajad Dimyati, S.H., M.H., dengan didampingi Dr. Drs. Muhammad Yunus Wahab, S.H., M.H. dan Dr. Pri Pambudi Teguh, S.H., M.H. masing-masing sebagai Hakim Anggota, menjelaskan harta yang dibeli ketika perkawinan berlangsung. 

Siapapun yang membelinya menjadi harta bersama dan permasalahan nafkah hidup tidak menjadi relevan, untuk dijadikan dasar mengurangi hak tergugat/mantan suami memperoleh setengah bagian dari harta bersama. Permasalahan nafkah hidup hanya menjadi dasar perceraian antara suami dan isteri.

Dengan demikian, berdasarkan kaidah hukum Putusan Mahkamah Agung RI yang telah menjadi Yurisprudensi MA RI, karena tercantum pada kompilasi kaidah hukum di Direktori Putusan Mahkamah Agung RI menegaskan, tidak cukupnya pemberian nafkah oleh suami, tidak mengakibatkan berkurangnya hak suami untuk dapatkan setengah bagian dari harta bersama. Seandainya hukum agama atau hukum adat yang dianutnya menganut prinsip pembagian harta bersama secara sama rata. 

Semoga kaidah hukum Yurisprudensi MA RI tersebut, dapat menjadi referensi bagi Para Hakim yang mengadili perkara serupa dan menambah pengetahuan bagi para akademisi, mahasiswa fakultas hukum serta para pembaca lainnya.
 

Penulis: Adji Prakoso
Editor: Tim MariNews