Kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida termasuk dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM).
Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya. Serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.
Adapun Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia telah menyebutkan 10 jenis kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti, pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa dan lain-lain.
Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan (Litbang Diklat Kumdil) Mahkamah Agung pada 2008, berhasil menghimpun berbagai Yurisprudensi melalui buku yang berjudul Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 2008.
Salah satu yurisprudensi tersebut yaitu Putusan Peninjauan Kembali Nomor 34 PK/PID.HAM.AD HOC/2007 dengan klasifikasi perkara kejahatan kemanusiaan.
Dikutip dari kata sambutan Kepala Badan Litbang Kumdil pada saat itu, yakni H. Anwar Usman, S.H., M.H., dalam buku tersebut menyebut, buku Yurisprudensi merupakan salah satu program kerja sebagaimana tercantum dalam DIPA Tahun Anggaran 2008, yaitu pengadaan buku yang isinya terkait dengan putusan-putusan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI.
Pada kata pengantar dalam buku tersebut juga disebutkan, putusan pengadilan tingkat pertama dan banding dari peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara dan peradilan militer tidak diikut sertakan. Hal itu sebagaimana penjelasan Kepala Biro Hukum dan Humas Badan Urusan Mahkamah Agung kala itu, Nurhadi, S.H., M.H., yang menyatakan, putusan di tingkat Mahkamah Agung (judex juris) telah cukup untuk menjadi bahan pertimbangan bagi pembaca buku Yurisprudensi terbitan 2008 itu.
Ringkasan Duduk Perkara
Pada 17 April 1999 dilaksanakan Apel Akbar Peresmian PAM Swakarsa di depan halaman kantor Gubernur Timor-Timur. Setelah mendengar pidato dari terdakwa Eurico Guterres (28), dengan pekerjaan sebagai mantan Wakil Panglima Pasukan Pejuang Integrasi (PPI), massa menyerang rumah Manuel Viegas Carrascalao yang saat itu sedang dihuni oleh 136 orang pengungsi dan membunuh 12 orang di antara mereka.
Terdakwa didakwa tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan, yaitu mencegah atau menghentikan bawahannya tersebut agar tidak melakukan atau menghentikan penyerangan dan pembunuhan terhadap massa yang ada di rumah Manuel Viegas Carrascalao tersebut, atau terdakwa tidak menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang.
Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Berupa Kejahatan Terhadap Kemanusiaan" dan menghukumnya dengan pidana penjara selama 10 tahun.
Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi Hak Asasi Manusia Ad Hoc mengurangi pidana penjara tersebut menjadi lima tahun penjara. Tetapi, di tingkat kasasi hukuman Terdakwa kembali menjadi 10 tahun penjara sebagaimana putusan dari pengadilan tingkat pertama.
Kemudian, terdakwa mengajukan upaya hukum peninjauan kembali karena ditemukan novum berdasarkan kesaksian putusan bebas Abilio Osorio Soares yang terkait juga dengan peristiwa yang sama.
Salah Satu Hakim Agung Kasasi Dissenting Opinion
Sebelum penulis menguraikan pertimbangan Majelis Hakim Peninjauan Kembali, Mahkamah Agung pada 13 Maret 2006 telah membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Tinggi Jakarta melalui Putusan Nomor 06 K/PID.HAM.AD HOC/2005.
Duduk sebagai Hakim Ketua pada Majelis Hakim Kasasi tersebut yaitu Ketua Muda Mahkamah Agung, H. Parman Suparman, S.H., M.H., dengan para Hakim Anggota yaitu, H. Dirwoto, S.H., Prof. Dr. Sumaryo Suryokusumo, S.H., LLM., H. Sakir Ardiwinata, S.H. dan Prof. A. Masyhur Effendi, S.H., MS.
Judex juris berpendapat, Pengadilan Tinggi HAM Ad Hoc salah menerapkan hukum dan melampaui kewenangannya, karena telah menjatuhkan pidana lebih ringan atau di bawah ancaman pidana yang paling singkat, yaitu pidana penjara 10 tahun sebagaimana ditentukan dalam pasal 42 ayat (2) huruf a dan b jis. Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a dan Pasal 37 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Lebih lanjut, Majelis Hakim Kasasi mendasarkan pertimbangan pada azas hukum dan praktik peradilan pidana, kebebasan hakim dalam menentukan berat ringannya hukuman adalah berkisar antara lamanya pidana minimal dan maksimal, sehingga, dalam perkara in casu, hakim dilarang untuk menjatuhkan pidana baik di bawah ancaman hukuman paling singkat maupun melebihi lamanya pidana maksimal.
“Bahwa pemidanaan yang lamanya di bawah ancaman hukum yang paling singkat atau melebihi ancaman pidana maksimal akan menimbulkan precedent yang buruk, dalam pelaksanaan beberapa peraturan perundang-undangan yang juga menganut determinate system, yang mengakibatkan tidak akan tercapainya tujuan pemidanaan yang harus bersifat bermanfaat, memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum.” terang Majelis Hakim dalam pertimbangan putusan tersebut.
Menariknya, Hakim Agung Prof. A. Masyhur Effendi, S.H., MS., berbeda pendapat (dissenting opinion) dengan menyatakan, terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan, sehingga, menurut Hakim Agung Masyhur Effendi, terdakwa harus dibebaskan dan diberikan rehabilitasi.
Hakim Agung Prof. A. Masyhur Effendi, S.H., MS., selaku Pembaca IV dalam majelis tersebut berpendapat, putusan hukum itu dirasakan adil atau tidak adil, terkait/tergantung pula pada kewajiban/beban yang dibagi antara pihak-pihak yang terkait.
Ia menilai, ketika ada beberapa orang melakukan pelanggaran bersama, kemudian sebagian dihukum dan sebagiannya tidak dihukum/dibebaskan, keadilan hukum tidak diterima. Kalau hal ini terjadi, tambahnya, yang ada adalah ketidakadilan. Dalam pertimbangan tersebut Masyhur Effendi mengutip kata Hart, "perlakukanlah kasus-kasus yang sama dengan cara yang sama pula" (HLA Hart, 1961, 155).
Masyhur Effendi lebih lanjut menjabarkan, dalam tanggung jawab HAM berat salah satu unsurnya adalah "state responsibility", berarti negara bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukan oleh aparatnya.
Selanjutnya, ia merujuk pada Pasal 42 sub 2 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 yang mengatur tanggung jawab komandan/atasan atas kejahatan HAM berat bawahannya yang tidak mampu melakukan pengendalian secara efektif atau mengabaikan informasi atau tidak mengambil tindakan yang layak untuk mencegah, maka pelanggaran HAM berat terjadi.
“In casu dalam kasus ini, menjadi pertanyaan siapa penanggung jawab. Posisi terdakwa pun menjadi kabur,” tegas Hakim Agung Masyhur Effendi dalam pertimbangan dissenting opinion itu.
Selanjutnya, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum HAM Ad Hoc berdasarkan musyawarah Majelis Hakim suara terbanyak. Judex juris mengadili sendiri perkara tersebut dengan mengambil alih alasan dan pertimbangan Putusan Pengadilan HAM Ad Hoc pada Pengadilan HAM Jakarta Pusat Nomor 04/Pid HAM/Ad Hoc/2002/PN.JKT.PST tanggal 27 November 2002 tersebut yang menurut Majelis Hakim Kasasi telah tepat dan benar.
Berdasarkan hal tersebut, hukuman terdakwa pada tingkat kasasi kembali menjadi 10 tahun penjara, karena terbukti melakukan tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan.
Majelis Hakim Peninjauan Kembali Bebaskan Terdakwa
Berbeda pandangan dari Majelis Hakim Kasasi, Majelis Hakim pada tingkat Peninjauan Kembali (PK) kemudian membenarkan alasan-alasan pemohon peninjauan kembali melalui Putusan Nomor 34 PK/PID.HAM.AD HOC/2007 tanggal 14 Maret 2008 karena terdapat keadaan baru dan kekhilafan dari putusan Majelis Kasasi.
Adapun Majelis Hakim dalam Peninjauan Kembali tersebut yaitu Iskandar Kamil, S.H. sebagai Hakim Ketua, Prof. Dr. Mieke Komar, S.H.,MCL, Dr. Ronald Zelfianus Titahelu, S.H., M.S, Dr. H Eddy Djunaedi Karnasudirdja, S.H., M.CJ., dan Djoko Sarwoko, S,H., M.H. sebagai para Hakim Anggota.
Majelis Peninjauan Kembali berpendapat, penyerangan yang didakwakan ternyata merupakan huru-hara/bentrokan yang terjadi seketika dan spontan setelah Apel Akbar tanpa ada perencanaan terlebih dahulu, sehingga, menurut Majelis Hakim, tidak ada unsur mens rea maupun actus reus. Bentrokan di rumah Manuel Viegas Carrascalao, tambah Majelis Hakim, terjadi ketika massa yang lewat rumah tersebut mendengar teriakan meminta tolong dari orang-orang yang diculik dan disekap di situ.
Putusan peninjauan kembali tersebut lebih lanjut mempertimbangkan, serangan terhadap penduduk sipil juga tidak terbukti. Menurut Majelis Hakim, sebetulnya korban adalah mereka dari kelompok yang aktif bertikai dengan yang menyerang, yaitu dari kelompok prokemerdekaan, oleh karenanya tidak termasuk pengertian kelompok sipil menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Dengan demikian, tambahnya, tindak pidana yang terjadi bukanlah kejahatan kemanusiaan seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
Majelis Hakim Peninjauan Kembali mendasarkan pada hukum internasional, terpidana tidak memenuhi kualifikasi seorang atasan sipil yang mempunyai otoritas de jure maupun de facto yang efektif terhadap anggota PPI, oleh karena ia tidak mempunyai otoritas dan kekuatan personil yang memadai dan nyata-nyata untuk menghentikan penyerangan yang dilakukan oleh anggotanya dan menghukum para pelaku.
Selanjutnya, Majelis Hakim turut menjabarkan agar seorang atasan sipil yang memiliki otoritas de facto dapat dipersalahkan melakukan omisi, tingkatan atau kadar (degree) otoritasnya haruslah sama dengan otoritas yang dimiliki atasan militer, yaitu antara lain dapat menghukum bawahannya, terdapat rantai hirarki pimpinan atau "chain of command” yang jelas.
“Adanya kewenangan mengeluarkan perintah-perintah yang dipatuhi oleh kesatuannya, dan kemampuan untuk mencegah dan menghukum bawahannya.” jelas Majelis Hakim Peninjauan Kembali yang diketuai oleh Iskandar Kamil, S.H.
Atas pertimbangan-pertimbangan demikian, Majelis Hakim kemudian membatalkan putusan majelis hakim pada tingkat sebelumnya dengan mengadili kembali yang menyatakan pemohon peninjauan kembali Eurico Guterres, tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dan membebaskan Eurico Guterres dari segala dakwaan. Majelis Hakim turut memulihkan hak Terpidana dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya melalui putusan peninjauan kembali tersebut.
Setelah penulis menguraikan putusan-putusan di atas, setidaknya ada tiga kaidah hukum yang dapat dipetik perihal perkara kejahatan kemanusiaan sebagai berikut:
1. Pertikaian, bentrokan atau huru-hara yang terjadi secara spontan tanpa perencanaan yang terinci tidak memenuhi unsur kebijakan organisasi untuk melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan secara meluas atau sistematik.
2. Orang atau kelompok yang terlibat atau ikut serta dalam pertikaian, bentrokan, atau huru-hara tidak dapat dikategorikan sebagai "penduduk sipil".
3. Tanggung jawab pidana seorang atasan sipil terhadap perbuatan bawahannya yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan (omisi) harus didasarkan pada adanya otoritas de jure atau de facto, yang mempunyai rantai hirarki pimpinan (chain of command) yang benar-benar efektif (seperti hirarki dalam organisasi kemiliteran).
Penulis berharap semoga dengan adanya yurisprudensi ini dapat menambah khazanah serta wawasan bagi para pembaca, khususnya para hakim dalam menunjang tugasnya sehari-hari yang berkaitan dengan perkara kejahatan kemanusiaan.