Yurisprudensi MA RI: Keabsahan Pengalihan Penerimaan Kuasa Kepada Pihak Ketiga (Substitusi)

Seorang penerima kuasa, yang menerima kuasa berdasarkan surat kuasa khusus untuk beracara di pengadilan, kemudian melimpahkan atau mengalihkan kuasanya kepada pihak lain, haruslah dibuat surat kuasa subsitusi. Tidak dapat dibenarkan penerima kuasa, hanya membuat surat pernyataan saja.
Dokumentasi sampul Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2016
Dokumentasi sampul Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2016

Proses persidangan sengketa perdata, kedua belah pihak berperkara (penggugat atau tergugat) dapat hadir sendiri atau diwakilkan oleh kuasanya.

Bilamana yang dikuasakan adalah seorang atau lebih advokat, maka pemberian kuasanya melalui surat kuasa khusus dalam bentuk akta atau tertulis, sebagaimana ketentuan Pasal 123 Ayat 1 HIR/147 Ayat 1 Rbg.

Selain itu, hukum perdata materil juga mengatur pemberian kuasa khusus sebagaimana ketentuan Pasal 1795 KUHPerdata. Terhadap badan hukum publik atau privat, pemberian kuasa dapat dilimpahkan kepada pegawai dari badan hukum tersebut.

Sedangkan untuk keluarga para pihak berperkara, dapat bertindak sebagai kuasa dan mewakili kepentingan penggugat atau tergugat, melalui surat kuasa insidentil sebagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung RI Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.

Secara historis, pengaturan tentang formalitas surat kuasa khusus telah diatur melalui berbagai kebijakan Mahkamah Agung RI sejak 1959 dan terus disempurnakan. Awalnya, pengaturan surat kuasa khusus diatur melalui SEMA Nomor 2 Tahun 1959, kemudian diubah menjadi SEMA Nomor 5 Tahun 1962 dan diganti menjadi SEMA Nomor 1 Tahun 1971, serta selanjutnya mengalami penyempurnaan melalui SEMA Nomor 6 Tahun 1994.

Adapun berdasarkan ketentuan SEMA Nomor 6 Tahun 1994, surat kuasa khusus wajib memenuhi syarat antara lain, menguraikan secara terang identitas para pihak berperkara, menjelaskan pokok masalah yang disengketakan dalam perkara perdata atau pasal yang didakwakan terhadap terdakwa pada perkara pidana, menjelaskan surat kuasa khusus untuk berperan di pengadilan dan diuraikan kewenangan relatif pengadilannya. 

Bilamana surat kuasa khusus menyebutkan untuk pemeriksaan tingkat banding dan kasasi, surat kuasa khusus berlaku sampai tingkat kasasi tanpa perlu adanya surat kuasa khusus baru. Hal ini dipertegas dalam SEMA Nomor 7 Tahun 2012. Sedangkan surat kuasa khusus untuk peninjauan kembali, wajib dibuat surat kuasa khusus tersendiri karena peninjauan kembali bukan peradilan tingkat selanjutnya dari tingkat pertama, banding dan kasasi.

Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa, di mana wajib dibedakan dengan upaya hukum biasa termasuk penilaian surat kuasa khusus yang digunakan, sebagaimana SEMA Nomor 7 Tahun 2012

Kewajiban mewakili kepentingan kuasa, dapat dilimpahkan kepada pihak ketiga lainnya. Namun, pelimpahan kewajiban penerima kuasa kepada pihak lainnya, wajib memenuhi syarat yang ditentutkan peraturan perundang-undangan.

Selain itu, terdapat Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, yang kaidah hukumnya menerangkan keabsahan pengalihan kuasa kepada pihak lain (substitusi kuasa). Bagaimana pengaturan perundang-undangan dan kaidah hukum Yurisprudensi MA RI menjelaskan keabsahan pengalihan atau subsitusi kuasa khusus kepada pihak lain, akan diuraikan penulis di bawah ini;

Pengaturan Hukum dan Kaidah Yurisprudensi MA RI tentang Keabsahan Substitusi Kuasa Khusus 

Dalam pemberian kuasa khusus, penerima kuasa tidak dapat bertindak atau melakukan perbuatan hukum yang melampaui dari kuasa yang diberikan kepadanya, sebagaimana ketentuan Pasal 1797 KUHPerdata.

Bilamana penerima kuasa melakukan perbuatan melampaui kewenangan yang diberikan surat kuasa khusus yang telah ditandatangani, pemberi kuasa tidak bertanggung jawab atas perbuatan hukum penerima kuasa tersebut, sebagaimana Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 311 K/Sip/1973 yang diputuskan tanggal 4 Desember 1975.

Selama kuasa belum dicabut dan kewajiban melaksanakan tugas yang dikuasakan belum berakhir, maka surat kuasa khusus tetap berlaku dan penerima kuasa wajib menyelesaikan tanggung jawab yang diberikan pemberi kuasa sebagaimana tertuang dalam surat kuasa khusus, sesuai ketentuan Pasal 1803 KUHPerdata. Demikian juga kaidah hukum Yurisprudensi MA RI Nomor 539 K/Sip/1971, menerangkan surat kuasa khusus masih belum atau tidak dicabut oleh pemberi kuasa, maka kedua belah pihak pemberi dan penerima kuasa, terikat dalam perjanjian pemberian kuasa, sebagaimana diatur peraturan perundang-undangan.

Dalam praktik persidangan, tidak sedikit kita saksikan adanya pengalihan kuasa atau subtitusi kepada pihak lain, dalam agenda persidangan tertentu. Keadaan tersebut, sering terjadi saat domisili penerima kuasa berbeda dengan wilayah hukum pengadilan yang menjadi objek beracara atau bersidang, ketika mewakili kepentingan penerima kuasa.

Pemberian substitusi atau pengalihan urusan tertentu dalam perjanjian kuasa khusus dapat dilakukan menurut Pasal 1803 KUHPerdata. Namun. terdapat beberapa syarat yang wajib dipenuhi agar pengalihan atau substitusi kuasa sah secara hukum. Salah satunya dalam ketentuan Pasal 1803 KUHPerdata diwajibkan adanya penegasan secara tertulis dalam surat kuasa khusus. 

Selain itu, dalam ketentuan tersebut diterangkan penerima kuasa bertanggung jawab atas orang lain yang ditunjuk untuk menggantikannya, ketika melaksanakan kewajiban sebagai penerima kuasa. Dalam praktik surat kuasa khusus yang dibuat para advokat, dituliskan bahwa surat kuasa khusus tersebut dapat disubtitusikan.

Bilamana pemberi kuasa menandatangani surat kuasa khusus yang terdapat title subtitusi kuasa, dianggap menyetujui adanya pengalihan kuasa atau substitusi kuasa kepada pihak ketiga. Namun, apakah ketentuan hukum substitusi tersebut telah terang secara hukum dan praktek yang dilakukan advokat dibenarkan oleh kaidah hukum Yurisprudensi Mahkamah Agung RI?

Menurut kaidah hukum Yurisprudensi MA RI Nomor 321 K/Sip/1974 tanggal 19 Agustus 1975, seorang penerima kuasa, yang menerima kuasa berdasarkan surat kuasa khusus untuk beracara di pengadilan, kemudian melimpahkan atau mengalihkan kuasanya kepada pihak lain, haruslah dibuat surat kuasa subsitusi. Tidak dapat dibenarkan penerima kuasa, hanya membuat surat pernyataan saja. 

Maka, berdasarkan kaidah hukum Yurisprudensi MA RI tersebut, penulis menyimpulkan tetap diperlukan adanya surat kuasa substitusi tersendiri, ketika ada pengalihan penerimaan kuasa kepada pihak ketiga dan tidak hanya cukup berdasarkan surat kuasa khusus yang awal dibuat antara pemberi kuasa dan penerima kuasa, dengan mencantumkan title substitusi didalamnya. Hal ini untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam proses pemeriksaan perkara, agar tidak terlanggar hak para pencari keadilan.

Semoga artikel ini dapat memberikan manfaat bagi para hakim, akademisi dan para pembacanya, khususnya yang mencari referensi berkaitan dengan pengalihan atau substitusi penerimaan kuasa khusus. 

Penulis: Adji Prakoso
Editor: Tim MariNews