Yurisprudensi: Penuntutan Tidak Dapat Diterima Apabila Dakwaan Didasarkan pada Undang-Undang yang Tidak Berlaku Lagi

Semoga dengan adanya berbagai publikasi dan penyusunan mengenai yurisprudensi Mahkamah Agung ini, dapat meningkatkan kesadaran dan pemahaman akan fungsi yurisprudensi dalam kehidupan negara hukum.
Ilustrasi Yurisprudensi MA dalam sebuah keputusan. Foto  stock.adobe.com
Ilustrasi Yurisprudensi MA dalam sebuah keputusan. Foto stock.adobe.com

Tidak semua putusan hakim dapat dikategorikan sebagai yurisprudensi. Sebuah putusan dapat berkualifikasi sebagai yurisprudensi, apabila putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap dan telah melalui uji eksaminasi serta notasi oleh Tim Yurisprudensi Mahkamah Agung.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 52 K/Pid/1997 menjadi salah satu yurisprudensi hukum pidana sebagaimana telah dimuat dalam sebuah buku berjudul Yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang diterbitkan pada 2000. Duduk sebagai Hakim Ketua pada putusan kasasi tersebut yaitu, Ketua Muda Bidang Pidana, M. Syaifuddin Kartasasmita, S.H. dengan para Hakim Anggota yaitu, Iskandar Kamil, S.H. dan I Nengah Wedastra, S.H.

Perkara bermula saat terdakwa Nanang bin Jamberan pada 6 Desember 1995 melakukan penyelundupan bawang putih sebanyak 45 sak seberat 1 ton lebih dari luar negeri ke Indonesia. Hal itu dilakukan oleh terdakwa dengan cara membicarakannya terlebih dahulu dengan Agus Panonori tentang rencana jual beli bawang putih eks luar negeri dan terdakwa sanggup membeli dengan harga lebih murah dari pasaran. Kemudian, Agus Panonori memberitahu bahwa bawang putih sudah ada di kapal, tanpa dilindungi dokumen. Lalu terdakwa membeli dan membawa bawang putih tersebut. Pada saat sedang membawa bawang putih itu, terdakwa ditangkap oleh polisi.

Atas perbuatannya, terdakwa didakwa oleh penuntut umum dengan dakwaan subsideritas yaitu, primer melanggar Pasal 56 ke-2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) jo. Pasal 26 b Ordonansi Bea Stbl 1931 Nomor 471 jo. Undang-Undang Nomor 7/Drt/1955 jo. Undang-Undang Nomor 8/Drt/1958 jo. Undang-Undang Nomor 21/Prp/1959. Adapun dalam dakwaan subsider, menurut penuntut umum, terdakwa melanggar Pasal 480 ke-1 KUHP.

Penuntut umum kemudian menuntut terdakwa dengan hukuman penjara selama satu tahun dan enam bulan atas perbuatan penadahan sebagaimana dalam dakwaan subsider.

Pertimbangan Judex Facti

Pada pengadilan tingkat pertama, Majelis Hakim berpendapat, tindak pidana yang didakwakan dalam dakwaan primer tersebut adalah penyelundupan yaitu, melarang perbuatan mengimpor atau mengekspor barang-barang atau berupaya mengimpor atau mengekspor barang-barang tanpa mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam Ordonansi Bea (O.B.) dan Reglemen yang terlampir.

Pengadilan Negeri (PN) Banjarmasin melalui Putusan Nomor 36/Pid.B/1996/PN.Bjm selanjutnya memutuskan, perbuatan terdakwa tidak memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam dakwaan primer tersebut. Ini karena sebagaimana terbukti dalam persidangan jika terdakwa tidak mengimpor atau memasukkan bawang dari luar negeri ke wilayah Indonesia, melainkan membeli bawang putih di Kapal Tanjung Glory dan saksi Agus Pononori di Banjarmasin. Oleh karenanya, menurut Majelis Hakim, perbuatan terdakwa tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan penyelundupan.

Majelis Hakim selanjutnya menyatakan, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum telah melakukan perbuatan yang didakwakan dalam dakwaan subsider yaitu melanggar Pasal 480 ke-1 KUHP.

Hal tersebut dengan pertimbangan, adanya barang bukti berupa bawang putih sebanyak 45 sak seberat satu ton lebih, terbukti bahwa benar terdakwa pada 6 Desember 1995 di Banjarmasin telah membeli bawang putih sebanyak 45 sak dari saksi Agus Panonori dengan harga yang baru dibayar sejumlah Rp2,5 juta.

Selanjutnya, Agus Panonori, anak buah Kapal Tanjung Glory (ABK), membeli bawang tersebut dari Tarakan kemudian mengangkut ke Banjarmasin secara sembunyi dengan kapal tersebut. Lalu, bawang tersebut dijual kepada terdakwa dan pada saat diangkut dengan perahu klotok, terdakwa kemudian ditangkap Polisi.

Majelis Hakim menilai, terdakwa seharusnya dapat menyangka atau menduga bahwa bawang tersebut berasal dari barang yang gelap (kejahatan). Terdakwa telah berhasil membeli bawang dari Agus Panonori bukan sebagai pedagang bawang melainkan anak buah kapal (ABK) Tanjung Glory.  Terlebih transaksi jual-beli, tambah Majelis Hakim, dilakukan di tempat yang tidak lazim yaitu di kapal, bukan di pasar atau di toko dan diambil pada malam hari.

“Menimbang, perbuatan Terdakwa dan saksi Agus Panonori dengan jual beli bawang luar negeri dapat merugikan petani bawang lokal, karena konsumen lebih tertarik membeli bawang dari luar yang menarik, besar dan murah daripada membeli bawang lokal.” ungkap Majelis Hakim dengan Maryono, S.H., sebagai Hakim Ketua, B. F. Siregar, S.H., dan Hj. Noerlela Hayati, S.H. sebagai para Hakim Anggota melalui putusannya.

Judex Facti melalui putusan yang diketok pada 5 Juni 1996 tersebut, kemudian menyatakan terdakwa Nanang bin Jamberan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum melakukan tindak pidana dalam dakwaan primer dan membebaskan terdakwa dari dakwaan primer.

Selanjutnya, Majelis Hakim menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana penadahan dalam dakwaan subsider dan menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama enam bulan, dengan ketentuan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan.

Senada dengan putusan pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi (PT) Banjarmasin kemudian menerima permohonan banding dari Jaksa/Penuntut Umum. Pengadilan Tinggi Banjarmasin melalui Putusan Nomor 30/Pid/1996/PT.Bjm tersebut, menguatkan putusan PN Banjarmasin Nomor 36/Pid.B/1996/PN.Bjm dengan pertimbangan, segala pertimbangan yang diuraikan oleh Majelis Hakim tingkat pertama telah tepat dan benar.

Judex Juris Mengabulkan Permohonan Kasasi

Atas putusan pengadilan tingkat pertama dan banding tersebut, terdakwa kemudian mengajukan upaya hukum kasasi kepada Mahkamah Agung. Majelis Hakim Kasasi melalui Putusan Nomor 52 K/Pid/1997 itu, mengabulkan permohonan kasasi dari terdakwa selaku pemohon kasasi.

Judex juris menilai, judex facti telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan bahwa terdakwa dalam dakwaan primer telah didakwa melakukan tindak pidana penyelundupan sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 56 Ke 2 KUHP jo. 26 b Ordonansi Bea Stbl. 1931 Nomor 471 jo. Undang-Undang Nomor 7/Drt/1955 jo Undang-Undang Nomor 8/Drt/1958 jo. Undang-Undang Nomor 21/Prp/1959.

Majelis Hakim Kasasi menyatakan, sesuai dakwaan tersebut, perbuatan terdakwa dilakukan pada 6 Desember 1995 sedangkan Ordonansi Bea Stbl 1931 Nomor 471 telah dinyatakan tidak berlaku, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 yang berlaku sejak tanggal 1 April 1995.

“Bahwa dengan demikian, dakwaan primer tersebut didasarkan pada undang-undang yang telah dinyatakan tidak berlaku lagi, maka penuntutan yang didasarkan pada Ordonansi Bea tersebut tidak dapat diterima.” tegas Majelis Hakim sebagaimana dalam pertimbangan putusannya.

Selanjutnya, Mahkamah Agung berpendapat, pertimbangan judex facti mengenai dakwaan subsider telah tepat dan benar. Sehingga, judex juris mengambil alih pertimbangan putusan judex facti dalam dakwaan subsider tersebut sebagai pertimbangan sendiri dalam putusan kasasi.

Pada 22 Januari 1998, pengadilan tingkat kasasi kemudian menjatuhkan putusan dengan mengadili sendiri yaitu, menyatakan tidak dapat diterima dakwaan Jaksa/Penuntut Umum dalam dakwaan primer dan menyatakan terdakwa Nanang bin Jamberan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penadahan. 

“Menghukum terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama enam bulan,” ujar Majelis Hakim Kasasi sebagaimana dikutip dalam amar putusannya.

Dengan demikian, kaidah hukum yang dapat diperoleh berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 52 K/Pid/1997 tersebut yaitu, judex facti telah salah menerapkan hukum karena dakwaan yang didasarkan pada undang-undang yang telah dinyatakan tidak berlaku lagi, sehingga penuntutannya tidak dapat diterima.

Semoga dengan adanya berbagai publikasi dan penyusunan mengenai yurisprudensi Mahkamah Agung ini, dapat meningkatkan kesadaran dan pemahaman akan fungsi yurisprudensi dalam kehidupan negara hukum. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh M. Yahya Harahap, S.H., yang dikutip dari buku berjudul Peranan Yurisprudensi sebagai Sumber Hukum (1998). 

Pada buku itu, ia menyatakan, masih banyak kalangan yang kurang memperdulikan makna dan peran yurisprudensi dalam kehidupan negara hukum terutama dalam menghadapi pembangunan hukum (law development) dalam kasus perubahan sosial yang semakin cepat.

Oleh karenanya, yurisprudensi ini diharapkan dapat memberikan arah bagi pemecahan kasus dengan tetap memperhatikan pada segi-segi kekhususan yang ada pada setiap kasus.

 

Penulis: Nadia Yurisa Adila
Editor: Tim MariNews
Copy