Yurisprudensi kali ini diangkat dari klasifikasi perkara praperadilan dengan Putusan Kasasi Nomor 1156 K/PID/2000, tertanggal 11 Oktober 2000 antara Hendra Rahardja sebagai pemohon/termohon kasasi dan Kepolisian Negara Republik Indonesia c.q. Korps Reserse Polri Direktorat Reserse Ekonomi sebagai termohon/pemohon kasasi.
Putusan dengan Majelis Hakim Kasasi, yaitu Ketua Muda Mahkamah Agung bidang Perdata Adat, H. Toton Suprapto, S.H., sebagai Hakim Ketua, Iskandar Kamil, S.H. dan Soedarko, S.H. masing-masing sebagai Hakim Anggota tersebut, dimuat dalam sebuah buku berjudul Yurisprudensi Mahkamah Agung RI 2002 yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung pada 2003.
Adapun dua kaidah hukum yang dapat dipetik berdasarkan Putusan Nomor 1156 K/PID/2000 tersebut adalah sebagai berikut:
1. Perbuatan pemohon kasasi yang belum memberikan tembusan surat perintah penangkapan, adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 18 (3) KUHAP, sebab pemberian tembusan tersebut, harus diberikan segera setelah penangkapan dilakukan sedangkan ternyata penangkapan belum dilakukan atas pemohon kasasi.
2. Dalam perkara a quo, pemohon ditangkap dan ditahan atas perintah dan oleh Polisi Federal Australia, bukan dilakukan oleh Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sedangkan praperadilan mengenai sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan hanya berlaku bagi penangkapan dan penahanan hanya berlaku bagi penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh penyidik Indonesia sebagaimana ditentukan dan diatur Pasal 17, 18 dan 20 KUHAP.
Kemudian, bagaimana gambaran duduk perkaranya? Yuk, simak penjelasan di bawah ini, ya!
Duduk Perkara Praperadilan
Perkara bermula pada 3 Juli 1998, Drs. Mustahaai Sembiring, yang bekerja sebagai anggota Polri telah membuat laporan Polisi No. Pol. LP/182/VII/1998/SERSE.EK, dengan tindak pidana yang dilaporkan adalah tindak pidana perbankan sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan juncto Pasal 35 dan 86 KUHAP. Laporan polisi tersebut menyebutkan nama-nama tersangka adalah:
- Hendra Rahardja (Komisaris Utama Bank Harapan Sentosa);
- Eko Edi Putranto;
- Andre Widijanto;
- Ny. Sherly Kojonglan;
- Hendro Suwena,
Adapun dasar dari permohonan praperadilan tersebut, pemohon praperadilan mendalilkan, laporan pidana tersebut dibuat oleh anggota Polri sendiri dan saksi korban dalam dugaan tindak pidana tersebut tidak jelas. Dengan demikian, menurut pemohon, dikeluarkannya Surat Perintah Penangkapan No. Pol. SPP/R/69-M/VIII/Ditserse.Ek, pada 10 Agustus 1998 terhadap pemohon, Copy Interpol Red Notice dengan tanda “A 1” atas nama Hendra Rahardja dan Affidavit dari Rod Wissam, sangat tidak berdasar hukum dan keluarnya Surat Perintah Penangkapan tersebut tidak sah.
PN Jakarta Selatan Mengabulkan Permohonan Praperadilan
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan selaku pengadilan tingkat pertama dan terakhir yang memutus perkara praperadilan tersebut mengabulkan permohonan pemohon praperadilan (Hendra Rahardja) melalui Putusan Nomor 07/Pid/Prap/2000/PN.Jak.Sel.
Hakim Praperadilan mempertimbangkan bukti surat T-6 berupa permintaan ekstradisi terhadap tersangka Hendra Rahardja yang ditujukan kepada Menteri Kehakiman (Surat Termohon No.Pol. R/ 520V1/1999). Di mana, dalam angka 2 surat tersebut, termohon dengan tegas telah menyatakan, Hendra Rahardja telah berada dalam status tahanan sementara di kepolisian Australia.
Kemudian berdasarkan bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan, Hakim Praperadilan menyimpulkan, penangkapan dan atau penahanan terhadap Hendra Rahardja di Australia bukan karena perbuatan money laundering yang dilakukan oleh pemohon di Australia, melainkan karena dikehendaki dan diperintahkan oleh Kepolisian RI (termohon) melalui Interpol, agar Polisi Federal Australia menangkap dan menahan Pemohon sebagai tindak lanjut atas penyidikan tentang kasus dugaan pelanggaran Undang-Undang Perbankan dari pemohon dan kawan-kawan.
Hakim yang mengadili praperadilan tersebut juga menyoroti, segala tanggung jawab yang berhubungan dengan penangkapan dan atau penahanan berada pada termohon, karena Polisi Federal Australia hanya merupakan "kepanjangan tangan" dari termohon. Dengan demikian, menurut hakim, bantahan termohon bahwa bukan pihaknya yang telah menangkap dengan menahan pemohon harus ditolak.
Selanjutnya, putusan praperadilan tersebut turut mempertimbangkan bukti PR-9/9a berupa pemberitahuan menurut sub bagian 16 ayat (1) sehubungan dengan diterimanya permohonan ekstradisi dari Pemerintah Indonesia tertanggal 28 Juni 1999, Nota Diplomatik No. 157/PO/ VI/99/29 adalah sangat bersesuaian dengan bukti T-6 dan T-7 tentang permintaan ekstradisi Hendra Rahardja.
Hakim Praperadilan menilai, bukti PR-9/9a adalah jawaban atas permintaan ekstradisi oleh termohon melalui Menteri Kehakiman dan Menteri Luar Negeri yang pada pokoknya menerima permohonan ekstradisi tersebut.
Lebih lanjut, Hakim Praperadilan berpendapat dalam pertimbangan putusannya, terdapat cukup waktu bagi termohon untuk mengurus pengesktradisian pemohon, sedangkan pemohon sendiri tidak pernah menolak untuk diekstradisi. Namun, termohon tidak lagi menghiraukannya, bahkan langsung melimpahkan perkaranya ke Kejaksaan Tinggi yang membuahkan hasil berupa pengembalian berkas perkara untuk dilengkapi (vide bukti PR-2 berupa surat dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta kepada Dan Korserse Polri Up. Direktorat Reserse Ekonomi, tertanggal 23 Februari 1998).
“Menimbang, bahwa kelalaian termohon memenuhi isi Surat Perintah Australia (PR-9/9a) dan surat Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta (PR-2) membawa konsekuensi berlarutnya penahanan pemohon.” bunyi salah satu pertimbangan dalam putusan yang diketok pada 23 Juni 2000 itu.
Hakim Praperadilan kemudian merujuk pada Pasal 18 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP), tembusan surat perintah penangkapan dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan. Namun, dari bukti yang diajukan oleh termohon, menurut Hakim Praperadilan, termohon tidak dapat membuktikan, telah memberikan tembusan pada keluarga pemohon. Hal tersebut, menurut Hakim Praperadilan, jelas merupakan pelanggaran atas ketentuan tersebut.
Perihal surat perintah yang harus ditembuskan dan disampaikan pada keluarga pemohon, Hakim Praperadilan berpendapat, jelas bukan dimaksudkan sebagai syarat administrasi melainkan merupakan bagian tak terpisahkan dari proses dan mekanisme penggunaan upaya paksa atas sangkaan adanya perbuatan pidana dilakukan oleh seseorang, tidak terkecuali terhadap pemohon.
“Menimbang, keharusan memberikan tembusan kepada keluarga tersangka dimaksudkan untuk melindungi hak asasi tersangka, sehingga memungkinkan keluarga atau Penasihat Hukum tersangka mengajukan keberatan bila penangkapan dan penahanan terhadap tersangka tidak beralasan hukum atau ada pelanggaran atas prosedur penangkapan dan penahanan.” ungkap Hakim Praperadilan dalam pertimbangan hukum pada Putusan Nomor 07/Pid/Prap/2000/PN.Jak.Sel tersebut.
Adapun akibat dari termohon yang telah melakukan penangkapan dan atau penahanan yang tidak sah tersebut, Hakim kemudian menghukum termohon untuk membayar ganti rugi kepada pemohon sejumlah Rp1 juta.
Selanjutnya, Hakim Praperadilan mempertimbangkan tuntutan pemohon tentang tidak sahnya surat Interpol Red Notice dengan tanda "A 1" atas nama Hendra Rahardja dan Affidavit dari Rod Wissam tanggal 01 Juni 1998 tidak sah. Hakim Praperadilan menilai, hal tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima karena berada di luar lingkup kewenangan praperadilan. Terlebih lagi, tambah Hakim Praperadilan, hal itu diterbitkan oleh orang/badan hukum atau lembaga asing yang tidak tunduk pada hukum Indonesia.
Hakim Praperadilan kemudian menjatuhkan putusan dengan amar sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan pemohon;
2. Menyatakan bahwa penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh termohon terhadap Hendra Rahardja tidak sah;
3. Memerintahkan termohon untuk segera membebaskan pemohon (Hendra Rahardja) dari tahanan;
4. Menghukum termohon untuk membayar ganti rugi kepada pemohon sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah);
5. Memulihkan hak pemohon dalam kedudukan dan harkat serta martabatnya;
6. Menyatakan permohonan selain dan selebihnya tidak dapat diterima;
Mahkamah Agung Mengadili Sendiri
Tak puas dengan dikabulkannya putusan praperadilan tersebut, Kepolisian Negara Republik Indonesia c.q. Korps Reserse Polri Direktorat Reserse Ekonomi selaku termohon praperadilan, kemudian mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.
Sebagaimana diketahui, pada dasarnya terhadap putusan praperadilan tidak dapat diajukan permohonan kasasi dengan pertimbangan agar permohonan dapat diselesaikan secara cepat.
Lalu, menjadi question of law selanjutnya, apakah permohonan kasasi terhadap putusan praperadilan demikian secara formil dapat diterima oleh Mahkamah Agung?
Atas permohonan kasasi tersebut, Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 1156 K/PID/2000 secara khusus memberikan beberapa pertimbangan yang menerima secara formil permohonan kasasi sebagai berikut:
1. bahwa dalam KUHAP tidak terdapat ketentuan yang secara eksplisit melarang permohonan kasasi terhadap putusan praperadilan;
2. bahwa berdasarkan Pasal 88 dan Pasal 244 KUHAP, terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain, selain dari pada Mahkamah Agung, dapat diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali terhadap putusan bebas;
3. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 83 ayat (1) KUHAP, putusan praperadilan oleh Pengadilan Negeri dan juga menurut ayat (2) oleh Pengadilan Tinggi merupakan putusan akhir selain dari pada Mahkamah Agung;
4. bahwa upaya untuk menyelesaikan pemeriksaan suatu perkara secepatnya harus diartikan bahwa:
a. kecepatan penyelesaian tidak hanya pada suatu tingkat/tahap pemeriksaan saja, namun juga pada semua tingkat/tahap pemeriksaan sampai tuntas penyelesaiannya sehingga tercapai kepastian hukum;
b. kecepatan proses penyelesaian perkara tidak boleh mengabaikan upaya penegakan hukum dan keadilan, baik untuk kepentingan tersangka/terdakwa, pihak ketiga yang berkepentingan maupun masyarakat dan negara pada umumnya;
5. bahwa kasus perkara ini berkaitan dengan ketentuan-ketentuan dalam Hukum Internasional, khususnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1994 tentang pengesahan perjanjian ekstradisi antara Republik Indonesia dan Australia, sehingga pelaksanaan ketentuan dalam KUHAP sebagai lex generalis harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan lain yang merupakan lex spesialis, sementara itu ketentuan hukum nasional hanya berlaku dalam wilayah nasional yang bersangkutan;
6. bahwa Mahkamah Agung selaku badan peradilan tertinggi yang mempunyai tugas untuk membina dan menjaga agar semua ketentuan dan undang-undang di seluruh Wilayah Negara Indonesia diterapkan secara tepat dan adil, Mahkamah Agung wajib memeriksa apabila ada pihak yang mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan di bawahnya guna menentukan sudah tepat dan adilkah putusan pengadilan di bawahnya itu;
7. bahwa Mahkamah Agung berkewajiban untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan Kekuasaan Kehakiman.
Selanjutnya, Majelis Hakim Kasasi berpendapat dalam putusannya, penerbitan Surat Perintah Penangkapan No. PoL. SPP/R/69-M/VIII/1998/Dit Serse.Ek, tanggal 10 Agustus 1998, dan Surat Perintah Penangkapan No. 180/VII/1998/Serse.Ek, tanggal 18 Juni 1999 atas nama Hendra Rahardja adalah sah. Hal ini dengan pertimbangan karena telah dilakukan sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam Bab V, Bagian Kesatu tentang penangkapan, Pasal 16, 17, 18 dan 19 KUHAP.
Lebih lanjut, pelaksanaan atas surat-surat perintah penangkapan tersebut belum dilakukan oleh pemohon kasasi, sebab menurut Majelis Hakim Kasasi, terhadap permintaan suatu ekstradisi, negara yang diminta (Pemerintah Australia) dapat menerima atau menolaknya, sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1994 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Australia.
“Sedangkan permintaan ekstradisi dari Pemerintah Indonesia tersebut masih dalam proses sesuai ketentuan hukum di Australia.” imbuh Majelis Hakim Kasasi melalui pertimbangan putusannya.
Dalam putusan kasasi tersebut, Majelis Hakim turut menilai bukti PR-9 berupa terjemahan mengenai pemberitahuan menurut Sub Bagian 16 (1) sehubungan dengan diterimanya permohonan ekstradisi dari Menteri Kehakiman dan Bea Cukai Persemakmuran Australia, tertanggal 16 Juli 2000 dan bukti PR-9a berupa Notice Under Subsection 16 (1) in Relation To Receipt of Extradition Request tersebut bukan merupakan persetujuan dari Pemerintah Australia. Tetapi, hanya merupakan pernyataan tentang adanya permintaan ekstradisi atas nama Hendra Rahardja dari Pemerintah Indonesia.
Hal ini menurut penilaian Majelis Hakim Kasasi, Pemerintah Australia belum memberitahu disetujui atau ditolaknya permintaan ekstradisi tersebut dan juga belum ada penyerahan orang yang bersangkutan (Hendra Rahardja) kepada Pemerintah Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1994.
“Perbuatan pemohon kasasi yang belum memberikan tembusan Surat Perintah Penangkapan adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (3) KUHAP, sebab pemberian tembusan tersebut harus diberikan segera setelah penangkapan dilakukan, sedangkan ternyata penangkapan belum dilakukan oleh pemohon kasasi.” bunyi salah satu pertimbangan pada Putusan Nomor 1156 K/PID/2000 yang diketok pada 11 Oktober 2000 itu.
Kemudian, judex juris menilai, bukti PR-2 berupa Surat dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta kepada Dan Korserse Polri Up. Direktur Reserse Ekonomi tertanggal 23 Februari 1998 perihal pemberitahuan hasil penyidikan belum lengkap, dan bukti PR-3 berupa Surat dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta kepada dan Korserse Polri Up. Direktur Reserse Ekonomi tertanggal 23 Februari 1999 perihal pengembalian berkas perkara untuk dilengkapi, bukanlah mengenai perkara termohon kasasi (pemohon praperadilan) dan tidak ada relevansinya dengan perkara ini.
Majelis Hakim Kasasi kemudian menegaskan, dalam perkara a quo, pemohon praperadilan ditangkap dan ditahan atas perintah dan oleh Polisi Federal Australia, bukan dilakukan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sedangkan praperadilan mengenai sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan hanya berlaku bagi penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh penyidik Indonesia sebagaimana ditentukan dan diatur dalam Pasal 17, 18 dan 20 KUHAP.
“Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka permohonan praperadilan dari termohon kasasi harus ditolak.” tegas Majelis Hakim Kasasi melalui pertimbangan putusannya.
Atas pertimbangan-pertimbangan itu, Mahkamah Agung kemudian mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi/termohon praperadilan tersebut dan membatalkan putusan PN Jakarta Selatan Nomor 07/Pid/Prap/2000/PN.Jak.Sel, dengan amar putusan yaitu, menolak permohonan pemohon praperadilan untuk seluruhnya dan menghukum termohon kasasi/pemohon praperadilan untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi sebesar Rp2.500.
Dengan adanya yurisprudensi tersebut, penulis berharap semoga dapat menunjang tugas para hakim di kemudian hari dan menambah khazanah pengetahuan para pembaca khususnya mengenai hukum pidana internasional.