30 Agustus 1999 merupakan hari bersejarah bagi warga Timor Leste, karena dilaksanakannya referendum oleh Misi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Timor Timur. Dalam referendum yang terbuka, masyarakat Timor Timur secara leluasa dapat memilih untuk jadi warga dari suatu negara merdeka atau tetap bagian dari provinsi Indonesia, yang diberikan otonomi.
Hasil referendum pilihan mayoritas rakyat Timor Timur adalah, menentukan nasibnya sendiri sebagai entitas yang merdeka. Rakyat memilih kemerdekaan sejumlah 78,5% dan tetap menjadi bagian dari Indonesia sejumlah 21,5%.
Referendum Timor Timur tersebut, merupakan babak baru dalam sejarah nasional Indonesia, dimana provinsi termuda di Indonesia saat itu, wajib dilepaskan dari Indonesia dan melanjutkan kehidupannya sebagai negara merdeka.
Beberapa peristiwa kekerasan dan bentrokan berdarah menyelimuti sejarah panjang integrasi sampai dengan referendum Timor Timur. Salah satunya, bentrokan berdarah di rumah Manuel Viegas Carrascalao, yang didalamnya terdapat 136 pengungsi dan 12 di antaranya meninggal dunia.
Peristiwa berdarah dimaksud, setelah adanya apel akbar PAM Swakarsa, di halaman depan Kantor Gubernur Timor Timur. Apel akbar dihadiri oleh terdakwa Eurico Guterres, Komandan Pasukan Pejuang Integrasi Abilio Jose Soares, Gubernur Timor Timur Mathius Maia, Wali Kota Dili dan kelompok masyarakat pendukung integrasi dengan Indonesia.
Saat itu, terdakwa Eurico Guterres, selaku Komandan Pasukan Pejuang Integrasi menyampaikan pidato dan selanjutnya massa dari pendukung integrasi menyerang rumah Manuel Viegas Carrascalao.
Adapun terdakwa Eurico Guterres didakwa sebagai atasan sipil yang tidak mencegah atau menghentikan anggota pasukan integrasi menyerang masyarakat di rumah Manuel Viegas Carrascalao, yang dinilai sebagai pelanggaran HAM berat berupa kejahatan terhadap kemanusiaan.
Berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung RI, terdakwa Eurico Guterres dihukum selama 10 tahun penjara, sebagaimana menguatkan Putusan HAM Ad Hoc Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kemudian berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali, terdakwa Eurico Guterres dinyatakan tidak terbukti secara sah melakukan tindak pidana pelanggaran HAM berat kejahatan kemanusiaan
Sebagai informasi, sesuai Pasal 7b dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, kejahatan kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM berat, memiliki pengertian perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik, serta ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil berupa:
- pembunuhan
- pemusnahan
- perbudakan,
- pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
- perampasan kemerdekaan, perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
- penyiksaan
- perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
- penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
- penghilangan orang secara paksa; atau
- kejahatan apartheid;
Terhadap pertanggung jawaban atasan sipil untuk mencegah atau menghentikan terjadinya kejahatan kemanusiaan yang dilakukan bawahannya, sebagaimana perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa Eurico Guterres, diatur dalam ketentuan Pasal 42 Ayat 2 huruf a dan b UU Pengadilan HAM;
Kemudian timbul pertanyaan, bagaimanakah bentrokan sipil yang terkualifikasi sebagai kejahatan kemanusiaan? Bagaimanakah klasifikasi atasan sipil yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap kejahatan kemanusiaan yang dilakukan bawahannya?
Menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan menguraikan kaidah hukum Pertimbangan Putusan Peninjauan Kembali Nomor 34 PK/PID.HAM.AD HOC/2007 atas nama terdakwa Eurico Guterres, yang telah menjadi Yurisprudensi MA RI, sebagaimana terdapat dalam buku Yurisprudensi MA RI 2008.
Kaidah hukum Pertimbangan Putusan Peninjauan Kembali menjelaskan, pertikaian, bentrokan, atau huru hara yang terjadi secara spontan, tanpa perencanaan yang terinci, tidak memenuhi unsur kebijakan organisasi untuk melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan secara meluas atau sistematik.
Selain itu, orang atau kelompok yang terlibat atau ikut serta dalam pertikaian, bentrokan atau huru hara tidak dapat dikategorikan sebagai penduduk sipil.
Demikian juga tanggung jawab pidana seorang atasan sipil atas perbuatan bawahannya, yang lakukan kejahatan terhadap kemanusiaan wajib berlandaskan adanya otoritas de jure atau de facto, yang mempunyai rantai hirarki pimpinan secara efektif, seperti hirarki dalam organisasi militer.
Semoga Yurisprudensi MA RI, dapat menambah pengetahuan bagi para pembacanya terutama Hakim, praktisi hukum dan akademisi.