Landmark Decisions TUN: Putusan Pidana Tidak Serta Merta Membatalkan Hak Keperdataan

Keputusan ini menjadi landmark penting yang mengukuhkan prinsip bahwa peradilan tata usaha negara harus tetap independen dan mempertimbangkan semua fakta hukum yang ada.
Gedung Mahkamah Agung. Foto dokumentasi Humas MA
Gedung Mahkamah Agung. Foto dokumentasi Humas MA

Putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor: 7 PK/TUN/2023 telah melahirkan kaidah hukum 'putusan pidana tidak serta merta membatalkan hak keperdataan'. Putusan PK tersebut, sudah masuk dalam landmark decisions Mahkamah Agung RI dan telah dituangkan dalam buku Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI Tahun 2023.

Putusan PK diputus oleh Majelis Hakim Agung terdiri dari Prof. Dr. H. Sunarto, S.H.,M.H (Ketua Majelis), Dr.H.Yodi Martono, S.H.,M.H dan Dr. Irfan Fachruddin, S.H.,C.N masing-masing sebagai hakim anggota.

Objek sengketa dalam perkara ini adalah Surat Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 4/Pkt/KEM-ATR/BPN/VI/2020 tentang Pencabutan Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Barat tertanggal 8 Juni 2020. Keputusan ini sebelumnya membatalkan sertifikat hak milik milik penggugat karena dianggap cacat administrasi.

Penggugat adalah anak kandung dari seorang individu yang hak tanahnya terkait dengan objek sengketa. Surat hak tanah dalam gugatannya didalilkan atas nama ibu kandung ayah penggugat. Hak keperdataan yang menjadi inti sengketa adalah Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diterbitkan pada 1999 atas nama ibu kandung ayah penggugat.

Permasalahan berawal saat ayah penggugat diproses hukum pidana pada 1999 akibat terbitnya SHM tersebut yang didasarkan duplikat akta kawin yang diduga palsu yang digunakan oleh ayah penggugat untuk membuat SHM tersebut. 

Laporan diajukan oleh calon pembeli dan ahli waris lain (sepupu kandung ayah penggugat) karena ayah penggugat diduga menggunakan duplikat akta kawin orangtuanya yang dianggap palsu. Akibat laporan ini ayah penggugat dijatuhi hukuman pidana.

Selain laporan pidana, ayah penggugat juga digugat perdata oleh calon pembeli. Perkara perdata bergulir hingga tingkat kasasi, di mana putusan menyatakan ayah penggugat tidak lagi dianggap sebagai ahli waris dari orang tuanya. 

Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Provinsi Jawa Barat (Kakanwil) kemudian mengeluarkan surat pembatalan sertifikat hak milik kepunyaan ayah penggugat (objek sengketa) atas dasar putusan pidana dan perdata pada 11 Juni 2015. 

Namun, penggugat kemudian menemukan bukti baru berupa salinan Akta Nikah yang sah dari orang tuanya dalam bentuk asli. 

Berdasarkan bukti tersebut, penggugat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan perdata yang sebelumnya telah membatalkan statusnya sebagai ahli waris. Putusan PK akhirnya mengembalikan status penggugat sebagai pewaris yang sah.

Kakanwil kemudian menerbit surat pembatalan terhadap surat pembatalan sertifikat hak milik kepunyaan ayah penggugat atas dasar putusan PK tersebut pada 2017. Sampai di sini, surat hak milik atas nama nenek penggugat menjadi aktif kembali.

Akan tetapi, calon pembeli mengajukan keberatan ke Menteri ATR/BPN (menteri) terhadap surat pembatalan oleh Kakanwil yang dikeluarkan 2017 itu. Menteri mengabulkan keberatan dan mengeluarkan surat pencabutan (objek sengketa) pada 2020. Akibatnya sertifikat hak atas tanah atas nama nenek penggugat statusnya menjadi dibatalkan kembali.  
Perkara kemudian bergulir di lingkungan peradilan tata usaha negara untuk membatalkan keputusan pencabutan oleh menteri. 

Perkara dimulai dari tingkat pertama dengan nomor putusan 167/G/2020/PTUN.JKT dan putusan tingkat banding di PTTUN Jakarta dengan nomor: 90/B/2020/PTTUN.JKT. 
Putusan tingkat pertama menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya dan putusan tingkat banding menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama. 

Majelis Hakim tingkat pertama dalam pertimbangannya menilai keputusan Kakanwil 2017 telah cacat administratif. Hal ini dikarenakan terdapat ketidaksempurnaan pertimbangan hukum yang digunakan untuk menerbitkan SK tersebut.

Majelis Hakim menilai SK 2017 hanya mempertimbangkan aspek perdata berupa putusan PK dan mengabaikan aspek pidana. Selain itu, SK BPN 2017 diterbitkan untuk mengembalikan suatu hak (sertifikat) yang secara fakta hukum pidana sudah tidak ada lagi (karena buku tanahnya sudah dimusnahkan), maka keputusan tersebut dianggap tidak memiliki dasar yang utuh.

Oleh karena itu, SK BPN 2017 tersebut, dinilai mengandung cacat administrasi.
Singkatnya, hakim berpendapat bahwa tidak masuk akal secara hukum untuk menerbitkan suatu keputusan yang mengembalikan status sertifikat, padahal putusan pengadilan pidana yang lebih dahulu sudah memerintahkan pemusnahan buku tanahnya dan perintah itu sudah dilaksanakan. Hal ini membuat keputusan BPN 2017 tersebut menjadi tidak sah.

Sementara itu, terhadap keputusan menteri 2020, Majelis Hakim tingkat pertama dalam fakta hukum dan pertimbangan hukumnya menyimpulkan bahwa tergugat telah mempertimbangkan seluruh putusan pidana dan perdata sebelum menerbitkan objek sengketa. 

Majelis Hakim juga menyimpulkan tergugat telah mencatat seluruh dasar penerbitan objek sengketa, yakni berupa putusan pidana dan perdata tersebut di dalam bagian ‘menimbang’ objek sengketa. Oleh karena itu majelis hakim berkesimpulan penerbitan objek sengketa sudah sesuai ketentuan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. 

Atas dasar itulah majelis hakim tingkat pertama menolak gugatan para penggugat dalam perkara ini. Pengadilan tingkat banding juga kemudian menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama sehingga perkara bergulir ke tingkat kasasi.  

Majelis Hakim Agung pada pokoknya berpendapat bahwa “putusan peradilan pidana yang telah menghukum penggugat tidak serta merta dapat menghilangkan hak keperdataannya”. Meskipun terdapat putusan pidana, putusan peradilan tata usaha negara harus didasarkan pada fakta hukum yang paling relevan dan mutakhir.

Mahkamah Agung menilai bahwa Surat Keputusan pencabutan sertifikat (objek sengketa) diterbitkan berdasarkan putusan perdata di mana putusan perdata tersebut telah dibatalkan oleh putusan PK perdata. Dengan adanya putusan PK perdata yang mengembalikan status penggugat sebagai ahli waris, maka dasar hukum untuk menerbitkan Surat Keputusan pencabutan (menteri) sertifikat tersebut menjadi tidak lagi sah.

Majelis juga menegaskan bahwa ketentuan Pasal 2 huruf e Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tidak dapat diterapkan. Ketentuan ini hanya berlaku jika putusan pengadilan yang menjadi dasar Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) bersifat tunggal dan sejalan.

Sebaliknya, apabila terdapat beberapa putusan yang saling bertentangan, seperti putusan pidana dan putusan perdata yang kemudian berubah akibat PK, maka KTUN yang diterbitkan tidak dapat dipertahankan.

Dalam perkara ini, penggugat dalam novumnya saat peninjauan kembali mengajukan bukti surat berupa akta nikah orangtuanya di mana bukti novum itu tidak sama dengan duplikat akta kawin nenek dan kakek penggugat yang dijadikan bukti dalam kasus pidananya. Putusan PK juga kemudian yakin dengan bukti novum tersebut dan mengembalikan penggugat sebagai ahli waris dari orangtuanya. 

Oleh karena itu, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan PK Penggugat dan membatalkan Surat Keputusan yang mencabut sertifikatnya. 

Keputusan ini menjadi landmark penting yang mengukuhkan prinsip bahwa peradilan tata usaha negara harus tetap independen dan mempertimbangkan semua fakta hukum yang ada, serta tidak dapat secara otomatis terikat pada putusan pidana yang tidak secara langsung menghilangkan hak keperdataan.

Kaidah hukum yang dihasilkan dari putusan ini adalah “Bukti surat yang menjadi dasar alas hak kepemilikan penggugat adalah berbeda dengan surat-surat yang dinyatakan palsu oleh perkara pidananya, oleh karenanya putusan pidana tidak dapat membatalkan hak keperdataan (kepemilikan hak atas tanah) penggugat”.