Tindak pidana narkotika termasuk dalam klasifikasi kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), sebab dampak kejahatannya yang luas, terorganisir dan dapat merusak satu generasi bangsa dari suatu negara.
Oleh karena itu, dalam rangka pemberantasan narkotika dibutuhkan perlakuan khusus yang salah satunya dilakukan dengan memberi hukuman yang setimpal kepada sindikat gelap narkotika.
Hal demikian tercermin melalui Putusan Nomor 2094 K/Pid.Sus/2012 yang ditetapkan menjadi salah satu putusan penting (landmark decision) dalam Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2013. Landmark decision itu sendiri, merupakan putusan badan peradilan berkekuatan hukum tetap yang berisikan kaidah hukum penting yang belum ada aturan hukumnya dan bertujuan memberikan kepastian hukum.
Prof. Dr. Komariah Emong Sapardjaja, S.H., duduk sebagai Hakim Ketua dalam perkara pidana nomor 2094 K/Pid.Sus/2012 tersebut, dengan didampingi para Hakim Anggota yakni, H. Suhadi, S.H., M.H., dan Sri Murwahyuni, S.H., M.H. Berikut adalah uraian singkat dari landmark decision Putusan Nomor 2094 K/Pid.Sus/2012 tertanggal 8 Januari 2013.
Ringkasan Posisi Kasus
Perkara bermula saat terdakwa melakukan tindak pidana mengedarkan narkotika ketika sedang menjalani hukuman sebagai narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Terdakwa melakukan peredaran narkotika dalam jumlah yang sangat besar dengan menggunakan jaringan sindikat yang sangat luas sekaligus melakukan tindak pidana pencucian uang (money laundering).
Untuk menjalankan perbuatannya tersebut, terdakwa telah melakukan penyuapan kepada pejabat-pejabat dalam Lembaga Pemasyarakatan dan memengaruhi narapidana lainnya untuk menggunakan narkotika. Serta, mendesain Lembaga Pemasyarakatan menjadi tempat bisnis narkotika yang canggih. Sehingga dapat mengendalikan pengedaran ke segenap penjuru.
Atas perbuatannya, terdakwa didakwa dengan dakwaan kesatu primer Pasal 114 ayat (2) juncto Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika subsider Pasal 112 ayat (2) juncto Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan dakwaan kedua Pasal 137 huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika atau dakwaan ketiga primer Pasal 3 juncto Pasal 2 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang subsider Pasal 5 ayat (1) juncto Pasal 2 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Selanjutnya, penuntut umum menuntut terdakwa dengan pidana mati karena telah melanggar Pasal 114 ayat (2) juncto Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Kedua Pasal 137 huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Putusan oleh Judex Facti Tingkat Pertama dan Banding
Pengadilan Negeri Cilacap melalui Putusan Nomor 151/Pid.Sus/2011/PN.Clp kemudian memutuskan, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. Oleh karenanya menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 20 tahun dan denda sejumlah Rp10 miliar, dengan ketentuan jika denda tidak dibayar harus diganti dengan pidana penjara selama satu tahun.
Berbeda halnya pada pengadilan tingkat banding, Pengadilan Tinggi Semarang melalui Putusannya Nomor 250/PID.SUS/2012/PT. Smg, menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum dan memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Cilacap Nomor 151/Pid.Sus/2011/PN. Clp, dengan lamanya pidana yang dijatuhkan yaitu, selama 12 tahun dan denda sejumlah Rp10 miliar, dengan ketentuan jika denda tidak dibayar harus diganti dengan pidana penjara selama enam bulan.
Judex Juris Mengadili Sendiri
Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor 250/PID.SUS/2012/PT. Smg., tanggal 23 Agustus 2012 yang memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Cilacap Nomor 151/Pid.Sus/2011/PN. Clp., tanggal 22 Mei 2012.
Selanjutnya, Mahkamah Agung mengadili sendiri dan menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “pemufakatan jahat untuk menjual, menjadi perantara dalam jual beli Narkotika golongan I dalam bentuk bukan tanaman dan penyamaran investasi, simpanan dan transfer uang yang berasal dari tindak pidana narkotika” dan menjatuhkan pidana mati terhadap terdakwa.
Majelis Hakim Kasasi berpendapat, pertimbangan judex facti tentang pembuktian terbuktinya terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya secara kumulatif, subsidiaritas, dan alternatif telah tepat dan benar sesuai fakta hukum, bukti dan keyakinan hakim. Sehingga, pertimbangan dan pendirian judex facti harus dipertahankan.
Adapun Mahkamah Agung mempertimbangkan, terdapat kekeliruan judex facti dalam mempertimbangkan berat ringannya hukuman terhadap diri terdakwa. Di mana, pertimbangan yang memberatkan terdakwa sangat sumir sehingga dapat dipandang sebagai onvoldoende gemotiveerd.
Majelis Hakim Kasasi berpendapat, hal-hal yang meringankan terdakwa dalam putusan judex facti (pengadilan negeri) berupa bersikap sopan dan berterus terang di persidangan tidaklah dapat digunakan, jika hal itu menghalangi judex facti untuk menjatuhkan putusan maksimum. Ini mengingat ada kepentingan negara dan bangsa yang lebih besar khususnya dalam mengantisipasi bahaya narkotika.
Judex juris menyoroti hal-hal yang memberatkan pada diri terdakwa tidak hanya karena perbuatan terdakwa. Melainkan, terdakwa juga tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas penggunaan narkoba dan terdakwa melakukan tindak pidana ketika sedang menjalani hukuman sebagai narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.
Lebih dari itu, Majelis Hakim Kasasi turut memperhatikan beberapa hal yaitu:
- Terdakwa adalah seorang residivis narkotika;
- Dana yang digunakan dalam peredaran narkotika sangat besar hampir melibatkan dana Rp10 miliar yang berakibat besarnya jumlah narkotika golongan I sabu yang diedarkan yang dalam perkara a quo sasarannya satu provinsi yaitu, Kalimantan Selatan;
- Jaringan sindikat untuk peredaran narkotika sudah sangat luas termasuk kerja sama dengan istrinya Dewi Sapta Oktarina untuk melakukan pencucian uang (money laundering);
- Terdakwa menyuap pejabat-pejabat Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan;
- Terdakwa mempengaruhi narapidana lain untuk menggunakan narkotika;
- Sosok terdakwa sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup bangsa, Lembaga Pemasyarakatan (LP) yang paling sulit dan angker bagi narapidana Nusakambangan, namun bagi terdakwa dapat disulap menjadi surga tempat pengendalian bisnis narkotika secara sistematis dan canggih dengan peralatan 16 handphone, serta satu laptop agar dapat mengendalikan komunikasi ke segenap penjuru;
Berdasarkan Putusan Nomor 2094 K/Pid.Sus/2012 di atas, terdapat dua kaidah hukum yang dapat diambil yaitu: pertama, judex facti dalam mempertimbangkan berat ringannya hukuman terhadap diri terdakwa menggunakan pertimbangan yang sangat sumir sehingga dapat dipandang sebagai onvoldoende gemotiveerd. Kedua, untuk melindungi kepentingan negara dan bangsa dalam mengantisipasi bahaya narkotika maka pidana mati layak dijatuhkan terhadap terdakwa.
Adanya landmark decision tersebut, menunjukkan komitmen kuat dari Mahkamah Agung untuk menjadi pelopor pemberantasan peredaran gelap narkotika melalui putusannya.
Semoga para hakim senantiasa termotivasi untuk melahirkan putusan-putusan yang berkualitas guna menumbuhkan kepercayaan publik terhadap komitmen Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya khususnya dalam melindungi generasi bangsa dari ancaman narkotika.