Sertifikat hak atas tanah memiliki kekuatan pembuktian, yang kuat, sesuai ketentuan Pasal 19 Ayat 2 Huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Demikian juga, sertifikat hak atas tanah sebagai alat bukti yang kuat, bilamana data fisik dan yuridis yang terdapat dalam sertifikat tersebut, sesuai dengan data yang terdapat dalam surat ukur dan buku tanah pemegang hak atas tanah, berdasarkan ketentuan Pasal 32 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam penjelasan ketentuan tersebut, ditegaskan sertifikat hak atas tanah, sebagai tanda bukti yang kuat, selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya.
Sertifikat hak atas tanah, juga terkualifikasi sebagai akta autentik, dikarenakan dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang dan dibuat pejabat berwenang, sebagaimana ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata. Pengakuan akta autentik, sebagai bukti sempurna (volledig) dan mengikat (bindende), khususnya kepada para pihak atau ahli waris, yang mendapatkan hak dari pembentukan akta autentik tersebut, ditegaskan ketentuan Pasal 165 HIR atau Pasal 285 Rbg.
Walaupun sebagai bukti yang sempurna, bagi para pihak yang mendapatkan hak dari akta autentik, termasuk para ahli warisnya, di mana akta autentik masih dapat dilumpuhkan oleh bukti milik pihak lain, dalam suatu sengketa keperdataan, termasuk melalui akta di bawah tangan.
Selain itu, akta autentik tidak merupakan satu-satunya sumber untuk mendapatkan atau menarik fakta hukum atas suatu sengketa keperdataan, sebagaimana diterangkan kaidah hukum Yurisprudensi MA RI Nomor 3199 K/Pdt/1992 tanggal 27 Oktober 1994.
Demikian juga akta autentik, jika dibuat pejabat yang tidak miliki kewenangan membentuk akta autentik atau materi akta autentik, terdapat kesalahan atau kekeliruan atas suatu fakta, maka akta tersebut, tidak memiliki nilai sebagai akta autentik dan hanya sebagai akta di bawah tangan, sebagaimana ketentuan Pasal 1869 KUHPerdata.
Berdasarkan uraian ketentuan di atas, dapat ditarik kesimpulan sertifikat hak atas tanah, meskipun terkualifikasi sebagai akta autentik, yang memiliki kekuatan pembuktian kuat dan sempurna, tetapi peraturan perundang-undangan, hanya mengadopsinya sebagai sistem publikasi negatif. Dalam sistem dimaksud, pemegang hak atas tanah, terbuka untuk menghadapi klaim kepemilikan tanah, yang berujung pada sengketa di pengadilan.
Selanjutnya, bagaimanakah terhadap peristiwa pembuatan surat keterangan penguasaan tanah (SKPT) atas nama orang lain diatas tanah bersertifikat? Apakah termasuk dalam kualifikasi tindak pidana pemalsuan surat atau sengketa kepemilikan hak atas tanah dalam lingkup keperdataan?
Menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan menguraikan kaidah hukum Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1040 K/Pid/2024, yang ditetapkan sebagai Landmark Decision. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Agung RI yang diketuai Suharto, S.H., M.Hum, dengan didampingi para hakim anggota Dr. Yanto, S.H., M.H. dan Jupriyadi, S.H., M.Hum, menjelaskan, pada pokoknya para terdakwa I dan II membuat surat keterangan penguasaan tanah atas nama terdakwa I, yang kemudian ditandatangani terdakwa IV.
Selanjutnya, terdakwa I sampai dengan III menguasai tanah tersebut, dengan cara memagarinya. Padahal para terdakwa (terdakwa I s.d. IV) mengetahui, di atas tanah telah berdiri rumah dan dikuasai saksi korban, sesuai sertifikat hak milik nomor 234 Desa Pantoloan.
Maka, pembuatan dan penerbitan surat keterangan penguasaan tanah (SKPT), tidak berdasar secara hukum. Demikian juga, perbuatan para terdakwa telah mempunyai sikap batin dan tujuan (bewuste samenwerking), serta kerja sama yang erat (physieke samenwerking), guna menciptakan tindak pidana, in casu membuat surat palsu.
Dengan pertimbangan hukum judex facti, yang menerangkan dalam putusannya, tindakan para terdakwa menyusun dan membuat SKPT, terkualifikasi dalam sengketa keperdataan, merupakan pertimbangan tidak tepat. Hal itu ditegaskan ahli perkara a quo, yang menerangkan tanah yang telah terbit sertifikat hak, tidak diperbolehkan diterbitkan surat keterangan penguasaan tanah (SKPT) atas nama pihak lain di atas tanah tersebut.
Maka, tindakan para terdakwa, telah memenuhi kualifikasi tindak pidana turut serta membuat surat palsu atau memalsukan surat, melanggar ketentuan Pasal 263 Ayat 1 KUHP juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP, sebagaimana diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum tanggal 23 Juli 2024.
Kaidah hukum Putusan Mahkamah Agung RI yang menjadi landmark decision tersebut, diakses melalui Garda Peradilan, Indonesia Law Report, Volume 1, Nomor 2, yang diterbitkan Kepaniteraan Mahkamah Agung RI. Semoga dapat menambah pengetahuan bagi para pembacanya.