Pembentukan suatu aturan hukum di dalam masyarakat, bertujuan memberikan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Teori yang diperkenalkan Gustav Radburch dimaksud, wajib saling berhubungan dan menguatkan antara satu dengan lainnya. Tidak hanya terbatas, pada ketentuan hukum yang dibuat secara tertulis, melalui kewenangan legislasi, melainkan juga pembentukan hukum berdasarkan putusan pengadilan.
Salah satu bentuk perwujudan teori tersebut, diberlakukannya prinsip perlakuan sama dihadapan hukum atau dikenal dengan equality before the law. Prinsip tersebut, diterima masyarakat Internasional, sebagai norma kodrati manusia, sebagaimana ditegaskan Pasal 7 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Pasal 26 Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) pada 1966.
Indonesia, sebagai negara yang jadikan hukum landasan kehidupan nasional dan mengakui perlindungan HAM, dimana prinsip kedudukan sama dihadapan hukum, ditegaskan ketentuan Pasal 27 Ayat 1 UUD NRI 1945 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Seharusnya, implementasi equality before the law, sebagai bagian dari perlindungan hak asasi manusia, termasuk juga dalam penjatuhan putusan, di seluruh lingkup badan peradilan.
Dalam konteks peradilan pidana, tantangannya adalah adanya disparitas pemidanaan dalam putusan perkara serupa, yang dapat saja dinilai bertabrakan dengan prinsip equality before the law. Meskipun, lahirnya disparitas pemidanaan, tidak terlepas dari prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Bagi perkara pidana yang sama, di mana terdakwanya lebih dari satu, baik diadili bersama atau sendiri-sendiri dan sesuai fakta persidangan, terbukti melakukan tindak pidana. Di mana, kualifikasi perbuatannya sama antar Para Terdakwa, maka wajib tidak ada disparitas penjatuhan putusan pemidanaan.
Kemudian secara hukum, bagaimanakah terhadap disparitas putusan pemidanaan tersebut? Apakah disparitas penjatuhan pidana dapat dijadikan alasan untuk peninjauan kembali?
Guna menjawab permasalahan diatas, penulis akan menguraikan pertimbangan hukum landmark decision tentang disparitas penjatuhan pidana kepada para terpidana di kasus yang sama sebagai alasan peninjauan kembali.
Pertimbangan hukum landmark decision disparitas penjatuhan pidana kepada para terpidana di kasus yang sama sebagai alasan peninjauan kembali
Terhadap putusan pengadilan, termasuk putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung RI, sesuai Pasal 263 Ayat 1 KUHAP.
Adapun alasan pengajuan peninjauan kembali, antara lain ditemukan keadaan atau bukti baru (novum), putusan saling bertentangan dan kekhilafan hakim, sebagaimana ketentuan Pasal 263 Ayat 2 KUHAP. Pengajuan peninjauan kembali, ditujukan melalui Kepaniteraan Pengadilan yang memeriksa tingkat pertama, sesuai Pasal 264 Ayat 1 KUHAP.
Adanya disparitas penjatuhan pidana kepada para terpidana di kasus yang sama, sebagai alasan peninjauan kembali, dimana pertimbangan hukum Putusan Peninjauan Kembali Nomor 28 PK/Pid.Sus/2019 menjelaskan tindak pidana yang dilakukan terpidana I dan terpidana II adalah didasarkan kehendak dan kerja sama erat antara keduanya. Sehingga tidak adil, apabila kedua terpidana dijatuhi pidana yang berbeda. Perbedaan yang mencolok tersebut, menciptakan disparitas pemidanaan terhadap dua pelaku tindak pidana yang melakukannya secara bersama-sama.
Dengan demikian, putusan judex juris (tingkat kasasi) terkualifikasi adanya kekhilafan hakim atau kekeliruan nyata, maka permohonan peninjauan kembali beralasan untuk dikabulkan sesuai Pasal 363 Ayat 2 KUHAP
Putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 163 PK/Pid.Sus/2019 menyoroti aspek keadilan dalam penjatuhan hukuman, khususnya ketika pemeriksaan dan penuntutan perkara terhadap beberapa terpidana yang terlibat dalam kasus yang sama dilakukan secara terpisah.
Dalam pertimbangan hukumnya, putusan ini menjelaskan, adalah tidak adil apabila hukuman yang dijatuhkan kepada terpidana pemohon peninjauan kembali (a quo) lebih berat dibandingkan dengan rekan-rekannya yang melakukan perbuatan yang sama, namun dijatuhi hukuman yang lebih ringan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Majelis Hakim PK berpendapat, judex juris (hakim pada tingkat kasasi) telah melakukan kekeliruan yang nyata dan putusannya menunjukkan adanya kekhilafan hakim. Kekhilafan ini terjadi karena adanya disparitas hukuman yang mencolok antara terpidana yang terlibat dalam perbuatan yang sama.
Oleh karena itu, sesuai dengan Pasal 263 Ayat 2 KUHAP, permohonan peninjauan kembali dari pemohon PK/terpidana dikabulkan. Putusan ini menjadi preseden penting dalam memastikan prinsip keadilan ditegakkan, terutama dalam kasus-kasus di mana penanganan perkara dilakukan secara terpisah namun melibatkan fakta perbuatan yang serupa.
Kedua putusan peninjauan kembali tersebut, menjadi landmark decision, yang masuk dalam Kompilasi Kaidah Hukum dalam Direktori Putusan Mahkamah Agung RI dan dapat diakses secara elektronik.
Semoga artikel ini, dapat bermanfaat bagi para hakim yang mengadili perkara serupa, serta menambah pengetahuan para akademisi dan mahasiswa fakultas yang membacanya.