Landmark Decision: Korelasi Kepailitan dengan Gugatan Sederhana

Kaidah Hukum: Permohonan pailit adalah ultimum remedium. Nilai tagihan yang relatif kecil dapat menjadi pertimbangan hakim untuk menolak permohonan pailit mengingat dampak dari kepailitan tidak sebanding dengan dampak apabila debitur dinyatakan pailit karena dapat mematikan bisnis debitur dan kreditur dapat menuntut pemenuhan haknya melalui prosedur gugatan sederhana.
Ilustrasi kepailitan. Foto: indonesia.go.id/Istimewa
Ilustrasi kepailitan. Foto: indonesia.go.id/Istimewa

Pendahuluan

Kepailtan dan gugatan sederhana merupakan perkara perdata yang diproses pada jenis pengadilan berbeda, kepailitan diadili melalui pengadilan niaga sedangkan gugatan sederhana diadili melalui pengadilan negeri atau pengadilan agama.

Sesuai Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang. 

Sedangkan pengertian gugatan sederhana berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung adalah tata cara pemeriksaan di persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan materiil paling banyak Rp500 juta yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktiannya sederhana.

Sesuai dengan ketentuan undang-undang, syarat mengajukan pailit ialah debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Sehingga dari syarat tersebut, maka tidak ditentukan nilai utang yang belum dibayar lunas.

Terdapat perkara sengketa kepailitan yang dinilai seyogianya diproses melalui prosedur gugatan sederhana, dengan kaidah hukum “permohonan pailit adalah ultimum remedium. Nilai tagihan yang relatif kecil dapat menjadi pertimbangan hakim untuk menolak permohonan pailit mengingat dampak dari kepailitan tidak sebanding dengan dampak apabila debitur dinyatakan pailit karena dapat mematikan bisnis debitur dan kreditur dapat menuntut pemenuhan haknya melalui prosedur gugatan sederhana. Hal tersebut termuat dalam Garda Peradilan Mahkamah Agung Volume 1 Nomor 1 yang baru diterbitkan Kepaniteraan Mahkamah Agung.

Perkara kasasi tersebut diajukan oleh Edwin Heryadin, sebagai pemohon pailit melawan PT. Bhadra Samudra Indah, sebagai termohon pailit.

Awal mula perkara ini, ketika PT Bhadra Samudra Indah dimohonkan pailit oleh salah satu kreditornya yaitu Edwin Heryadin dengan tagihan yang telah jatuh tempo dari pembelian tiga unit laptop MacBook Air senilai Rp75 juta. Di persidangan, pemohon juga dapat membuktikan adanya kreditor lain yang juga mempunyai tagihan yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, yaitu PT Gistex Garmen Indonesia atas pembelian pakaian jadi sebesar Rp5.656.914.286,00 dan hal itu tidak dibantah oleh termohon.

Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berpendapat gugatan tersebut, terbukti secara sederhana yaitu, ada dua Kkreditor atau lebih, dan adanya utang yang jatuh waktu dan dapat ditagih sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 8 ayat (4) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah terpenuhi. 

Namun, terhadap jumlah tagihan pemohon dengan nilai tagihan yang kecil tersebut, Majelis Hakim memandang tidak sebanding dengan dampak diputuskannya debitur dalam keadaan pailit, yang dapat mematikan bisnis debitur. Mengingat, masih ada prosedur gugatan sederhana yang juga sama-sama menerapkan pembuktian sederhana dan waktu pemeriksaan juga singkat, yang dapat ditempuh oleh pemohon sebagai alternatif lain dalam mengajukan tagihan (meskipun dalam permohonan a quo termohon menyetujuinya). 

Sehingga, berpedoman pada Pasal 8 ayat (6) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, meskipun dalam perkara a quo terbukti sederhana, namun Majelis Hakim dalam Putusan Nomor 23/Pdt.Sus-Pailit/2022/PN Niaga.Jkt.Pst tanggal 30 Agustus 2022 memutuskan untuk menolak permohonan dari pemohon.

Amar Putusan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 1714 K/Pdt.Sus-Pailit/20221, pada pokoknya menolak permohonan pailit dari pemohon.

Pertimbangan Hukum dan Amar Putusan Kasasi

Putusan Mahkamah Agung Kamar Perdata perkara Nomor 1714 K/Pdt.Sus-Pailit/2022 dan yang memeriksan dan memutus perkara tersebut adalah Dr. H. Hamdi, S.H., M.Hum., sebagai Ketua Majelis, Dr. H. Panji Widagdo, S.H., M.H. dan Dr. Rahmi Mulyati, S.H., M.H., sebagai Anggota Majelis.

Mahkamah Agung, melalui Putusan Nomor 1714 K/Pdt.Sus-Pailit/2022 tanggal 13 Desember 2022, menguatkan putusan judex facti Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang menolak permohonan pailit.

Pertimbangan hukumnya adalah sebagai berikut:

1. Syarat formil kepailitan terpenuhi. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, terbukti secara sederhana bahwa ada utang dari dua kreditur atau lebih yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih.

2. Nilai utang tidak proporsional dengan dampak pailit. Nilai tagihan hanya sebesar Rp75 juta, yang dianggap tidak sebanding dengan potensi dampak fatal (mematikan bisnis debitur) apabila putusan pailit dikabulkan.

3. Masih tersedia jalur hukum alternatif. Pemohon masih dapat menuntut haknya melalui prosedur gugatan sederhana sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2019.

Dengan demikian, MA membenarkan putusan judex facti yang menolak permohonan pailit.

Sekaligus memperkuat pertimbangan hukum judex facti yang menolak permohonan pailit dapat dibenarkan.

Meskipun syarat kepailitan terpenuhi secara sederhana, yaitu terbukti adanya utang dari dua kreditur atau lebih yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, tetapi penolakan permohonan tersebut tetap beralasan.

Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan, nilai tagihan yang hanya Rp75 juta tidak sebanding dengan potensi kerugian besar yang dapat terjadi jika debitur dinyatakan pailit, yang berpotensi mematikan bisnisnya.

Selain itu, masih terbuka jalur hukum lain yang lebih proporsional bagi pemohon, yaitu gugatan sederhana. Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 4 Tahun 2019, gugatan dengan nilai materiil hingga Rp500 juta dapat diselesaikan dalam waktu paling lama 25 hari, menjadikannya alternatif yang lebih cepat dan efektif.

Oleh karena itu, mengingat kepailitan adalah upaya hukum terakhir (ultimum remedium) dan adanya alternatif lain yang lebih bermanfaat, penolakan permohonan pailit dianggap adil dan dapat diterima sebagai pertimbangan hukum yang tepat.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 1714 K/Pdt.Sus-Pailit/2022 tanggal 30 Agustus 2022 dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi tersebut harus ditolak.

Amar putusan Mahkamah Agung pada pokoknya menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi.

Dengan adanya putusan peninjauan kembali ini menjadi yurisprudensi yang dapat digunakan hakim lainnya yang memeriksa dan memutus perkara yang sama dengan kaidah hukumnya, serta menjadi pemahaman bagi praktisi hukum, akademisi hukum, mahasiswa hukum dan masyarakat pada umumnya.

Penulis: Andy Narto Siltor
Editor: Tim MariNews