Pembangunan kilang minyak Pertamina di Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban sempat menjadi perkara hukum yang ramai disorot media massa. Perkaranya bergulir dari tingkat pengadilan tingkat pertama dan inkracht di tingkat kasasi.
Putusan Kasasi Nomor: 350 K/TUN/2019 (putusan 350) yang memutus perkara kilang minyak Pertamina Tuban, kini telah menjadi landmark decisions dan telah dituangkan dalam buku Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI Tahun 2019.
Putusan 350 melahirkan kaidah hukum penting dalam perkara pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Kaidah hukum yang dilahirkan adalah ‘Konsultasi publik dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, harus dimaknai sebagai kesepakatan mayoritas pemilik lahan sehingga ketidaksetujuan minoritas pemilik lahan terhadap konsultasi publik tersebut tidak dapat menghalangi pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum’.
Majelis Hakim Agung Tingkat Kasasi dalam perkara 350 terdiri dari Prof. Dr. H.Supandi, S.H.,M.Hum (Ketua Majelis), Prof. Dr. H.M. Hary Djatmiko, S.H.,M.S dan Prof. Dr. H.Yodi Martono Wahyunadi, S.H.,M.H masing-masing sebagai Hakim Anggota.
Para pihak dalam perkara 350 adalah Genduk, dkk (para tergugat) melawan Gubernur Jawa Timur (tergugat) dan PT.Pertamina (tergugat II intervensi).
Berdasarkan gugatan di pengadilan tingkat pertama, para penggugat menyoroti kesalahan prosedur dalam penetapan lokasi pembangunan.
Mereka menyatakan, konsultasi publik tidak melibatkan masyarakat terdampak, mengabaikan keberatan warga Desa Wadung dan Sumurgeneng, dan tidak mencapai kesepakatan yang dibuktikan dengan berita acara.
Menurut para penggugat, dalam gugatannya, meskipun tidak ada persetujuan dari warga, tergugat tetap mengeluarkan objek gugatan sehingga tindakan ini dianggap melanggar prosedur yang ditetapkan.
Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya dalam Putusan nomor: 29/G/PU/2019/PTUN.SBY tanggal 15 April 2019 mengabulkan gugatan para penggugat.
Tergugat II intervensi (PT.Pertamina) dan tergugat (Gubernur Jawa Timur) kemudian mengajukan kasasi atas putusan tingkat pertama tersebut.
Ditulis dalam Buku Laptah MA RI 2019, Majelis Hakim Agung Tingkat Kasasi (Mahkamah Agung) memberi pertimbangan hukum judex facti telah salah memaknai pengertian “Konsultasi Publik” dalam Undang Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Mahkamah Agung menilai, keputusan seharusnya diambil berdasarkan kesepakatan mayoritas, di mana sekitar 80% pemilik lahan setuju dengan pembangunan kilang minyak.
Majelis Hakim Agung juga menekankan, proyek ini adalah bagian dari Proyek Strategis Nasional yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang.
Menurut Mahkamah Agung, ditulis Buku Laptah MA RI 2019, jumlah pemilik lahan yang setuju sekitar 809 pemilik lahan. Persentase angka ini sekitar 80% dibandingkan yang tidak setuju hanya sekitar 20%.
Mahkamah Agung juga mempertimbangkan, ditulis dalam buku Laptah MA RI 2019, hukum harus mengutamakan kepentingan umum. Apalagi prinsip pengambilan lahan bukan ganti rugi, tetapi bahkan nilainya lebih tinggi dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Oleh karena itu, menurut Mahkamah Agung, tindakan pemerintah menetapkan lokasi pembangunan dianggap sudah sesuai dengan prosedur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk Peraturan Presiden terkait Percepatan Proyek Strategis Nasional.
Lebih lanjut, dalam pertimbangan hukum, Mahkamah Agung sebagaimana ditulis dalam buku Laptah MA RI 2019, ditinjau dari segi kemanfaatan dan futuristik bahwa pengadaan tanah untuk pembangunan kilang minyak akan mewujudkan kedaulatan energi nasional dan menimbulkan multiplier effect kepada perekonomian daerah dan nasional.
Oleh karena itu, menurut Mahkamah Agung, secara substansi tindakan tergugat dalam menerbitkan keputusan objek sengketa telah sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, khususnya asas audi et alteram partem.
Atas dasar pertimbangan hukum itu, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dari PT Pertamina (Persero) dan Gubernur Jawa Timur.
Putusan kasasi tersebut membatalkan putusan PTUN Surabaya yang sebelumnya memenangkan gugatan warga.
Dengan demikian, MA menolak gugatan para penggugat (warga) dan menghukum mereka untuk membayar biaya perkara di semua tingkatan pengadilan.