Surat kuasa diatur pada Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bunyinya, “Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa”.
Penerapannya kuasa dapat berupa kuasa khusus dan kuasa umum. Kuasa khusus diatur pada Pasal 1795 KUH Perdata, “Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan pemberi kuasa”. Sedangkan kuasa umum diatur pada Pasal 1796,
“Pemberian kuasa yang dirumuskan secara umum hanya meliputi tindakan-tindakan yang menyangkut pengurusan. Untuk memindahtangankan barang atau meletakkan hipotek di atasnya, untuk membuat suatu perdamaian, ataupun melakukan tindakan lain yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas”.
Pengertian surat kuasa mutlak dapat ditemukan pada penjelasan Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yakni surat kuasa mutlak adalah pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali oleh pihak yang memberi kuasa, sehingga pada hakikatnya merupakan perbuatan hukum pemindahan hak.
Dahulu maraknya penggunaan kuasa mutlak yang mengganggu usaha pemerintah untuk menertibkan status tanah, oleh karenanya pemerintah melalui Departemen Dalam Negeri mengeluarkan Instruksi Mendagri Nomor 14 Tahun 1982, yang isinya melarang pejabat bidang agraria melayani penyelesaian status hak atas tanah yang menggunakan surat kuasa mutlak sebagai bahan pembuktian pemindahan hak.
Surat kuasa mutlak hakikatnya memberikan kewenangan dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa yang tidak dapat ditarik kembali untuk menguasai, memakai, serta melakukan segala perbuatan hukum atas tanah termasuk mengalihkan hak kepemilikan, yang harusnya kewenangan itu hanya dimiliki oleh pemegang hak.
Sebelum terbitnya Instruksi Mendagri Nomor 14 Tahun 1982, terdapat Putusan MA yang membolehkan penggunaan surat kuasa mutlak, yakni Putusan MA Nomor 731 K/Sip/1975, tanggal 16 Desember 1976, yang menyatakan “Surat Kuasa Mutlak” dapat diterima karena Pasal 1813 BW bersifat mengatur dan tidak mengikat, karena sifat perjanjian menghendaki adanya surat kuasa yang tidak dapat ditarik Kembali oleh pemberi kuasa. Namun setelah pandangan MA terhadap surat kuasa mutlak, mayoritas tidak membenarkan dan dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum.
Peristiwa tersebut telah melahirkan beberapa kaidah hukum dalam berbagai putusan Mahkamah Agung, diantaranya Putusan MA Nomor 1060 K/Sip/1972, tanggal 14 Oktober 1975, yang kaidahnya pokoknya menyatakan jika dalam suatu surat kuasa tercantum kalimat “bahwa surat kuasa ini tidak dapat ditarik Kembali oleh pemberi kuasa”, atas klausula tersebut dapat dibatalkan oleh pemberi kuasa, karena hal tersebut merupakan hak pemberi kuasa, terlebih jika penerima kuasa melakukan pelanggaran atas isi dari surat kuasa tersebut.
Pada Putusan MA Nomor 2660 K/Pdt/1987, tanggal 27 Februari 1989, yang kaidah pada pokoknya menyatakan surat kuasa jual yang diberikan kepada kepada bank tidak dapat dilaksanakan oleh bank untuk menjual jaminan tersebut, penjualan tersebut tidak sah dan batal demi hukum. Penjualan jaminan harus melalui pelelangan umum. Kaidah tersebut sejalan dengan Putusan MA Nomor 1991 K/Pdt/1994, tanggal 30 Mei 1996, yang menyatakan jual beli berdasarkan surat kuasa mutlak dari debitur ke kreditur, yang mana kreditur membeli seharga utang debitur, maka jual beli tersebut batal demi hukum.
Putusan MA Nomor 3332 K/Pdt/1994, tanggal 18 Desember 1997 Akta kuasa mutlak yang dibuat oleh seorang notaris sebagai sarana jual beli tidak dapat diajukan sebagai bukti di persidangan, tentang adanya peralihan hak atas tanah dari penjual ke pembeli, karena kuasa mutlak telah dilarang karena mengandung perkosaan hak penjual yang lemah ekonominya dan tidak adanya kebebasan berkontrak. Kaidah tersebut sejalan pula dengan 1440 K/Pdt/1996, tanggal 30 Juni 1998 dan Putusan MA Nomor 316 PK/Pdt/2000, tanggal 29 Juni 2004. Ketiga Putusan MA tersebut mengacu pada Instruksi Mendagri Nomor 14 Tahun 1982.
Saat ini, Instruksi Mendagri Nomor 14 Tahun 1982 saat ini telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi, sejak dikeluarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nomor 10 Tahun 2014 tentang Pencabutan Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Pertanahan. Meskipun demikian, larangan penggunaan kuasa mutlak masih tetap dapat ditemui dalam Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang melarang PPAT untuk membuatkan akta jika salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak.