Yurisprudensi: Putusan Kasasi Nomor 165 K/Ag/2022, Mengembalikan Pemberian Sebagai Bentuk Penutupan Hak Akses

Putusan Kasasi Nomor 165 K/Ag/2022 hadir sebagai penegasan penting bahwa anak bukan objek perebutan, melainkan subjek hukum dengan hak-hak fundamental
Ilustrasi hak anak. Foto ; Freepik.com
Ilustrasi hak anak. Foto ; Freepik.com

Hak asuh anak kerap menjadi isu paling pelik dalam perkara perceraian. Bukan karena sulitnya menentukan siapa yang lebih layak, melainkan karena sering kali anak justru terjebak sebagai korban konflik orang tua. 

Hakikat pengasuhan yang seharusnya berorientasi pada kepentingan anak bisa saja tergeser oleh ego dan kepentingan pribadi orang dewasa. 

Putusan Kasasi Nomor 165 K/Ag/2022 hadir sebagai penegasan penting bahwa anak bukan objek perebutan, melainkan subjek hukum dengan hak-hak fundamental yang harus dijaga. 

Pertimbangan hukum dalam putusan ini menggugah kesadaran bahwa kasih sayang dan perhatian bukan sekadar kewajiban moral, melainkan juga hak yang dijamin oleh hukum dan dilindungi oleh prinsip the best interest of the child.

Putusan Kasasi Nomor 165 K/Ag/2022 menyajikan pertimbangan penting dalam hukum keluarga, khususnya mengenai hak asuh anak. 

Dalam putusan tersebut, Mahkamah Agung menegaskan prinsip bahwa hak anak untuk memperoleh kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya tidak boleh dihalangi oleh kepentingan atau ego orang dewasa. 

Pertimbangan ini meneguhkan kembali relevansi asas the best interest of the child sebagai dasar filosofis dan normatif dalam setiap perkara yang menyangkut anak.

Inti pertimbangan putusan tersebut berbunyi: “Bahwa Penggugat selaku ayah kandung anak terbukti telah menghalangi upaya Tergugat selaku ibu kandung anak untuk memberikan kasih sayang dan perhatian dalam bentuk memberikan uang dan pakaian kepada anak, namun pemberian tersebut dikembalikan oleh Penggugat dan dikirimkan kembali kepada Tergugat melalui Kantor Pos. Tindakan demikian itu dapat dikategorikan sebagai upaya Penggugat selaku ayah untuk menghalang-halangi anak mendapatkan akses dari Tergugat selaku ibu kandungnya.”

Kalimat ini menekankan bahwa tindakan menghalangi perhatian sebagai bentuk kasih sayang orang tua terhadap anak adalah pelanggaran serius terhadap prinsip kepentingan terbaik bagi anak.

Dalam perspektif hukum keluarga, putusan ini menekankan bahwa anak adalah subjek hukum dengan hak yang melekat, bukan objek sengketa yang bisa diperebutkan. 

Hak anak untuk mendapatkan kasih sayang, perhatian, dan pengasuhan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. UU No. 35 Tahun 2014 jo. UU No. 17 Tahun 2016, adalah hak fundamental yang harus dijamin oleh negara melalui instrumen hukum dan putusan pengadilan.

Secara filosofis, Mahkamah Agung melalui putusan ini meneguhkan pandangan bahwa perceraian tidak boleh menghilangkan hak anak untuk mendapatkan hubungan emosional yang utuh dengan kedua orang tuanya. 

Perceraian hanya memutus hubungan suami-istri, bukan hubungan orang tua dan anak. Oleh karena itu, setiap tindakan yang membatasi akses anak terhadap salah satu orang tua atau sebaliknya, bertentangan dengan hukum dan nilai keadilan.

Putusan ini dapat dikategorikan sebagai penegasan terhadap ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 105 huruf c, yang menegaskan bahwa biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayah. 

Namun, Mahkamah Agung tidak berhenti pada aspek materiil semata, melainkan menyoroti aspek emosional dan psikologis anak. Kasih sayang ibu dalam bentuk pemberian dipandang sebagai simbol perhatian yang tidak boleh diputus.

Selain itu, putusan ini selaras dengan Rumusan Hukum Kamar Agama dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2017 yang menegaskan bahwa tindakan menghalangi akses anak kepada orang tua yang tidak memegang hak asuh dapat dijadikan dasar untuk pencabutan hak asuh. 

Artinya, yurisprudensi ini menegaskan bahwa akses anak kepada orang tua atau sebalinya (akses orang tua terhadap anak) adalah hak fundamental yang tidak boleh dilanggar.

Asas the best interest of the child menjadi benang merah yang mengikat seluruh pertimbangan. Prinsip ini diterapkan bukan dalam pengertian abstrak, melainkan nyata dalam praktik, bahwa anak harus tetap memiliki akses emosional, kasih sayang, dan perhatian dari ibunya meskipun hak asuh secara hukum berada di ayahnya. Putusan ini menunjukkan bagaimana asas tersebut dioperasionalkan dalam kasus konkret.

Yurisprudensi ini juga mengandung pesan etis, bahwa anak tidak boleh dijadikan alat konflik. Mengembalikan pemberian ibu bukan hanya tindakan administratif, melainkan simbol penolakan terhadap kasih sayang. 

Mahkamah Agung dengan tegas menilainya sebagai bentuk penghalangan yang bertentangan dengan hak anak. Di sini hukum berfungsi sebagai pelindung anak dari ego orang dewasa.

Bagi perkembangan hukum keluarga di Indonesia, putusan ini penting sebagai pedoman praktis bagi hakim dalam perkara sejenis. Hakim tidak cukup hanya mempertimbangkan aspek formal hak asuh, tetapi juga harus menilai sejauh mana kedua orang tua memberikan akses kasih sayang yang utuh. 

Dengan demikian, putusan ini memperluas pemahaman hak asuh sebagai kewajiban moral dan emosional, bukan hanya tanggung jawab administratif.

Yurisprudensi ini menunjukkan bahwa hukum keluarga Indonesia bergerak ke arah yang lebih progresif dengan menjadikan kepentingan terbaik bagi anak sebagai pusat pertimbangan. Anak dipandang sebagai subjek dengan hak-hak independen yang melekat, sehingga segala bentuk tindakan orang tua yang mengurangi hak tersebut harus dinilai bertentangan dengan keadilan.

Pada akhirnya, Putusan Kasasi Nomor 165 K/Ag/2022 mempertegas filosofi dasar hukum keluarga, bahwa hukum ada untuk melindungi anak sebagai generasi masa depan, bukan untuk melanggengkan konflik orang tua. 

Kasus ini menjadi pengingat bahwa kasih sayang tidak boleh dibatasi oleh perceraian, dan hak anak untuk dicintai dan mendapat kasih sayang harus ditempatkan sebagai kepentingan hukum yang utama.

Penulis : M Khusnul Khulu

Penulis: M. Khusnul Khuluq
Editor: Tim MariNews