“Seseorang yang mengikuti seminar dan memberi dukungan kepada organisasi yang telah ditetapkan sebagai organisasi teroris termasuk tindak pidana terorisme”
Pada 24-25 Januari 2015, Munarman terlibat dalam kegiatan tabligh akbar yang diselenggarakan di Sekretariat FPI Kota Makassar dan Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Sudiang Makassar, yang memberikan bantuan kepada saksi Mohammad Akbar Muslim alias Abdi bin Moh. Saleh (Alm).
Kegiatan ini, mencakup pemberian materi oleh beberapa ustaz, pelaksanaan baiat kepada pemimpin ISIS, Syekh Abu Bakar al-Baghdadi, serta konvoi kendaraan yang bertujuan untuk mendeklarasikan Khilafah Islamiyah di bawah kepemimpinan ISIS.
Kegiatan tersebut disamarkan dalam bentuk seminar, namun sebenarnya merupakan bentuk dukungan terhadap ISIS. Terdakwa tidak melaporkan atau menginformasikan kegiatan tersebut kepada pihak berwenang, sehingga dianggap telah memberikan kemudahan bagi kegiatan terorisme.
Munarman didakwa oleh penuntut umum dengan dakwaan pertama, melanggar Pasal 14 juncto Pasal 7, atau kedua melanggar Pasal 15 juncto Pasal 7, atau ketiga melanggar Pasal 13 huruf c Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme.
Munarman kemudian disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, dengan register perkara Nomor 925/Pid.Sus/2021/PN Jkt Tim dan diputus bersalah melakukan tindak pidana terorisme.
Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur yakni, terdakwa telah memberikan bantuan kepada saksi Mohammad Akbar Muslim alias Abdi bin Moh. Saleh (Alm) dalam rangka melaksanakan kegiatan yang bertentangan dengan hukum, yakni mendukung ISIS.
Terdakwa dinilai juga terlibat dalam kegiatan yang mencakup baiat kepada pemimpin ISIS dan konvoi untuk mendeklarasikan Khilafah Islamiyah, tanpa melaporkan atau menginformasikan kegiatan tersebut kepada pihak yang berwenang.
Majelis Hakim menyatakan, terdakwa dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, serta menyembunyikan informasi terkait tindak pidana terorisme tersebut. terdakwa dijatuhi pidana tiga tahun penjara.
Terdakwa dan penuntut umum kemudian mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta yang kemudian disidangkan dengan perkara register nomor 114/PID.SUS/2022/PT DKI. Majelis Hakim Banding ternyata sependapat dengan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur, bahwa terdakwa bersalah melanggar Pasal pada dakwaan alternatif ketiga penuntut umum, yakni Pasal 13 huruf c Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Bahkan Majelis Hakim Banding memperberat hukuman menjadi empat tahun penjara, dengan alasan, pidana yang dijatuhkan harus lebih tegas dan mencerminkan rasa keadilan masyarakat, mengingat dampak besar dari tindak pidana tersebut terhadap ketertiban dan keamanan masyarakat.
Ternyata penuntut umum dari Kejaksaan Negeri Jakarta Timur merasa tidak puas dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan Pengadilan Tinggi Jakarta. Akhirnya penuntut umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Penuntut umum merasa, terdakwa harus dijerat dengan Pasal 14 atau Pasal 15 Juncto Pasal 7 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Saat bersamaan terdakwa pun mengajukan kasasi dengan alasan tidak bersalah dalam persoalan ini. Perkara tersebut diregister di Mahkamah Agung dengan nomor 5484 K/Pid.Sus/2021.
Duduk sebagai Majelis Hakim Kasasi yakni Prof. Dr. Surya Jaya, S.H., M.Hum., Dr. Prim Haryadi, S.H., M.H. dan Yohanes Priyana, S.H., M.H. Majelis Kasasi berpendapat bahwa Terdakwa tidak dapat dikenakan Pasal 14 atau Pasal 15 Juncto Pasal 7 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, karena tidak terdapat fakta hukum yang menyatakan terdakwa telah melakukan perbuatan merencanakan, atau menggerakan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme, atau tidak pula terungkap fakta bahwa terdakwa telah melakukan permufakatan jahat atau pembantuan dalam tindak pidana terorisme.
Berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan terdakwa dua kali ikut serta dalam seminar tentang Khilafah Daulah Islamiyah yang di dalamnya terdapat pemberian dukungan kepada ISIS baik itu pada pertemuan pada 6 Juli 2014 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan, maupun di Makassar pada 24 Januari 2015 di markas FPI Kota Makassar.
Namun pada pertemuan itu, terdakwa bukanlah orang yang merencanakan atau menginisiasi kegiatan, dan bukan pula sebagai pelaksana atau panitia kegiatan apalagi sebagai penyandang dana kegiatan.
Terdakwa menghadiri kegiatan tersebut sebagai orang yang diundang untuk hadir baik itu sebagai peserta di UIN Syarif Hidayatullah maupun sebagai pemberi materi di Markas FPI Makassar.
Faktanya, terdakwa ikut serta dalam pembaiatan terhadap ISIS padahal terdakwa mengetahui bahwa ISIS adalah organisasi terorisme. Seharusnya, terdakwa memberikan penjelasan kepada peserta yang hadir dalam kegiatan tersebut bahwa ISIS adalah organisasi teroris atau setidak-tidaknya tidak ikut serta dalam pembaiatan tersebut bukan malah sebaliknya ikut serta dalam pembaiatan tersebut.
Perbuatan terdakwa yang demikian itu dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan bagi pelaku tindak pidana terorisme dengan cara menyembunyikan informasi tentang terorisme, karena ikut sertanya terdakwa dalam pembaiatan tersebut telah mempermudah orang lain untuk mengembangkan paham tentang ISIS atau terorisme di Indonesia khususnya terhadap para peserta yang hadir dalam kegiatan tersebut. Perbuatan terdakwa melanggar Pasal 13 huruf c Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Atas pertimbangan tersebut Majelis Kasasi menolak permohonan kasasi dari penuntut umum dan terdakwa, serta memperbaiki terkait lamanya hukuman yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta, dengan alasan bahwa peranan terdakwa dalam kegiatan tersebut bukan merupakan orang yang menginisiasi atau merencanakan terselenggaranya kegiatan tersebut. Terdakwa hanya sebagai pihak yang diundang untuk berceramah dalam acara tersebut, dan terdakwa tidak pernah terlibat dalam kegiatan terorisme atau menggerakan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme. Oleh karena itu tidak beralasan hukum untuk memperberat pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa. Pada akhirnya Majelis Kasasi menjatuhkan pidana penjara selama tiga tahun.
Putusan 5484 K/Pid.Sus/2021 kemudian melahirkan perluasan makna perbuatan tindak pidana terorisme. Kaidah hukumnya, “Seseorang yang mengikuti seminar dan memberi dukungan kepada organisasi yang telah ditetapkan sebagai organisasi teroris termasuk tindak pidana terorisme”.
Putusan ini pun ditetapkan sebagai landmark decision yang akan menjadi rujukan bagi hakim-hakim pada perkara serupa di masa yang akan datang.
Pelajaran yang dapat dipetik dari perkara tersebut, agar masyarakat dapat menghindarkan dirinya dan lebih berhati-hati dalam menghadiri undangan seminar atau memberikan materi dan dukungan pada organisasi yang telah ditetapkan sebagai organisasi teroris. Karena hal tersebut telah menjadi perbuatan pidana, sebagaimana Putusan 5484 K/Pid.Sus/2021.