Akhirnya bisa rebahan juga di kamar Hotel Mercure, Beijing. Waktu setempat menunjukkan pukul 21.30, satu jam lebih cepat dari Jakarta. Siang tadi, sekitar pukul 12.30, pesawat kami mendarat di Bandara Beijing setelah menempuh penerbangan 2,5 jam dari Hongkong.
Begitu keluar dari bandara, udara dingin langsung menyapa. Suhu sekitar 14 derajat Celcius, cukup menusuk bagi yang terbiasa dengan udara tropis.
Untungnya, saya sudah mengenakan long john sejak di pesawat, jadi masih bisa menikmati sejuknya udara Beijing tanpa menggigil.
Dari bandara, rombongan peserta Studi Strategis Luar Negeri (SSLN) Lemhannas RI Angkatan XXVI langsung diajak makan siang di rumah makan Ramada, tak jauh dari bandara. Menu halal dengan cita rasa Asia membuat suasana makan siang terasa akrab, seolah makan di rumah sendiri.
Setelah makan siang, kami menuju Lapangan Tiananmen dan tiba sekitar pukul enam sore. Karena bus tidak bisa masuk ke area lapangan, kami berjalan kaki dari tempat parkir menuju lokasi. Udara sore semakin dingin, tapi rasa penasaran membuat langkah tetap ringan.
Di area pintu masuk, pemeriksaan keamanan terasa sangat ketat dan berlapis. Tour guide kami menjelaskan sejak peristiwa demonstrasi mahasiswa tahun 1989, kawasan Tiananmen memang diawasi dengan ketat. Kini, area itu menjadi salah satu titik wisata sejarah paling dijaga di Tiongkok.
Saat melangkah ke lapangan, pemandangan begitu megah. Di utara berdiri Gerbang Tiananmen dengan potret besar Mao Zedong, ikon utama kota Beijing.
Di baliknya menjulang Kota Terlarang (Forbidden City) yang dulu menjadi istana kaisar. Tepat di tengah lapangan berdiri Monumen Pahlawan Rakyat, diapit Balai Agung Rakyat di sisi barat dan Museum Nasional Tiongkok di sisi timur.
Di selatan tampak Mausoleum Mao Zedong, tempat persemayaman sang pendiri bangsa.
Sore itu, ribuan pengunjung berjalan tertib. Tidak ada suara bising, hanya desir angin dan langkah kaki. Saya kagum melihat bagaimana kedisiplinan menjadi bagian dari keseharian masyarakat Tiongkok.
Menjelang malam, langit Beijing berubah lembayung keemasan. Udara turun hingga 12 derajat Celcius. Kami melanjutkan makan malam di rumah makan Muslim Gunung Helan. Menu khas Xinjiang, sup hangat dan daging sapi berbumbu, membuat suasana jadi lebih hangat di tengah udara dingin.
Malam hari, sambil rebahan di kamar hotel, pikiran saya teringat pada film Superman yang tadi sempat saya tonton di pesawat.
Salah satu adegannya menampilkan Hall of Justice, tempat para pahlawan berkumpul untuk menegakkan kebenaran. Adegan itu sederhana tapi mengena: kekuatan sejati bukan soal siapa yang paling kuat, tapi siapa yang paling adil.
Film yang disutradarai oleh James Gunn itu juga menyinggung pentingnya keseimbangan antara kekuasaan, kemanusiaan, dan teknologi.

Di tengah dunia yang semakin digital, pesan itu terasa relevan: teknologi tidak boleh menggantikan nurani, dan kemajuan tidak boleh mengalahkan keadilan.
Superman mengingatkan kekuatan tanpa kebijaksanaan bisa berujung pada kehancuran, sementara kekuatan yang dipandu moral dan kasih sayang akan menjadi cahaya bagi peradaban. Sebuah pesan sederhana namun bermakna dalam, sama seperti perjalanan hari pertama di Beijing ini, yang mengajarkan disiplin, nilai, dan tanggung jawab adalah fondasi sejati dari kemajuan bangsa.
Oh ya, perjalanan ke Tiongkok kali ini merupakan kunjungan kedua bagi saya. Setahun lalu, saya pernah mendampingi Yang Mulia Agung Sumanatha, Ketua Kamar Perdata Mahkamah Agung RI, menghadiri undangan dari South West University of Political and Law di Chongqing.
Sejak 2020, ada 14 hakim Indonesia yang menempuh pendidikan doktoral melalui program Silk Road Ph.D di universitas tersebut, sebuah bentuk nyata kerja sama akademik Indonesia–Tiongkok di bidang hukum.
Dua di antaranya, Rizkiansyah (2024) dan Irwan Rosady (2025), berasal dari Biro Hukum dan Humas MA. Kini, Irwan menjabat Wakil Ketua Pengadilan Negeri Pandeglang, setelah sebelumnya menjadi Kabag PUU Biro Hukum dan Humas MA.
Saya percaya, kesempatan belajar di luar negeri bagi para hakim yustisial Biro Hukum dan Humas sangat terbuka.
Dengan akses internasional dan hubungan kelembagaan yang luas, mereka bisa menjadi jembatan pengetahuan bagi Mahkamah Agung. Tentu, hal itu menuntut kesiapan, terutama kemampuan bahasa asing dan mentalitas belajar yang kuat.
Seperti pesan Superman yang tertinggal di layar pesawat:
“True power lies not in strength itself, but in the wisdom to use it justly.”
Dan mungkin, seperti kalimat penutup itu pula, kita semua diingatkan.
“There is not enough time left to finish this movie.”
Bahwa waktu selalu terbatas, tapi kesempatan untuk berbuat baik, belajar, dan menebar manfaat tidak pernah habis.





