Renungan Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa: Menjaga Nyala Perdamaian di Tengah Dunia yang Berubah

Pada hari inilah (24 Oktober) tahun 1945, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) resmi berdiri, setelah 50 negara menandatangani Piagam PBB di San Francisco beberapa bulan sebelumnya.
Markas PBB di New York. Foto ; The UN
Markas PBB di New York. Foto ; The UN

Tanggal 24 Oktober bukan sekadar catatan sejarah di kalender dunia. Ia adalah pengingat tentang lahirnya sebuah harapan, ketika manusia, yang baru saja keluar dari kegelapan Perang Dunia II, berjanji untuk tidak mengulang luka yang sama. 

Pada hari inilah (24 Oktober) tahun 1945, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) resmi berdiri, setelah 50 negara menandatangani Piagam PBB di San Francisco beberapa bulan sebelumnya.

PBB lahir dari kesadaran paling mendasar: bahwa perdamaian tidak akan pernah tumbuh di atas kebencian dan keserakahan. 

Lembaga ini menjadi simbol tekad umat manusia untuk menata dunia yang lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih damai. 

Namun, delapan puluh tahun kemudian, dunia kembali diuji. Terorisme, perang, ketimpangan sosial, dan krisis kemanusiaan seolah menjadi bayangan yang tak kunjung hilang. 

Di Gaza, misalnya, perang dan penderitaan terus menuntut empati kita. 

Di tempat lain, teknologi yang dulu diharapkan membawa kemajuan kini juga menjadi medan pertempuran baru, perang informasi, perang siber, perang opini. Bentuk-bentuk peperangan berubah, tetapi korban utamanya tetap sama: manusia.

Kita mungkin bertanya dalam hati: apakah PBB masih mampu menjadi penengah di tengah dunia yang penuh kepentingan? Apakah perdamaian masih mungkin, ketika suara keadilan sering tenggelam oleh kebisingan kekuasaan?

Namun di balik segala keterbatasannya, PBB masih menyala sebagai simbol harapan. Ia menjadi ruang di mana bangsa-bangsa dapat berbicara, berdebat, dan mencari jalan bersama, bukan dengan senjata, tetapi dengan kata-kata. 

Dalam dunia yang semakin terpecah, keberanian untuk duduk dan berdialog adalah bentuk kemanusiaan yang paling tinggi.

Perdamaian memang bukan sesuatu yang datang dengan mudah. Ia adalah proses panjang, penuh luka, dan sering kali sunyi. 

Tapi justru di sanalah nilai sejatinya, bahwa setiap langkah kecil menuju pengertian adalah kemenangan bagi hati manusia.

Akhirnya, di hari PBB ini, marilah kita kembali merenung: Apakah kita sudah menjadi bagian dari perdamaian yang kita harapkan?

Sudahkah kita menanamkan empati dalam setiap keputusan, setiap perkataan, dan setiap tindakan kita sehari-hari? 

Perdamaian bukan hanya tugas para pemimpin dunia. Ia adalah tanggung jawab setiap manusia, di rumah, di sekolah, di tempat kerja, di mana pun ada ruang untuk saling memahami.

Selama manusia masih mau berpegangan tangan, berbagi harapan, dan memilih kasih di atas kebencian, nyala perdamaian itu tidak akan pernah padam. 

Dan, itu tidak sulit jika setiap kita memang cinta damai. 

Kofi Annan (Sekjen PBB ke-7) pernah mengingatkan, “We may have different religions, different languages, different colored skin, but we all belong to one human race.” (Kita mungkin memiliki agama yang berbeda, bahasa yang berbeda, warna kulit yang berbeda, tetapi kita semua adalah bagian dari satu ras manusia).