Kebahagiaan selalu menjadi dambaan terdalam umat manusia. Ia bukan sekadar rasa senang yang sesaat, melainkan keadaan jiwa yang penuh, utuh, dan bermakna. Dalam filsafat, Eudaimonisme menegaskan bahwa tujuan tertinggi hidup adalah mencapai kebahagiaan sejati melalui kebajikan. Pandangan ini memiliki relevansi mendalam dengan hukum, bahwa peraturan dan putusan seharusnya bukan hanya mengatur, tetapi juga membawa manusia menuju kebahagiaan sosial yang hakiki.
Eudaimonisme mengajarkan bahwa kebahagiaan bukanlah hadiah instan, melainkan buah dari kehidupan yang dijalani dengan penuh kebajikan. Dalam konteks hukum, hal ini berarti setiap legislasi, kebijakan, dan putusan harus berorientasi pada penguatan moralitas serta keharmonisan sosial. Hukum yang benar tidak boleh berhenti pada tataran prosedural, tetapi harus berkontribusi pada kebahagiaan masyarakat.
Hukum yang gagal membawa kebahagiaan akan kehilangan makna dan wibawanya. Sebaliknya, hukum yang mampu menumbuhkan ketenteraman, rasa aman, dan persaudaraan akan lebih dihormati. Inilah yang ditunjukkan Eudaimonisme, bahwa tujuan hukum sejatinya adalah menciptakan kondisi di mana masyarakat dapat hidup dengan damai, sejahtera, dan bermartabat.
Kebahagiaan sosial dalam kerangka ini tidak identik dengan kesenangan materi. Ia mencakup rasa keadilan, pengakuan atas martabat manusia, serta peluang untuk berkembang sesuai fitrah. Oleh karena itu, hukum yang berkeadilan bukan hanya menjaga keteraturan, tetapi juga membuka ruang bagi setiap individu untuk berkontribusi bagi kebaikan bersama.
Eudaimonisme menegaskan bahwa kebajikan adalah jalan menuju kebahagiaan. Maka, hukum yang berlandaskan pandangan ini harus mendorong tumbuhnya kebajikan dalam masyarakat. Setiap aturan seharusnya membimbing manusia menjauhi keburukan dan mendekatkan diri kepada nilai-nilai luhur yang menyehatkan jiwa dan menumbuhkan solidaritas.
Ketika hukum disusun dengan orientasi pada kebahagiaan sosial, maka peraturan yang lahir tidak akan bersifat represif, melainkan edukatif. Ia akan menjadi sarana pembelajaran moral, mengarahkan masyarakat agar menyadari pentingnya hidup bersama secara harmonis. Dengan demikian, hukum tidak hanya menakut-nakuti, tetapi juga mendidik.
Kebahagiaan sosial yang dibangun melalui hukum akan menciptakan kepercayaan publik. Ketika masyarakat melihat bahwa hukum bekerja bukan hanya untuk segelintir orang, melainkan untuk kebaikan semua, maka legitimasi hukum akan semakin kokoh. Kepercayaan ini adalah modal sosial yang berharga bagi keberlangsungan sebuah negara.
Hukum yang mengabaikan kebahagiaan sosial pada akhirnya akan menimbulkan luka. Peraturan yang hanya menguntungkan segelintir pihak atau menindas kelompok lemah tidak akan bertahan lama. Eudaimonisme mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati tidak dapat diraih dengan mengorbankan orang lain, melainkan dengan membangun harmoni yang adil.
Dalam praktiknya, orientasi pada kebahagiaan sosial menuntut keberanian untuk melampaui sekadar kepatuhan pada teks hukum. Hukum harus dimaknai sebagai instrumen untuk menghadirkan kehidupan yang lebih baik. Dengan demikian, setiap legislasi dan putusan menjadi jalan menuju kehidupan yang lebih manusiawi dan penuh makna.
Kebahagiaan sosial sebagai tujuan hukum juga mengajarkan tentang keseimbangan. Hukum harus memberi ruang bagi individu untuk mengejar cita-cita pribadinya, namun sekaligus menjaga kepentingan bersama. Inilah seni tertinggi dalam perundang-undangan: menata kehidupan bersama tanpa mematikan kebebasan individu.
Filsafat ini memberikan jawaban terhadap kegelisahan banyak masyarakat tentang hukum yang kering dan jauh dari kehidupan nyata. Dengan Eudaimonisme, hukum kembali dipahami sebagai jalan menuju kebahagiaan, bukan sekadar teks dingin yang memaksa. Pandangan ini menjadikan hukum lebih hidup, lebih menyentuh, dan lebih bermakna.
Dengan demikian, Eudaimonisme menawarkan visi luhur bagi hukum. Bahwa tujuan tertingginya adalah kebahagiaan sosial. Dengan berlandaskan kebajikan, hukum akan membawa masyarakat pada kehidupan yang adil, damai, dan sejahtera. Inilah hukum yang sejati, hukum yang tidak hanya menertibkan, tetapi juga menumbuhkan kebahagiaan, mengokohkan persaudaraan, dan mengantar manusia menuju kedamaian yang diridai Ilahi.