Tanggal 19 Agustus 1945 ditetapkan sebagai hari jadi Mahkamah Agung (MA) melalui SK KMA/043/SK/VIII/1999. Penetapan ini didasarkan pada pengangkatan Prof. Dr. Koesoemah Atmadja sebagai Ketua MA pertama oleh Presiden Soekarno. Perjalanan panjang mengelola lembaga peradilan di awal kemerdekaan tidaklah mudah. Banyak kritik muncul, termasuk dari Pompe melalui disertasi berjudul “Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung”, yang menyoroti kemunduran dan kelembagaan peradilan Indonesia saat itu.
Sebagai upaya memperbaiki sistem peradilan, lahirlah UU Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU Nomor 14 Tahun 1970 mengenai Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Salah satu substansi penting UU ini adalah pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan yang semula berada di bawah departemen menjadi di bawah kekuasaan MA. Langkah ini dimaksudkan untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari intervensi eksekutif (Sufmi Dasco Ahmad, 2021:139).
MA dan Kebijakan Satu Atap
Sebagai puncak kekuasaan kehakiman, MA memiliki posisi strategis karena membawahi empat lingkungan peradilan sekaligus mengelola aspek administratif, personel, finansial, serta sarana-prasarana.
Kebijakan “satu atap” menuntut MA membangun organisasi yang profesional, efektif, efisien, transparan, dan akuntabel (Mahkamah Agung RI, 2010:1). Berangkat dari kebijakan ini, MA terus berbenah, memperbaiki citra, dan memperkuat sistem peradilan.
Beberapa perkembangan dan capaian MA pada usia ke-80 antara lain:
1. Penetapan Visi dan Misi Jangka Panjang
Pada 10 September 2009, MA merumuskan visi:
“Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung.”
Visi ini merujuk pada Pembukaan UUD 1945, khususnya alinea kedua dan keempat (Mahkamah Agung RI, 2010:13).
Misi MA tahun 2010–2035 meliputi:
- Menjaga kemandirian badan peradilan.
- Memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan bagi pencari keadilan.
- Meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan.
- Meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan peradilan.
Keempat misi tersebut dirumuskan untuk memastikan visi besar MA dapat terwujud dalam 25 tahun mendatang (Mahkamah Agung RI, 2010:14).
2. Pelopor Keterbukaan Informasi Publik
Dalam upaya membangun kepercayaan publik, MA menginisiasi kebijakan keterbukaan informasi peradilan lebih awal dibanding lahirnya UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Kebijakan ini dituangkan dalam SK KMA Nomor 144/KMA/SK/VIII/2007, yang membuka akses informasi peradilan secara luas bagi masyarakat.
Atas upaya tersebut, MA meraih Anugerah Keterbukaan Informasi Publik 2024 dengan kualifikasi informatif kategori Lembaga Negara/LPNK dan memperoleh nilai 96,09 dari Komisi Informasi Pusat (Mahkamah Agung RI, 2025:10).
3. Percepatan Penyelesaian Perkara
MA menerbitkan SK KMA Nomor 214 Tahun 2014 yang mengatur jangka waktu penanganan perkara di MA maksimal 250 hari sejak berkas diterima hingga putusan dikirim ke pengadilan pengaju.
Sejak 2014, MA juga memberlakukan sistem kamar yang membagi penanganan perkara ke dalam lima kamar: pidana, perdata, agama, militer, dan tata usaha negara. Sistem ini meningkatkan konsistensi putusan dan profesionalitas hakim (Pusat Data Analisa Tempo, 2022:19–21).
Pada 2024, MA menangani 31.138 perkara (30.991 perkara baru dan 147 sisa perkara 2023). MA berhasil memutus 30.908 perkara atau 99,26% dari total beban perkara (Mahkamah Agung RI, 2025:10).
Untuk peradilan tingkat pertama dan banding, penyelesaian perkara diatur melalui SEMA Nomor 2 Tahun 2014, masing-masing maksimal 5 bulan dan 3 bulan.
4. Modernisasi Proses Peradilan dan Pelayanan Publik
Peradilan modern berarti penggunaan teknologi untuk memeriksa, mengadili, memutus, dan menyajikan layanan publik yang transparan (Hamzah, 2022:7–8).
MA dan badan peradilan di bawahnya telah memigrasikan layanan publik ke sistem berbasis teknologi informasi. Masyarakat dapat mengakses berbagai aplikasi, seperti PTSP+, Eraterang, Lentera, SIPP, serta website peradilan.
Untuk administrasi perkara, tersedia e-Court untuk perdata dan E-Berpadu untuk pidana. Proses sidang hingga pembacaan putusan kini bisa dilakukan secara elektronik. Pemanfaatan TI ini mempersingkat waktu, menghemat biaya, dan memperluas akses masyarakat terhadap layanan peradilan.
Masih banyak program, capaian, dan penghargaan MA yang tidak bisa dirinci dalam tulisan singkat ini, seperti penguatan SDM, sistem pengawasan, serta putusan-putusan penting (landmark decisions) yang berkontribusi pada perkembangan hukum di Indonesia.