Konten, Anak, dan Jejak Hukum: Bijak Bermain di Dunia Digital

Masyarakat, orang tua, pendidik, bahkan figur publik, perlu memahami batasan hukum di dunia maya agar tak memengaruhi anak-anak ke sesuatu yang negatif.
Anak berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan psikis, eksploitasi, dan perundungan, termasuk di ranah digital. Foto pexels.com
Anak berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan psikis, eksploitasi, dan perundungan, termasuk di ranah digital. Foto pexels.com

Di era digital, media sosial seakan menjadi panggung bebas berekspresi. Namun, kebebasan ini kerap membawa risiko, terutama ketika menyangkut anak-anak. Kasus perundungan yang berawal dari sebuah konten mengingatkan kita bahwa dunia maya bisa memicu masalah hukum di dunia nyata.

Bahkan, niat baik seorang psikolog yang membuat konten edukasi pun bisa berbalik menjadi jeratan hukum jika dianggap melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

UU Perlindungan Anak dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dengan tegas mengatur hak-hak anak, baik sebagai korban maupun pelaku. Anak berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan psikis, eksploitasi, dan perundungan, termasuk di ranah digital.

Di sisi lain, UU ITE menjadi pagar hukum agar kebebasan berekspresi tidak merugikan pihak lain. Apa yang dianggap 'sekadar konten' bisa menjadi delik pidana bila memenuhi unsur hukum yang berlaku.

Dalam proses hukum, Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif memegang peran krusial. Hakim yang memeriksa perkara harus menegakkan keadilan tanpa terpengaruh opini publik yang beredar luas di media sosial. Keputusan harus berdasar pada fakta hukum, bukan tekanan viralitas atau opini warganet. Inilah tantangan besar di era digital: menjaga independensi peradilan di tengah derasnya arus informasi.

Apa yang bisa kita lakukan? Bijak bermedia sosial adalah jawabannya. Setiap unggahan memiliki konsekuensi. Hindari membuat konten yang berpotensi merugikan, terutama yang melibatkan anak-anak. Mereka bukan sekadar objek di layar, melainkan individu yang haknya dilindungi negara. Pikirkan sebelum membagikan-apakah konten ini mendidik, bermanfaat, atau justru bisa melukai?

Ke depan, edukasi literasi digital harus menjadi prioritas. Masyarakat, orang tua, pendidik, bahkan figur publik, perlu memahami batasan hukum di dunia maya. Media sosial seharusnya menjadi ruang aman, bukan arena konflik hukum. Mari gunakan teknologi dengan bijak, karena sekali salah langkah, dampaknya bisa panjang.

Penulis: Nur Amalia Abbas
Editor: Tim MariNews