Asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan bertujuan mewujudkan keadilan yang efisien, efektif, dan terjangkau sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009.
Namun, dalam praktik peradilan pidana, asas ini sering terhambat, terutama akibat ketidakhadiran terdakwa yang disebabkan oleh keengganan menghadapi hukum, pelarian, atau kurangnya itikad baik, sehingga proses peradilan menjadi tidak optimal.
Sebagai respon terhadap permasalahan ini, sistem hukum acara pidana Indonesia memberikan mekanisme peradilan tanpa kehadiran terdakwa, yang dikenal dengan istilah in absentia.
Pengaturan mengenai in absentia tidak hanya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tetapi juga dalam sejumlah undang-undang khusus seperti Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Pengadilan HAM, Undang-Undang Perikanan, serta Undang-Undang Perpajakan.
Tulisan ini bertujuan untuk menguraikan secara yuridis penerapan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam kaitannya dengan mekanisme in absentia, baik dalam KUHAP maupun dalam Rancangan KUHAP (RKUHAP), serta menelaah permasalahan hukum yang mungkin timbul dari pengaturannya.
Dasar Hukum Peradilan In Absentia
Secara konseptual, peradilan in absentia adalah proses pemeriksaan dan pemutusan perkara pidana yang dilakukan tanpa kehadiran terdakwa, sepanjang terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut namun tidak hadir tanpa alasan yang sah.
Berdasarkan Pasal 154 KUHAP, apabila terdakwa yang tidak ditahan tidak hadir pada sidang yang telah ditetapkan, hakim wajib memastikan keabsahan pemanggilan tersebut.
Bila pemanggilan belum dilakukan secara sah, hakim memerintahkan penuntut umum untuk melakukan pemanggilan ulang.
Namun jika pemanggilan telah dilakukan secara sah namun terdakwa tetap tidak hadir, hakim dapat memerintahkan agar terdakwa dihadirkan secara paksa.
Dengan demikian, pada prinsipnya KUHAP menghendaki kehadiran terdakwa sebagai syarat ideal dalam pemeriksaan di persidangan.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 196 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan bahwa pengadilan memutus perkara dengan kehadiran terdakwa, kecuali dalam hal undang-undang menentukan lain.
Akan tetapi, terhadap tindak pidana tertentu, undang-undang memberikan pengecualian dengan memperbolehkan pemeriksaan dan pemutusan perkara tanpa kehadiran terdakwa.
Pengecualian tersebut antara lain terdapat dalam perundang-undangan pidana khusus, diantaranya yaitu Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Pengadilan HAM, Undang-Undang Perikanan, serta Undang-Undang Perpajakan.
Dalam seluruh undang-undang tersebut ditegaskan bahwa apabila terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tetapi tidak hadir tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.
Hal ini merupakan penerapan asas lex specialis derogat legi generali, di mana ketentuan undang-undang khusus mengesampingkan ketentuan umum dalam KUHAP.
Persidangan dan Putusan In Absentia dalam KUHAP dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
Meskipun secara umum KUHAP menghendaki kehadiran terdakwa, terdapat ketentuan yang memperbolehkan pengucapan putusan tanpa kehadirannya. Pasal 12 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dengan kehadiran terdakwa, kecuali jika undang-undang menentukan lain.
Lebih lanjut, apabila pemeriksaan dinyatakan telah selesai dan terdakwa tidak hadir tanpa alasan yang sah, maka putusan dapat diucapkan tanpa kehadirannya.
Frasa “pemeriksaan telah selesai” dimaknai sebagaimana diatur dalam Pasal 182 ayat (1) KUHAP, yakni setelah tahap pembuktian selesai dan penuntut umum mengajukan tuntutan pidana.
Adapun istilah “pemeriksaan ditutup” mengacu pada Pasal 182 ayat (2) KUHAP, yakni setelah seluruh proses pembelaan, tanggapan, replik, dan duplik selesai, hakim ketua menyatakan pemeriksaan ditutup.
Berdasarkan ketentuan ini, jika terdakwa tidak hadir dalam tahapan akhir tersebut, maka pengucapan putusan tetap dapat dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum tanpa kehadirannya.
Prosedur ini menjadi penting terutama dalam kasus-kasus di mana terdakwa tidak ditahan, atau dalam perkara dengan ancaman pidana yang tidak memenuhi syarat penahanan, dan terdakwa tidak hadir dengan alasan yang tidak sah, serta upaya menghadirkan terdakwa secara paksa tidak dapat dilakukan karena beberapa kendala.
Dalam situasi demikian, selama pemanggilan telah dilakukan secara sah sesuai Pasal 145, 146, dan 227 KUHAP, hakim tetap berwenang melanjutkan persidangan dan membacakan putusan secara in absentia.
Dengan mekanisme tersebut, asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan tetap dapat dijaga, karena proses peradilan tidak terganggu oleh ketidakhadiran terdakwa yang disengaja.
Di sisi lain, hak-hak terdakwa tetap dijamin karena putusan in absentia tidak menghilangkan hak terdakwa untuk mengajukan upaya hukum seperti banding atau peninjauan kembali setelah ia diketahui keberadaannya.
Pengaturan In Absentia dalam Rancangan KUHAP (RKUHAP)
Rancangan KUHAP sebagai pembaruan hukum acara pidana diharapkan dapat memberikan kejelasan dan keseragaman pengaturan, termasuk dalam hal mekanisme in absentia.
Namun, ketentuan dalam Pasal 234 RKUHAP justru belum mengakomodasi secara tegas ketentuan mengenai putusan tanpa kehadiran terdakwa.
Pasal tersebut hanya menyebutkan bahwa pengadilan memutus perkara dengan kehadiran terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain, tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai kondisi ketika pemeriksaan telah selesai atau ditutup sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.
Ketiadaan rumusan yang tegas dalam RKUHAP berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya. Padahal, keberadaan norma yang jelas sangat diperlukan agar tidak terjadi perdebatan di tingkat praktik mengenai apakah pengucapan putusan tanpa kehadiran terdakwa sah dilakukan.
Dalam konteks ini, sinkronisasi antara ketentuan RKUHAP dengan Pasal 12 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menjadi hal yang sangat penting.
Apabila hal ini tidak diatur secara eksplisit, maka akan muncul kesulitan interpretasi dalam menentukan batas kapan pemeriksaan dianggap selesai, serta apakah putusan yang diucapkan tanpa kehadiran terdakwa dapat dikategorikan sah dan memiliki kekuatan hukum tetap.
Ketidakjelasan ini pada akhirnya dapat menghambat penerapan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan yang seharusnya menjadi pedoman utama dalam penyelenggaraan peradilan pidana di Indonesia.
Penutup
Pada dasarnya, kehadiran terdakwa dalam persidangan merupakan prinsip penting untuk menjamin hak atas pembelaan diri.
Namun, dalam praktiknya, terdapat kondisi di mana terdakwa tidak hadir meskipun telah dipanggil secara sah dan patut.
Untuk menghindari stagnasi proses peradilan dan menjaga efektivitas penegakan hukum, hukum acara pidana memperbolehkan pelaksanaan sidang dan pembacaan putusan tanpa kehadiran terdakwa (in absentia).
Pelaksanaan mekanisme persidangan in absentia harus tetap didasarkan pada ketentuan hukum yang jelas, sebagaimana mengacu dalam Pasal 196 ayat (1) KUHAP dan ketentuan perundang-undangan pidana khusus, serta putusan in absentia sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dan Pasal 182 KUHAP.
Namun, karena RKUHAP belum mengatur secara eksplisit tentang kondisi pemeriksaan selesai atau ditutup, hal ini berpotensi menimbulkan persoalan hukum di masa mendatang.
Oleh karena itu, perlu ditegaskan dalam RKUHAP pengaturan mengenai pelaksanaan putusan in absentia yang sejalan dengan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan KUHAP, agar tercipta kepastian hukum serta konsistensi dalam penerapan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Dengan demikian, sistem peradilan pidana di Indonesia diharapkan dapat berjalan lebih efisien tanpa mengurangi jaminan hak-hak terdakwa sebagai subjek hukum.
Referensi
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) versi 20 Maret 2025. Institute for Criminal Justice Reform. https://bphn.go.id/data/documents/draft_ruu_kuhp_final.pdf, diakses tanggal 10/10/2025;
Buku dan Literatur Akademik:
Harahap, Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
Artikel Jurnal dan Publikasi:
https://www.hukumonline.com Apa itu peradilan In Absentia dalam perkara pidana dan perdata.





