"Hakim adalah wajah keadilan. Melindungi hakim berarti menjaga cahaya keadilan agar tak padam di tengah gelapnya ancaman."
Alarm yang Tak Boleh Diabaikan
Rentetan peristiwa kekerasan terhadap aparatur peradilan sepanjang 2025 seharusnya menjadi alarm keras bagi negara. Bukan sekadar insiden sporadis, melainkan pola sistematis yang mengancam fondasi negara hukum itu sendiri.
Terbakarnya rumah Hakim Pengadilan Negeri Medan, pada 4 November 2025 adalah bukti nyata betapa rentan posisi para penegak keadilan di negeri ini.
Hanya berselang dua hari kemudian, Panitera Pengadilan Negeri Sibolga, Termaziduhu Harefa, mengalami kekerasan fisik saat melaksanakan eksekusi putusan perdata di Tapanuli Tengah.
Belum reda luka itu, pada 5 Desember 2025, Panitera Pengadilan Negeri Atambua, Marthen Benu, menjadi korban penembakan senapan angin saat bertugas melakukan eksekusi.
Deretan peristiwa ini bukan coincidence. Ini adalah teroris yudisial yang telah menemukan rumahnya di Indonesia.
Data Komisi Yudisial mencatat 31 kasus Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim (PMKH) sepanjang 2024-2025. Angka yang seharusnya membuat kita semua bertanya: selama ini, siapa yang menjaga para penjaga keadilan?

Fenomena Teroris Yudisial
Teroris yudisial bukan istilah resmi dalam literatur hukum Indonesia. Namun, neologisme ini tepat menggambarkan realitas yang kita hadapi: segala bentuk tekanan, ancaman, dan intimidasi yang sengaja diarahkan kepada hakim dengan tujuan mempengaruhi putusan.
Para pelaku tidak perlu membawa bom, mereka cukup membawa api yang membakar rumah, pisau yang menikam di parkiran, atau senapan yang menghantam kepala saat eksekusi.
Di era digital, teror bahkan tidak memerlukan kehadiran fisik. Doxing, penyebaran data pribadi hakim seperti alamat rumah, nomor telepon, foto keluarga, bahkan sekolah anak, telah menjadi senjata baru.
Atas nama keterbukaan informasi publik, identitas para penegak keadilan dibuka lebar, menjadikan mereka sasaran empuk bagi siapa saja yang tidak puas dengan putusan pengadilan.
Judicial Doxing Melalui Pemberitaan LHKPN
Fenomena yang lebih halus namun tak kalah destruktif adalah weaponization Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) hakim. Sepanjang 2024-2025, teridentifikasi pola sistematis di mana LHKPN hakim menjadi viral di media massa dan sosial segera setelah hakim tersebut menjatuhkan putusan yang dinilai kontroversial oleh publik.
Pada suatu tulisan di MariNews Mahkamah Agung tertanggal 14 Juli 2025 berjudul "Tantangan Hakim Era Digital" secara eksplisit mengakui fenomena ini: "Praktik doxing (penyebaran informasi privasi untuk umum) dan penyebaran fitnah yang tidak benar, menjadi senjata ampuh bagi pihak tidak bertanggung jawab untuk merusak reputasi dan kredibilitas hakim... Tujuannya jelas, mempengaruhi dan mengintervensi alam pikir objektif seorang hakim."
Berikut inventarisasi kasus pemberitaan LHKPN hakim pasca-putusan kontroversial:
Pola yang teridentifikasi menunjukkan karakteristik yang konsisten:
- Timing Sistematis: LHKPN hakim disebarkan dalam 24-48 jam pasca-putusan kontroversial, bukan sebelumnya.
- Narasi Implisit: Penyajian data yang mengkorelasikan jumlah kekayaan hakim dengan putusan yang dijatuhkan, seolah-olah ada hubungan kausalitas.
- Framing Kenaikan Harta: Media sering menyoroti "lonjakan" kekayaan hakim dengan membandingkan LHKPN antar periode, tanpa konteks yang memadai tentang sumber yang sah (warisan, penghasilan pasangan, dll).
- Efek Viral: Data kemudian menyebar masif di media sosial dengan komentar spekulatif yang merusak reputasi.
Fenomena ini menciptakan dilema yang kompleks. Di satu sisi, LHKPN adalah informasi publik berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Transparansi ini adalah pilar penting akuntabilitas.
Di sisi lain, penyajian yang mengkorelasikan kekayaan dengan putusan, tanpa bukti konkret pelanggaran, adalah bentuk judicial doxing dengan motif terselubung: menekan dan mengintimidasi hakim.
Adapun yang lebih mengkhawatirkan, LHKPN memuat informasi yang dapat membahayakan keamanan fisik hakim: alamat tanah dan bangunan, jenis dan merek kendaraan, hingga lokasi aset. Informasi ini dapat digunakan untuk stalking, intimidasi, atau bahkan serangan fisik terhadap hakim dan keluarganya.
"Kemerdekaan kehakiman tak akan berarti tanpa kemerdekaan dari rasa takut."
Hakim yang menangani perkara korupsi, narkotika, dan terorisme adalah yang paling rentan. Mereka tidak hanya menghadapi tekanan dari terdakwa, tetapi juga jaringan yang terorganisir. Pertanyaannya sederhana namun fundamental:
Bagaimana mungkin hakim memutus dengan merdeka bila rasa aman dalam menjalankan tugasnya belum dijamin negara?
Dari Mana Harus Memulai?
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka. Pasal 48 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pun mengamanatkan bahwa negara wajib memberikan jaminan keamanan bagi hakim. Namun, implementasi dari amanat konstitusional ini masih jauh dari memadai.
Saat ini, pengamanan pengadilan masih bergantung pada Satuan Pengamanan (Satpam) yang pembiayaannya dibebankan pada DIPA masing-masing satuan kerja.
Mekanisme ini menciptakan disparitas yang mencolok: pengadilan di kota besar mungkin memiliki peralatan dan pelatihan memadai, sementara pengadilan di daerah terpencil harus beroperasi dengan keterbatasan yang serius. Padahal, ancaman terhadap independensi peradilan tidak mengenal geografi, kasus sensitif bisa diadili di mana saja.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2020 memang telah mengatur protokol keamanan persidangan, termasuk kewenangan Satuan Pengamanan untuk melakukan penggeledahan badan.
Namun, fokusnya masih terbatas pada keamanan di dalam gedung pengadilan. Siapa yang melindungi hakim ketika pulang ke rumah? Siapa yang mengamankan perjalanan antara rumah dan kantor? Siapa yang menjaga keluarga mereka dari intimidasi?
Polisi Khusus Pengadilan, Kebutuhan Mendesak
Mahkamah Agung bersama Komisi Yudisial kini tengah menggodok pembentukan Polisi Khusus Pengadilan (Polsus Pengadilan). Gagasan ini bukanlah hal baru di dunia internasional. Amerika Serikat memiliki U.S. Marshals Service yang sejak 1789 bertugas melindungi hakim federal dan mengamankan pengadilan.
Singapura memiliki Judiciary Security Unit dengan sistem kontrol akses digital dan alarm darurat di setiap ruang sidang. Malaysia memiliki Judiciary Protection Unit yang bekerja sama dengan Polisi Diraja Malaysia.
Indonesia sendiri sudah mengenal Polisi Khusus di berbagai sektor: kereta api, kehutanan, pemasyarakatan. Mengapa lembaga peradilan, sebagai pilar negara hukum, justru belum memilikinya?
Dalam Diskusi Publik Kertas Kerja Kebijakan Keamanan Hakim dan Pengadilan di Universitas Pendidikan Indonesia Bandung pada 29 Oktober 2025, tiga hal krusial disepakati:
- Polsus Pengadilan tidak terlibat dalam proses pro-yustisia, melainkan fokus murni pada keamanan hakim dan lingkungan pengadilan.
- Diperlukan dukungan kelembagaan lintas instansi, termasuk pembentukan satuan pengamanan yang bersifat permanen dan profesional.
- Perlu payung hukum yang jelas, mengingat UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Kepolisian belum mengatur secara spesifik perangkat pengamanan internal di bawah Mahkamah Agung.
Kerjasama Tripartit
Di internal Mahkamah Agung, saat Rapat Pleno , sempat mencuat wacana MoU bilateral dengan TNI untuk pengamanan hakim. Dari perspektif yuridis, gagasan ini bermasalah. Kerangka hukum Indonesia memisahkan secara tegas fungsi pertahanan (TNI) dan keamanan dalam negeri (POLRI).
Fungsi keamanan sipil, termasuk pengamanan institusi publik non-militer seperti pengadilan, secara default berada di bawah koordinasi POLRI.
Lebih dari sekadar persoalan legal, ada dimensi psikologis yang harus dipertimbangkan. Pengadilan adalah ruang publik yang harus memberikan rasa aman bagi semua pencari keadilan, saksi, dan pihak berperkara.
Kehadiran personel militer dalam pengamanan rutin berpotensi menciptakan atmosfer intimidatif yang justru kontraproduktif dengan tujuan peradilan yang adil dan terbuka.
Model yang tepat adalah kerjasama tripartit antara MA, POLRI, dan TNI dengan pembagian peran yang jelas:
- Mahkamah Agung sebagai owner dan penentu kebijakan keamanan internal, sekaligus pengelola langsung Polsus Pengadilan melalui unit struktural khusus (misalnya Badan Keamanan Yudisial).
- POLRI sebagai mitra utama yang memberikan bantuan pengamanan off-site, pembinaan teknis terhadap Polsus Pengadilan, serta penanganan tindak pidana di lingkungan pengadilan.
- TNI sebagai mitra pendukung non-rutin, hanya untuk situasi yang sangat spesifik seperti kasus koneksitas atau pengamanan Objek Vital Nasional dalam kerangka OMSP ( Operasi Militer Selain Perang ).
Pilar Arsitektur Keamanan Terintegrasi
Polsus Pengadilan hanyalah satu komponen. Adapun yang diperlukan adalah Sistem Keamanan Peradilan (SKP) terintegrasi yang mencakup empat pilar:
Pertama, Institusionalisasi dan Tata Kelola
Diperlukan pembentukan unit struktural khusus di bawah Kesekretariatan MA. Misalkan saja dengan pembentukan Badan Keamanan Yudisial (BKY), dengan mandat penuh untuk perencanaan strategis, penganggaran terpusat bukan terfragmentasi di DIPA satker dan penyelenggaraan pelatihan standar nasional. Sentralisasi ini akan memastikan distribusi sumber daya keamanan yang merata ke seluruh pengadilan, termasuk yang berada di daerah terpencil.
Kedua, Manajemen Ancaman Berbasis Intelijen
Sistem keamanan harus beralih dari reaktif menjadi proaktif. BKY harus membangun program pengumpulan dan analisis data ancaman terpusat, terintegrasi dengan Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP). Dengan demikian, pengadilan yang menangani perkara korupsi atau terorisme akan otomatis mendapat pengamanan yang berbeda dibandingkan pengadilan yang hanya menangani perkara ringan.
Ketiga, Perlindungan Fisik dan Tata Ruang
Setiap pengadilan harus menerapkan security screening yang ketat, CCTV memadai, safe rooms untuk hakim dan staf, serta mitigasi ancaman ledakan di gedung berisiko tinggi. Standarisasi desain keamanan harus menjadi kebijakan nasional, bukan inisiatif sporadis masing-masing pengadilan.
Keempat, Perlindungan Personal dan Siber
Ancaman terhadap hakim seringkali terjadi di luar gedung pengadilan. Oleh karena itu, SKP harus mencakup program perlindungan off-site bagi personel berisiko tinggi, edukasi keamanan personal, dan yang tidak kalah penting adalah Privacy Shield Yudisial untuk melindungi identitas hakim dari ancaman doxing tanpa mengorbankan prinsip keterbukaan informasi publik.
Konsep Privacy Shield Yudisial
Berdasarkan fenomena judicial doxing melalui LHKPN yang telah diuraikan di atas, diperlukan mekanisme perlindungan yang menyeimbangkan transparansi dan keamanan. Privacy Shield Yudisial mencakup beberapa komponen:
- Redaksi LHKPN untuk Hakim: Tetap transparan untuk nilai total dan jenis aset, namun meredaksi alamat spesifik (cukup kota/kabupaten), detail kendaraan (cukup jumlah dan nilai), dan informasi lain yang dapat digunakan untuk stalking. Data lengkap tetap dapat diaudit KPK.
- Protokol Publikasi Media: Koordinasi dengan Dewan Pers untuk menyusun pedoman etis pemberitaan LHKPN hakim, termasuk larangan publikasi dengan framing intimidatif yang mengkorelasikan kekayaan dengan putusan tanpa bukti konkret.
- Tim Respons Cepat: Unit khusus di BKY untuk monitoring penyebaran informasi hakim di media sosial pasca-putusan sensitif, dengan protokol perlindungan darurat jika terjadi viral doxing.
- Edukasi Publik: Kampanye untuk membedakan kritik putusan yang legitimate dengan intimidasi hakim yang ilegal. Sosialisasi bahwa LHKPN yang sah tidak otomatis mencerminkan korupsi, dan hakim berhak memutus independen tanpa tekanan.
Kerangka Hukum Perlindungan dari Doxing
Indonesia telah memiliki instrumen hukum yang dapat digunakan untuk melindungi hakim dari doxing:
- UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi: Pasal 67 mengatur bahwa penyebaran data pribadi dengan maksud merugikan diancam pidana penjara 4-5 tahun dan/atau denda Rp 4-5 miliar.
- UU ITE (sebagaimana diubah dengan UU 1/2024): Pasal 27 ayat (4) melarang distribusi informasi elektronik dengan muatan ancaman.
- RUU Contempt of Court: Sedang dikawal IKAHI untuk disahkan, yang akan memberikan perlindungan lebih komprehensif terhadap tindakan yang merendahkan martabat peradilan.
Investasi untuk Negara Hukum
Sekretaris Mahkamah Agung, Sugiyanto, menyampaikan fakta yang getir: dengan anggaran sekitar Rp12 triliun, MA harus mengelola empat lingkungan peradilan yang mencakup 920 satuan kerja dan sekitar 9.000 hakim. Keterbatasan ini nyata. Namun, tidak ada pilihan lain kecuali menjadikan keamanan peradilan sebagai prioritas.
Pembangunan arsitektur keamanan terintegrasi bukan sekadar melindungi nyawa individu, keadaan ini tentang menjamin martabat dan independensi kekuasaan kehakiman sebagai pilar demokrasi.
Kegagalan membangun sistem keamanan yang mandiri dan profesional akan terus menyisakan celah yang menjadi ancaman laten terhadap kebebasan hakim dalam memutus perkara.
Dari mana memulai? Dimulai dari kesadaran bahwa kehadiran Polsus Pengadilan bukanlah kemewahan birokrasi, melainkan kebutuhan konstitusional.
Dimulai dari kemauan politik untuk menyusun Peraturan Presiden tentang struktur dan koordinasi Polsus Pengadilan.
Dimulai dari pelatihan terpadu antara MA, KY, dan Polri.
Dimulai dari penerapan sistem keamanan digital, CCTV AI, kontrol akses elektronik, panic button.
Dimulai dari implementasi Privacy Shield Yudisial untuk melindungi hakim dari judicial doxing.
Dan yang paling fundamental: dimulai dari keyakinan bahwa negara yang menghormati hakimnya adalah negara yang sedang membangun peradaban keadilannya.
"Reformasi peradilan sejati adalah ketika hakim dapat menegakkan keadilan tanpa rasa takut, dan masyarakat mempercayai hukum tanpa rasa ragu."
Selama masih ada hakim yang memutus dengan jujur, hukum akan terus hidup. Namun, selama ada hakim yang dibiarkan tanpa perlindungan, keadilan selalu dalam bahaya.





