Hermeneutika Modern Sebagai Perekat Kesenjangan Pemahaman

Dunia peradilan membawa pemahaman bahwa setiap aparatur peradilan harus mengetahui, memahami dan melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan penuh tanggung jawab.
Ilustrasi hukum. Foto pixabay
Ilustrasi hukum. Foto pixabay

Aparatur seluruh badan peradilan di bawah Mahkamah Agung memiliki kesadaran, pengabdian dan kinerja yang dilakukan tidak lepas dari suatu peraturan yang cenderung berbentuk teks tertulis. 

Dunia peradilan membawa pemahaman bahwa setiap aparatur peradilan harus mengetahui, memahami dan melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan penuh tanggung jawab. 

Realitas dewasa ini menunjukkan aparatur peradilan tidak selalu memiliki latar belakang intelektual di bidang hukum, namun juga memiliki keberagaman potensial dari segi pendidikan sesuai jabatan yang diemban. 

Keberagaman ini, seringkali menjadi jarak pemisah antara Hakim, tenaga teknis peradilan dan tenaga kesekretariatan di tiap-tiap satuan kerja dalam memahami peraturan maupun kebijakan yang dikeluarkan Mahkamah Agung.

Realitas adanya jarak atau kesenjangan dalam memahami peraturan maupun kebijakan Mahkamah Agung harus dilihat sebagai hal pokok yang melahirkan urgensi dalam memperluas khazanah bagi aparatur peradilan menjalankan tugas pokok dan fungsi agar tidak terjadi disharmonisasi institusional. 

Secara empiris, kebutuhan peningkatan kesejahteraan, perlindungan, keamanan, kesehatan dan kemudahan akses dalam memperoleh keadilan tidak hanya melekat pada jabatan Hakim, melainkan juga bagi setiap aparatur peradilan seluruh Indonesia. 

Pandangan integralistik sangat diperlukan untuk menjaga marwah peradilan dan meraih kepercayaan publik, sehingga sangat tidak diharapkan adanya kesenjangan pemahaman yang justru memberikan kesan ketidakharmonisan institusional. 

Oleh karenanya, haruslah dipahami bahwa kondisi atau realitas sekarang ini menuntut “seni memahami” hadir dalam dunia peradilan, untuk menjadi satu hal yang harus mampu menghapus kesenjangan pemahaman mengenai kebijakan maupun peraturan yang menjadi landasan menjalankan tugas jabatan.

Seni memahami disini diartikan sebagai cara baca terhadap teks berdasarkan makna secara harfiah dalam berbagai bidang seperti hukum, politik, jurnalisme, kesusastraan. 

Target kajian dari seni memahami yang modern dalam bidang hukum yaitu pada teks-teks otoritatif seperti undang-undang maupun peraturan perundang-undangan yang lainnya dan eksistensi keberadaan.

Padanan kata seni memahami ini adalah hermeneutik, yang mana dalam hal ini lebih merujuk pada hermeneutik modern. Selanjutnya, perlu dikemukakan tokoh berikut pemikiran hermeneutika modern yang dapat menambah Khazanah untuk memangkas kesenjangan pemahaman dalam realitas dunia peradilan saat ini.

1. Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768-1834) :

Hermeneutik dapat membantu pembaca untuk melampaui makna literal teks dengan memahami konteks produksi teks itu. Memahami makna teks tidak dapat dilepaskan dari konteks penulisan teks itu, khususnya pengalaman penulis sendiri. 

Oleh karena itu, interpretasi disini bertugas untuk mengatasi kesenjangan waktu antara pembaca dan teks yang dibacanya dengan cara empati psikologis atau divinasi yaitu membayangkan diri seolah-olah penulis teks itu, untuk memahami maksud asli penulis teks itu.

2. Wilhelm Christian Ludwig Dilthey (1833-1911) :

Bahwa untuk memahami suatu teks kita harus menempatkannya di dalam konteks kehidupan penulisnya, dan konteks kehidupan terdiri atas masyarakat, kebudayaan dan sejarah maka hermeneutic dapat menjadi dasar proses memahami di dalam ilmu-ilmu sosial kemanusiaan. 

Hal ini membuka ruang perspektif antropologis dan ontologis tentang historisitas manusia, yang mana manusia adalah makhluk sejarah dimana tidak memiliki hakikat atau kodrat tetap yang sudah final, melainkan selalu berubah seiring berjalannya waktu. Begitu juga makna bukanlah substansi yang tetap, akan tetapi bercirikan historis yang berubah pula lewat waktu.

3. Martin Heidegger (1989-1976) :

Memahami makna tidak bisa tanpa presuposisi dan presuposisi paling mendasar adalah cara bereksistensi manusia, baik sebagai penulis ataupun sebagai pembaca teks. 

Makna menyingkapkan diri kepada pembaca karena memahami bukan proses kognitif belaka, melainkan terkait dengan kondisi eksistensial. 

Dalam arti kebenaran bukanlah korespondensi antara makna teks dan kenyataan, juga bukan koherensi di dalam teks itu sendiri, melainkan peristiwa penyingkapan makna yang berlangsung dalam perjumpaan eksistensial pembaca dan teksnya.

4. Hans Georg Gadamer (1900-2002) :

Memahami suatu teks tidak dapat lepas dari tradisi dan otoritas yang menghasilkan ataupun yang membaca teks itu, maka memahami selalu merupakan hasil peleburan horizon-horizon tradisi, otoritas dan penafsir. Dalam arti ini makna dan kebenaran bergerak Bersama dengan Gerak waktu tradisi dan otoritas.

5. Paul Ricoeur (1913-2005) :

Memahami teks tidak hanya berarti memahami maknanya belaka, melainkan juga menyapa pembacanya untuk berefleksi tentang makna hidup. 

Tugas interpretasi tidak hanya menuntut partisipasi ke dalam makna teks, melainkan juga menjaga jarak, baik secara konsep maupun praktik (distansiasi).

Beranjak dari teori-teori yang dikemukakan tersebut di atas, memang seni memahami atau hermeneutika lahir dalam dunia literalisme. 

Namun, dalam perkembangannya tidak hanya melulu soal teks semata, melainkan masuk ke dimensi keberadaan atau eksistensial. 

Relevansi seni memahami dengan realitas dunia peradilan sekarang ini adalah untuk harmonisasi kehidupan antar aparatur peradilan baik entitas jabatan maupun personal. 

Dilihat dari kacamata hermeneutika modern, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) maupun Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang dikeluarkan Mahkamah Agung, sebenarnya juga memiliki dimensi rekayasa sosial terutama terhadap setiap aparatur peradilan sehingga dalam memaknai yang tersurat maupun tersirat memerlukan hermeneutika agar sesuai dengan kehendak pengaturannya. 

Tulisan ini, mengajak setiap aparatur peradilan mengambil peran aktif yang positif sebagai wujud eksistensi dalam menerjemahkan teks peraturan maupun kebijakan yang dikeluarkan Mahkamah Agung, supaya tidak keluar dari makna yang dikandungnya. 

Semangat kebersamaan dan harmonisasi dalam menjalankan tugas jabatan sangat mampu menunjukkan hermeneutika modern mampu menjadi jembatan penghubung kesenjangan pemahaman dalam bidang maupun dimensi apapun. 

Sekaligus sebagai perenungan apakah selama ini sudah memiliki eksistensi yang baik dalam memaknai setiap teks peraturan yang dikeluarkan ataukah justru masih mencari alat bantu atau batu uji untuk menangkap makna teks peraturan maupun kebijakan dari Mahkamah Agung.