Kita sering berbangga menyebut diri sebagai bangsa religius. Di berbagai kesempatan, nilai-nilai ketuhanan dijunjung tinggi; simbol-simbol agama begitu mudah ditemukan pada ruang publik, bahkan menjadi bagian tidak terpisahkan dari identitas nasional.
Namun, di balik kesalehan simbolik itu, tersimpan ironi yang menggigit. Kepatuhan terhadap hukum, yang sejatinya merupakan manifestasi nilai-nilai moral dan ketuhanan, sering diabaikan.
Ketaatan pada hukum, idealnya jadi wujud konkret dari keimanan yang hidup. Dalam ajaran agama mana pun, kepatuhan terhadap aturan dan larangan merupakan bagian dari ibadah sosial.
Namun di negeri ini, hukum sering dipandang sebagai sesuatu yang bisa dinegosiasikan. Wujudnya tidak diposisikan sebagai pedoman moral publik, tetapi sekadar alat yang bisa digunakan, ketika menguntungkan dan dihindari saat memberatkan.
Fenomena tersebut, tampak jelas dalam perilaku keseharian. Pelanggaran di lampu lalu lintas, pungutan liar di jalan, manipulasi data, hingga praktik korupsi yang menjalar di berbagai level birokrasi adalah potret kecil dari krisis kesadaran hukum.
Ironinya, sebagian pelaku rajin beribadah, tekun mengikuti kegiatan keagamaan, tetapi memisahkan ruang iman dari etika sosial. Seolah agama cukup berhenti di tempat ibadah, sementara urusan hukum boleh berjalan dengan akal dan kepentingan pribadi.
Padahal, negara hukum tidak hanya dibangun, dengan undang-undang dan lembaga penegak hukum, melainkan dengan kesadaran moral warga negaranya. Hukum akan kehilangan daya hidupnya, bila tidak disertai rasa tanggung jawab dan kejujuran.
Tanpa kesadaran itu, ratusan undang-undang hanya akan menjadi tumpukan teks tanpa makna.
Kini saatnya bangsa ini merenung, apakah kita benar-benar telah menjadi negara hukum, atau sekadar negara yang punya banyak hukum? Apakah religiusitas yang kita banggakan telah mengalir dalam perilaku sosial, atau hanya berhenti pada simbol dan retorika?
Negara hukum sejati tidak akan lahir dari pemaksaan aparat atau ancaman sanksi, tetapi dari kesadaran kolektif bahwa menaati hukum adalah bagian dari ibadah, bagian dari kemanusiaan, dan bagian dari tanggung jawab kita sebagai bangsa yang bermartabat. Wallahu a'lam.