Urgensi Memahami KUHP Baru: Transformasi Penegakan Hukum di Indonesoa

Penerapan KUHP nasional akan menyuguhkan perubahan mendasar, baik dalam filosofi, materi, serta prosedur hukum pidana.
Ilustrasi KUHPerdata. Foto www.istockphoto.com
Ilustrasi KUHPerdata. Foto www.istockphoto.com

Pada 2 Januari 2023 secara resmi disahkan KUHP nasional melalui Undang‑Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang‑Undang Hukum Pidana. Pemberlakuan KUHP nasional ini menjadi catatan bersejarah bagi sistem hukum pidana di Indonesia. 

KUHP nasional akan menggantikan produk hukum pidana warisan kolonial (Wetboek van Strafrecht-WvS) yang telah berusia lebih dari satu abad. 

Penerapan KUHP nasional akan menyuguhkan perubahan mendasar, baik dalam filosofi, materi, serta prosedur hukum pidana.

Setiap aparat penegak hukum baik polisi, jaksa, hakim, advokat hingga petugas pemasyarakatan wajib memiliki pemahaman mendalam terhadap regulasi baru. 

Adanya pemahaman di antara aparat penegak hukum ini sebuah keharusan mendesak untuk menjamin keadilan, kepastian hukum, dan transformasi sistem peradilan pidana di Indonesia.

Perubahan Paradigma dan Prinsip Baru

KUHP nasional memperkenalkan sejumlah perubahan mendasar yang secara langsung mempengaruhi cara penegak hukum bekerja. Penting bagi aparat penegak hukum untuk memahami perubahan-perubahan dan menguasai aspek‑aspek di dalamnya untuk mencegah miss‑applied law (kesalahan penerapan hukum):

1. Perubahan Filosofi dan Asas  

KUHP nasional mengubah tujuan pemidanaan dari retributif (pembalasan) menuju restoratif (pemulihan) dan korektif. Hal ini tampak nyata dalam penerapan asas legalitas materiil (Pasal 1) yang memberi ruang bagi hakim untuk menimbang nilai‑nilai hukum yang hidup di masyarakat (living law). 

Aparat penegak hukum tidak lagi cukup hanya mengandalkan teks undang‑undang (lex scripta), melainkan juga wajib memperhitungkan konteks sosial dan budaya setempat, terutama pada tahap penyidikan dan penuntutan.

2. Konsep Pidana yang Berfokus pada Keadilan  

Salah satu perubahan pokok dalam pemidanaan adalah pengenalan pidana kerja sosial dan pidana pengawasan (Pasal 67‑68). Dalam rezim KUHP nasional, pidana penjara dijadikan sebagai langkah terakhir (ultimum remedium).

Aparat penegak hukum khususnya polisi dan jaksa harus mampu menganalisis secara teliti, kasus mana yang layak diselesaikan secara restoratif (melalui mediasi) dan mana yang harus dilanjutkan ke pengadilan dengan rekomendasi pidana alternatif yang lebih berperikemanusiaan. Keputusan penahanan tersangka pun harus lebih teliti.

Sedangkan bagi hakim, terdapat beragam pilihan sanksi yang lebih luas. Oleh karenanya putusan harus lebih kontekstual dan adaptif, tidak semata‑mata berujung pada penahanan fisik.

3. Delik Baru dan Reformasi Delik Lama  

KUHP 2023 mengatur sejumlah tindak pidana baru yang sebelumnya belum ada atau hanya terdapat dalam peraturan sektoral, seperti delik terkait teknologi informasi, tindak pidana korporasi, hingga delik terhadap harkat dan martabat Presiden/Wakil Presiden (yang penuntutannya memerlukan pengaduan). 

Sebaliknya, beberapa delik yang selama ini dianggap biasa seperti perzinaan dan kohabitasi (hidup bersama tanpa ikatan pernikahan), diperketat dengan adanya persyaratan pengaduan mutlak (hanya dapat diadukan oleh suami/istri/orang tua/anak). Hal ini secara signifikan dapat mengubah prosedur penyidikan dan penuntutan.

Tantangan Implementasi dan Masa Transisi

Meskipun KUHP nasional telah disahkan, terdapat masa transisi selama tiga tahun hingga 2026 untuk diberlakukan. 

Dalam masa transisi ini penegakan hukum pidana yang masih beroperasi di bawah rezim KUHP lama, dituntut untuk memahami perubahan yang diatur dalam rezim KUHP nasional. Hal ini berpotensi menimbulkan kebingungan hukum jika tidak diatasi dengan baik.  

Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa seluruh instansi penegak hukum wajib segera menyelenggarakan pelatihan dan sosialisasi secara luas mengenai KUHP nasional. 

Kepolisian harus menyesuaikan kembali Standar Operasional Prosedur (SOP) penyidikan, Kejaksaan harus merevisi pedoman penuntutan, dan Mahkamah Agung harus mengembangkan yurisprudensi baru yang konsisten dengan filosofi KUHP Nasional. 

Kegagalan dalam adaptasi ini akan mengakibatkan ketidakpastian hukum dan berisiko mengganggu proses peradilan, sebagaimana yang sering terjadi ketika ada undang‑undang baru.

Memahami KUHP baru bukan sekadar tugas administratif, melainkan kunci utama untuk memodernisasi wajah penegakan hukum di Indonesia. 

Menggantikan sistem peradilan pidana yang beraroma kolonial, dengan sistem yang berorientasi pada nilai‑nilai keadilan Pancasila. Masa transisi ini adalah uji nyata bagi komitmen instansi penegak hukum untuk menghadirkan wajah aparat penegak hukum yang adil, humanis, dan berbudaya.

Penulis: Fuadil Umam
Editor: Tim MariNews