Antinomi dalam ilmu hukum dikenal dengan pertentangan norma. Pada 1529 ditemukan dalam bahasa latin “antinomia” atau “anti nomos”, dapat diartikan secara harafiah “a contradiction between two apperently equally valid principles or between inferences correctly drawn from such principles” suatu pertentangan atau kontradiksi antara dua hal yang terlihat sama (equally).[1] atau dalam Black’s Law Dictionary dimaknai “antinomia is a term used in logic and law to denote a real apperent inconsistency or conflict between two facts authorities or propositions”.[2]
Restorative Justice telah diatur dalam beberapa peraturan, di Indonesia awalnya diatur dalam UU SPPA tahun 2012 kemudian berkembang dalam tataran praktik dan terakhir Mahkamah Agung telah menerbitkan PERMA Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman mengadili perkara Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif.
Dalam ketentuan umum Perma tersebut mendefinisikan Keadilan Restoratif adalah pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak baik korban, keluarga korban, terdakwa/anak, keluarga terdakwa/anak, dan/atau pihak lain yang terkait, dengan proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan, dan bukan hanya pembalasan.[3]
Restorative Justice atau Keadilan Restoratif merupakan bentuk pendekatan penjatuhan pidana yang memiliki kecenderungan meringankan sampai menghindarkan Terdakwa dari penjatuhan hukuman.
Pertanyaan berikutnya adalah, apakah semua perkara yang diputus dengan pendekatan Restoratif Justice diringankan hukumannya, ataukah ada antinomi dalam prinsip Restoratif Justice?
Dalam tulisan ini Penulis akan mengajak Pembaca menyelami Antinomi dalam prinsip Restoratif Justice tersebut.
Pertama, opini ini bermula dari beberapa persidangan dalam pemeriksaan sidang yang diperiksa oleh Penulis, dimana Penulis yang saat ini bertugas di Pengadilan Negeri Muara Enim bertanya kepada Terdakwa, “Kenapa mengulangi tindak pidana, apakah lebih senang di dalam Lembaga Pemasyarakatan dibanding dengan bebas di luar Lapas?”
Terdakwa tersebut menjawab dengan tenang “Iya Pak di dalam lapas saya bisa makan rutin.”
Kedua, pada 2021 saat bertugas di Pengadilan Negeri Bontang, Penulis pernah memeriksa dan mengadili perkara Anak, di mana Anak Pelaku melakukan tindak pidana untuk kedua kalinya, Penulis bertanya kepada Anak Pelaku tersebut “Kenapa kamu melakukan pencurian lagi?” Anak Pelaku menjawab dengan ragu “Saya tidak punya uang dan pekerjaan, keluarga saya butuh makan.”
Ketiga, pada awal 2025 saat masih bertugas di Pengadilan Negeri Bontang, penulis memeriksa dan mengadili perkara kekerasan dalam rumah tangga, dimana seorang Ibu tunggal tanpa suami terbukti melakukan kekerasan ringan berupa mencubit sampai kemerahan dan lecet bagian dada anaknya yang berusia 7 tahun.
Hal itu menyebabkan masyarakat resah melihat seorang Ibu bersikap kasar kepada 5 anaknya, utamanya anak tertuanya yang berusia 7 tahun.
Kemudian Penulis bertanya kepada Terdakwa Ibu yang sedang hamil tersebut “saudara hamil berapa bulan?” dijawab “Sembilan bulan pak,” Penulis bertanya kembali “Pekerjaanmu apa?” dijawab “Maaf pak, saya pekerja seks komersial.”
Kemudian Penulis menyempatkan bertanya kepada Anak Korban “Kamu memaafkan Ibumu?” dijawab dengan tangis “Iya Pak, saya mau Ibu tetap di rumah jangan ditangkap”
Penulis meneruskan “Kamu sehari makan berapa kali?” dijawab ragu oleh anak korban “Dua kali.” Lalu Penulis bertanya lagi “Lauknya apa?” dijawab oleh Anak Korban “Nasi dengan telur atau mie instan,”
Penulis melanjutkan “Telurnya berapa satu anak?” anak korban dengan ragu menjawab “1 telur dibagi serumah, dengan nasi setiap makannya ditambah garam dan kecap.”
Pada dua perkara dalam pembahasan di atas tersebut Penulis menjatuhkan pidana pembinaan dalam lembaga dan penjara. Meskipun Saksi Korban telah memaafkan perbuatan Anak Pelaku pada perkara pencurian oleh Anak, di lain sisi Anak Korban telah memaafkan ibunya, yang saat itu menjadi Terdakwa pada perkara KDRT.
Penjatuhan pidana tersebut bukan semata-mata membalaskan dendam atau memberikan nestapa kepada Anak Pelaku dan Terdakwa. Pertimbangan utama dari Penulis saat itu adalah memberikan perlindungan kepada Anak Pelaku yang tidak dapat melanjutkan pendidikannya karena dia dipaksa bekerja oleh orang tuanya, sehingga hukuman berupa Pembinaan dalam Lembaga dapat mengantar Anak Pelaku tersebut mengejar paket pendidikan yang telah ia tinggalkan.[4]
Sedangkan pada perkara KDRT tersebut Terdakwa merupakan seorang Ibu yang sedang hamil 9 bulan dan tidak memiliki pekerjaan tetap.
Perbuatan kasarnya disebabkan karena tidak adanya penghasilan untuk membeli makan, apalagi untuk proses persalinan, sehingga Penulis dan Majelis pemeriksa perkara menjatuhkan pidana penjara selama 1 bulan dengan maksud melindungi Terdakwa yang semakin dekat dengan waktu persalinannya, sehingga bisa bersalin di Lembaga Pemasyarakatan, membawa 2 anak lainya yang masih di bawah 2 tahun di Lapas dan mendapat bantuan berupa susu anak dari Lembaga Pemasyarakatan tersebut.[5]
Begitulah gambaran perkara yang dihadapi Penulis, dimana dari pengalaman tersebut, Penulis sampai pada kesimpulan antinomi dari prinsip Restorative Justice atau prinsip Keadilan Restoratif tidak sekedar meringankan atau menghindarkan Terdakwa atau Anak Pelaku dari penjatuhan hukuman.
Lebih dari itu sebagian orang diluar sana sudah bersyukur bisa makan rutin meskipun harus dihukum dan berada dibalik jeruji besi (Lapas).
Penulis secara konseptual tidak seratus persen menjadikan putusan tersebut diatas sebagai acuan yang dapat diterapkan pada setiap kasus (karena kasuistik).
Hal tersebut sejalan dengan antinomia atau pertentangan antara asas kepastian dan asas kemanfaatan hukum, sehingga memutar balik teori pembalasan mendekati ke arah prinsip keadilan restoratif. Karena hemat Penulis apabila mengurangi hukuman sampai dengan membebaskan Anak Pelaku dan Terdakwa tersebut, tidak akan memulihkan atau menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi, bahkan berpotensi menjadi tindak pidana yang lebih besar lagi.
Pada ujungnya Anak Pelaku dan Terdakwa tersebut telah diupayakan oleh seberkas putusan Pengadilan untuk mendapatkan pemulihan harkat hidupnya, bukan hanya pembalasan atau sekedar pembiaran ataupun penelantaran oleh Negara.
Daftar Pustaka
[1] Zainal Arifin Mochtar dan Eddy O.S Hiariej, Dasar- Dasar Ilmu Hukum. 2021.
[2] Henry Campbell Black, (et.al), Black’s Law Dictionary : Definitions of the Terms and Phrases of American Law and English Jurisprudence, Ancient and Modern, 6th Edition, St. Paul; West Publishing, 1990.
[3] Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman mengadili perkara Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif.
[4] Putusan Nomor XX/Pid.Sus-Anak/2021/PN Bon.
[5] Putusan Nomor XXX/Pid.Sus/2024/PN Bon.





