MARINews, Pangkalan Balai — Pengadilan Negeri Pangkalan Balai kembali menunjukkan komitmennya dalam menyelesaikan perkara melalui metode pendekatan Restorative Justice (RJ), kali ini dalam perkara penganiayaan terhadap seorang tahanan yang dilakukan oleh seorang oknum polisi di wilayah Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.
Perkara pidana yang terdaftar pada Nomor: 258/Pid.B/2025/PN Pkb ini bermula saat korban yang menjadi tahanan sedang mengikuti pemeriksaan kesehatan oleh Tim Kesehatan Polres Banyuasin.
Kemudian, korban dilakukan pemeriksaan kesehatan dan diberi obat oleh tim kesehatan tersebut. Pada saat diberi obat, tidak sengaja obat tersebut terjatuh ke lantai sehingga korban kembali meminta obat kepada salah satu tim kesehatan. Selanjutnya, salah satu tim kesehatan dan perawat mengganti obat korban dengan yang baru.
Setelah menerima obat tersebut, korban kembali ke ruang tahanan yang digiring oleh terdakwa dan petugas keamanan lainnya.
Saat menuju ke ruang tahanan, terdakwa dan korban berseteru. Terdakwa kemudian memukul korban dengan menggunakan kedua tangannya berkali-kali ke arah kepala korban, tepatnya pada bagian pelipis mata sebelah kanan dan bagian kepala samping kiri korban, serta pada bagian tubuh, yakni bagian dada korban. Terdakwa juga menarik baju korban hingga robek.
Sebelum perkara tersebut didaftarkan, upaya perdamaian antara korban dan keluarganya, serta terdakwa dan keluarganya telah beberapa kali dilakukan, namun belum membuahkan hasil.
Melihat kondisi tersebut, Majelis Hakim PN Pangkalan Balai yang diketuai oleh Norma Oktaria, S.H., M.H., dan para Hakim Anggota Ronal Roges Simorangkir, S.H., M.H., serta Ahmad Ghali Pratama, S.H., menginisiasi dan memfasilitasi upaya perdamaian antara terdakwa dan keluarganya beserta korban dan keluarganya di persidangan sebagaimana Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Dalam pelaksanaan upaya perdamaian tersebut, terdakwa telah mengakui seluruh rangkaian perbuatannya yang melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap korban.
Terdakwa telah meminta maaf kepada korban dan keluarganya atas perbuatan yang telah dilakukannya, yang mengakibatkan korban mengalami luka. Korban pun telah memaafkan terdakwa. Antara terdakwa dan korban juga telah sepakat terkait ganti rugi dengan pemberian uang sejumlah Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Pada pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa tujuan mengadili perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif salah satunya adalah memulihkan korban tindak pidana dan memulihkan hubungan antara terdakwa, korban, dan masyarakat.
Penerapan keadilan restoratif tidak bertujuan untuk menghapuskan pertanggungjawaban pidana. Terlebih, menurut Majelis Hakim, terdapat alasan yang memberatkan bagi terdakwa, yakni mengingat profesi terdakwa selaku aparat penegak hukum yang seharusnya menjadi pengayom dan pelindung masyarakat, namun justru melakukan tindak pidana yang bertentangan dengan nilai-nilai lembaga Kepolisian Republik Indonesia.
Kesepakatan perdamaian kemudian ditandatangani secara tertulis di hadapan Majelis Hakim dan Jaksa Penuntut Umum, serta disaksikan oleh keluarga dari kedua belah pihak. Suasana haru menyelimuti ruang sidang ketika terdakwa berjabat tangan sambil menyampaikan permohonan maaf yang tulus kepada korban.
Dengan kebesaran hati, korban menerima permohonan maaf tersebut dan menyatakan perdamaian, menandai berakhirnya pertikaian yang bermula dari balik jeruji besi tersebut.
Dalam perkara a quo, Majelis Hakim menjatuhkan putusan yang dibacakan pada 11 November 2025, yang amarnya pada pokoknya sebagai berikut:
Menyatakan terdakwa Mgs. Achmad Hendra, S.H., bin Mgs. Husni Ahmad tersebut di atas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penganiayaan” sebagaimana dalam Dakwaan Tunggal Penuntut Umum.
Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan.





