Mekanisme keadilan restoratif telah menjadi pilihan alternatif penyelesaian perkara pidana di Indonesia. Mekanisme ini telah diterapkan di berbagai tahap penyelesaian perkara.
Penerapan keadilan restoratif secara luas tidak terlepas dari berbagai aturan yang diterbitkan oleh masing-masing institusi penegak hukum. Di lingkungan pengadilan mekanisme keadilan restoratif diterapkan berpedoman pada Perma Nomor 1 Tahun 2024.
Terbitnya Perma 1/2024 tidak terlepas dari perkembangan sistem pemidanaan yang dituntut tidak hanya bertumpu pada penghukuman, melainkan mengarah pada penyelarasan kepentingan pemulihan korban dan pertanggungjawaban terdakwa melalui pendekatan keadilan restoratif yang belum diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 atau KUHAP lama.
Di tengah gencarnya praktek keadilan restoratif di lingkungan pengadilan, DPR dalam rapat paripurna, Selasa (18/11) mengesahkan RUU KUHAP yang mulai berlaku tanggal 2 Januari 2026.
Dalam naskah RUU KUHAP yang diterima penulis telah diatur ketentuan mengenai keadilan restoratif.
Pengaturan keadilan restoratif dalam RUU KUHAP tentu akan berdampak pada penerapan keadilan restoratif. Terlebih Pasal 2 ayat (1) RUU KUHAP yang menegaskan acara pidana dilaksanakan hanya berdasarkan tata cara yang diatur dalam undang-undang.
Dalam tulisan ini, penulis akan menguraikan secara singkat mengenai beberapa aspek keadilan restoratif yang diatur dalam Perma 1/2024 dan RUU KUHAP.
Kriteria Perkara Keadilan Restoratif
Keadilan restoratif di pengadilan diterapkan dalam perkara tindak pidana tertentu. Terdapat kriteria tertentu yang harus dipenuhi untuk penerapan mekanisme keadilan restoratif.
Perma 1/2024 menetapkan 5 kriteria perkara yang dapat diadili dengan mekanisme keadilan restoratif dan 3 kriteria batasan perkara yang tidak dapat diterapkan keadilan restoratif.
Adapun RUU KUHAP mengatur 3 kriteria perkara yang dapat dilakukan mekanisme keadilan restoratif, dan 9 jenis pengecualiannya.
Tabel 1. Syarat Perkara Keadilan Restoratif

Tabel 2. Pengecualian Perkara Keadilan Restoratif

Dari tabel perbandingan tersebut, terdapat perbedaan kriteria perkara keadilan restoratif dalam Perma 1/2024 dan RUU KUHAP, salah satunya adalah kriteria dalam RUU KUHAP telah menyesuaikan dengan formulasi pemidanaan baru yang diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP sedangkan kriteria Perma 1/2024 masih mengacu pada formulasi pemidanaan KUHP kolonial.
Penyusunan kriteria RUU KUHAP yang mengacu pada formulasi pemidanaan baru dalam KUHP 2023 akan memudahkan bagi hakim untuk memilah, perkara mana yang dapat dilakukan diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif dan yang sebaliknya.
Namun demikian, penulis berpendapat bahwa kriteria “terdapat Relasi Kuasa” sebagai pengecualian yang diatur Perma 1/2024 tetap diperlukan.
Pengecualian ini penting mengingat adanya potensi kesepakatan perdamaian yang dipaksakan oleh salah satu pihak mana kala terdapat ketimpangan kuasa. Apabila terjadi kesepakatan perdamaian yang dipaksakan, maka korban hanya akan mengalami reviktimisasi sebagai akibat penerapan keadilan restoratif.
Bentuk Pemulihan
Mekanisme keadilan restoratif di pengadilan dalam Perma 1/2024 dan RUU KUHAP sama-sama dilaksanakan melalui putusan hakim. Namun terdapat perbedaan pada bentuk pemulihannya.
Perma 1/2024 menentukan pemulihan berupa pemulihan kerugian korban dan/atau pemulihan hubungan antara terdakwa, korban, dan masyarakat melalui kesepakatan perdamaian yang tercapai sebelum persidangan maupun kesepakatan perdamaian yang tercapai di persidangan.
Pasal 18 ayat (1) Perma 1/2024 menentukan kesepakatan perdamaian dapat berupa terdakwa mengganti kerugian, terdakwa melaksanakan suatu perbuatan dan/atau terdakwa tidak melaksanakan suatu perbuatan.
Selanjutnya hakim memeriksa kesepakatan perdamaian tidak boleh bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan, tidak melanggar hak asasi manusia, tidak merugikan pihak ketiga, dan harus dapat dilaksanakan.
RUU KUHAP mengatur bentuk pemulihan yang lebih spesifik. Terdapat 6 bentuk pemulihan berupa pemaafan dari korban dan/atau keluarganya, pengembalian barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada korban, penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis, ganti rugi atas kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat tindak pidana yang dialami korban, memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana yang dialami korban, atau membayar ganti rugi yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana, yang harus dituangkan dalam kesepakatan. RUU KUHAP tidak mengatur kewajiban hakim untuk memeriksa kesepakatan perdamaian.
Penulis berpendapat bahwa pemeriksaan isi kesepakatan perdamaian oleh hakim penting dilakukan untuk mencegah timbulnya permasalahan baru disebabkan penerapan kesepakatan perdamaian yang dibuat.
Kesepakatan perdamaian juga tidak boleh memberikan celah hukum pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mengambil manfaat secara melawan hukum.
Acara Pemeriksaan Keadilan Restoratif
Perma 1/2024 mengatur tata cara persidangan keadilan restoratif dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 20. Diantaranya dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 20 yang mengatur pedoman mengadili perkara keadilan restoratif yang menimbulkan korban.
Adapun RUU KUHAP hanya mengatur mekanisme keadilan restoratif di pengadilan dalam Pasal 87 RUU KUHAP pada pokoknya mengatur bahwa tahap pemeriksaan di sidang pengadilan melalui Putusan Pengadilan dan pelaksanaan Putusan Pengadilan serta Pasal 88 yang mendelegasikan pengaturan pelaksanaan mekanisme keadilan restoratif dalam Peraturan Pemerintah.
Penulis berpendapat bahwa tata cara mengadili keadilan restoratif dalam Perma 1/2024 dapat diadopsi ke dalam rancangan Peraturan Pemerintah sebagaimana pelaksanaan Pasal 88 RUU KUHAP.
Setidaknya ada 2 alasan yang melandasinya, pertama ketentuan Perma 1/2024 telah diterapkan secara luas dan masif di lingkungan pengadilan di Indonesia, sehingga para hakim sudah familiar dengan mekanisme beracaranya.
Kedua, Perma 1/2024 telah mengatur secara terperinci acara pemeriksaan di pengadilan, hal mana sejalan dengan pernyataan Eddy Hiariej selaku Wakil Menteri Hukum dalam acara Perisai Badilum (2/12) bahwa beberapa ketentuan dalam RUU KUHAP telah mengadopsi ketentuan Perma dengan alasan bahwa pengaturan dalam Perma sudah cukup detail, antara lain ketentuan mengenai pidana korporasi yang diadopsi dari Perma ke RUU KUHAP.
Namun demikian, penulis berpendapat pengaturan acara pemeriksaan keadilan restoratif dalam rancangan Peraturan Pemerintah pelaksanaan RUU KUHAP juga perlu mengatur mekanisme keadilan restoratif terhadap perkara tindak pidana tanpa korban, yang belum diatur dalam Perma 1/2024.
Hal ini penting mengingat RUU KUHAP membuka ruang penyelesaian tindak pidana tanpa korban melalui keadilan restoratif.
Sebagaimana Pasal 82 huruf i RUU KUHAP memberikan peluang penyelesaian tindak pidana narkotika yang berstatus sebagai pengguna atau penyalahguna melalui mekanisme keadilan restoratif.
Pengaturan yang jelas ini selain menjamin kesatuan penerapan hukum oleh hakim di pengadilan dalam melakukan mekanisme keadilan restoratif terhadap tindak pidana tanpa korban, juga dapat meminimalisir ruang gelap transaksional yang dapat dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Penutup
Pemberlakuan RUU KUHAP dapat memperkuat praktek keadilan restoratif di lingkungan pengadilan melalui penyesuaian kriteria perkara menyesuaikan formulasi pemidanaan dalam KUHP 2023 dan bentuk pemulihan yang lebih spesifik.
Namun demikian, diperlukan pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana amanat Pasal 88 RUU KUHAP, diantaranya pengaturan mengenai kriteria “terdapat Relasi Kuasa” sebagai alasan pengecualian, kewajiban hakim untuk memeriksa kesepakatan perdamaian tidak boleh bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan, tidak melanggar hak asasi manusia, tidak merugikan pihak ketiga, dan harus dapat dilaksanakan, pengadopsian tata cara mengadili keadilan restoratif dalam Perma 1/2024, serta menambahkan pengaturan ketentuan tata cara mengadili keadilan restoratif dalam perkara tindak pidana tanpa korban.
Penulis berharap dengan adanya pengaturan lebih lanjut mekanisme keadilan restoratif dalam Peraturan Pemerintah dapat memperkuat praktek baik keadilan restoratif yang sudah diterapkan di lingkungan pengadilan, yang pada akhirnya dapat menghasilkan putusan yang sesuai dengan nilai keadilan yang hidup di tengah masyarakat.





