Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sambas Fasilitasi Restorative Justice : Penganiayaan Berakhir Damai

Perkara ini bermula dari tindakan penganiayaan yang dilakukan Terdakwa terhadap korban Ilham pada 17 Juli 2025 di Desa Suah Api, Jawai Selatan.
Penerapan restoratie justice di PN Sambas. Foto : Dokumentasi PN Sambas
Penerapan restoratie justice di PN Sambas. Foto : Dokumentasi PN Sambas

MARINews, Sambas – Pengadilan Negeri (PN) Sambas kembali menunjukkan peran aktif dalam mengedepankan penyelesaian perkara melalui pendekatan restorative justice (RJ). Dalam perkara penganiayaan Nomor 210/Pid.B/2025/PN Sbs dengan Terdakwa Rustam Aspaga alias Ketok, Majelis Hakim berhasil mendamaikan Terdakwa dan Korban, yang kemudian perdamaian tersebut dijadikan dasar dalam memutus perkara tersebut, Rabu, 26 November 2025.

Perkara ini bermula dari tindakan penganiayaan yang dilakukan Terdakwa terhadap korban Ilham pada 17 Juli 2025 di Desa Suah Api, Jawai Selatan. Terdakwa memukul dan menendang korban karena dipicu rasa cemburu. Akibatnya, korban mengalami luka memar, lecet, hingga kuku kaki terlepas.

Dalam persidangan, Majelis Hakim yang diketuai Akhmad Fajar Adi Nugroho, S.H., dengan Hakim Anggota Avita Nendy Falief Yolanda, S.H. dan Dhimas Adit Wicaksono, S.H., mengambil langkah proaktif untuk membuka ruang dialog antara korban dan terdakwa. Majelis menilai perkara ini memenuhi kriteria RJ sebagaimana diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2024, sehingga Majelis Hakim mengupayakan jalan RJ.

Pada 16 Oktober 2025, setelah proses persidangan yang intens, Majelis memfasilitasi kedua belah pihak untuk menyampaikan perasaan, keberatan, dan harapan mereka secara terbuka. Dari proses itu, korban menyatakan kesediaannya memaafkan, sementara Terdakwa berjanji tidak mengulangi perbuatannya, sehingga tercapailah perdamaian diantara kedua belah pihak yang ditandatangani di hadapan Majelis Hakim.

Selanjutnya pada tanggal 26 November 2025, Majelis Hakim menjatuhkan Putusan yang dalam pertimbangannya, Majelis menyatakan bahwa pengadilan bukan hanya tempat menghukum, tetapi juga ruang memulihkan keretakan sosial. Majelis secara tegas menyebutkan bahwa RJ dipilih bukan untuk meringankan hukuman semata, melainkan untuk mengembalikan hubungan sosial yang rusak akibat tindak pidana.

“Pemidanaan tidak hanya berorientasi pada pembalasan, tetapi pada pemulihan korban, pelaku, dan masyarakat,” demikian pertimbangan Majelis Hakim yang dituangkan dalam putusan.

Majelis menilai kondisi antara korban dan terdakwa telah kembali pulih (restitutio in integrum), sehingga penyelesaian berbasis pemulihan layak diterapkan. Namun, demi edukasi hukum dan kepastian bagi masyarakat, pidana tetap dijatuhkan namun lebih ringan yakni pidana penjara 5 bulan terhadap Terdakwa, dikurangkan seluruhnya dari masa penahanan dan memerintahkan terdakwa tetap ditahan.

“Menyatakan Terdakwa Rustam Aspaga Alias Ketok Bin Aspaga tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Penganiayaan sebagaimana dalam dakwaan primair Penuntut Umum, Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan,” Ucap Ketua Majelis.

Terhadap Putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Sambas Cabang Pemangkat, Ayu Putri Asmaradita, S.H. menyatakan pikir-pikir sedangkan Terdakwa menerima putusan tersebut.

Penerapan RJ dalam perkara ini mempertegas komitmen PN Sambas untuk menyelaraskan hukum dengan nilai kemanusiaan dan pemulihan hubungan sosial. Upaya aktif Majelis Hakim mendorong perdamaian merupakan praktik baik dalam mewujudkan peradilan yang lebih humanis dan berorientasi pada pemulihan.