Beyond ITE: Strategi Adaptif Menanggulangi Judi Online melalui TPPU dan Penanganan Adiksi

Judi online merupakan aktivitas taruhan atau permainan yang dilakukan melalui internet, di mana uang atau barang berharga dipertaruhkan
Ilustrasi judi online. Foto : Freepik
Ilustrasi judi online. Foto : Freepik

Judi online (judol) saat ini telah menjadi wabah baru yang membayangi rakyat Indonesia dan berkembang menjadi permasalahan nasional, karena menimbulkan dampak serius terhadap ketertiban umum, moralitas masyarakat, stabilitas ekonomi serta kedaulatan hukum negara. 

Perkembangan teknologi yang melaju  pesat, ditambah dengan semakin luasnya wilayah yang sudah terhubung dengan jaringan internet, memungkinkan siapapun dapat mengakses judi online dengan mudah. 

Judi online merupakan aktivitas taruhan atau permainan yang dilakukan melalui internet, di mana uang atau barang berharga dipertaruhkan dengan harapan mendapatkan keberuntungan dan keuntungan. 

Judi online kerap dikemas menyerupai permainan daring  seperti permainan kasino virtual (slot, poker, roulette), live casino, hingga taruhan olahraga. 

Seluruh permainan tersebut dapat diakses dengan sangat mudah tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu melalui berbagai perangkat seperti telepon pintar, tablet, maupun komputer. 

Data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan, pada 2023 terdapat 3,79 juta orang pemain judi online dengan perputaran uang sebesar Rp327 triliun. 

Pada 2024 jumlah pemain meningkat menjadi 9,78 juta orang dengan perputaran uang sebesar 359,8 triliun rupiah. 

Sementara  itu, pada semester I (pertama) 2025 terdapat 3,11 juta pemain dengan nilai transaksi mencapai Rp99,6 triliun.

Mirisnya, 70%-80% judi online memiliki penghasilan kurang dari Rp5 Juta per bulan, dan banyak di antara mereka yang terjebak dengan pinjaman online untuk membiayai permainan.

Pada 2023 terdapat 2,4 juta pemain yang melakukan pinjaman online, jumlah tersebut meningkat menjadi 3,8 juta pemain pada 2024.

Fenomena peningkatan jumlah pemain judi online tidak lepas dari pola penyebaran dan godaan yang menyerupai taktik adiksi serius. 

Pola penyebaran judi online dan cara menarik minat orang untuk ikut bermain menyerupai pola penyebaran narkoba. 

Masyarakat digoda untuk mencoba mengikuti permainan judi online dengan diiming-imingi keuntungan/kemenangan dengan cara yang mudah pada awal bermain. 

Namun, apabila sudah terpancing dan jumlah uang yang dipertaruhkan semakin besar, maka probabilitas kemenangan akan menjadi sangat kecil hingga mendekati nol persen. 

Ketergantungan ini kemudian berkembang menjadi kecanduan yang memengaruhi kondisi mental pemain, sehingga menjadikannya sulit untuk menghentikan perilaku berjudi.

Kementerian Kesehatan dalam publikasinya menyatakan, kecanduan judi online membawa dampak signifikan terhadap kesehatan mental.  

Dimana fenomena ini dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi Kelima (DSM-5)  diklasifikasikan sebagai gangguan perjudian (gambling disorder).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melalui ICD juga menegaskan bahwa gangguan perjudian biasanya terjadi bersamaan dengan gangguan akibat penggunaan zat (disorders due to substance use), gangguan suasana hati (mood disorder), gangguan kecemasan atau gangguan terkait ketakutan (anxiety or fear-related disorders), dan gangguan kepribadian (personality disorder).

Untuk mencegah penyebaran judi online, pemerintah terus berupaya keras dalam menangani judi online. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) sejak 2017 hingga November 2025 telah memblokir lebih dari 7 juta situs judi online. 

Namun, upaya tersebut belum mampu menahan laju perkembangan judi online di Indonesia akibat modus operandi pelaku judi online  yang semakin berkembang dengan melibatkan jaringan lintas negara dengan berbagai kluster yang dirancang agar sulit terdeteksi. 

Tingginya populasi penduduk Indonesia, menurut data BPS per September 2025 mencapai 287,6 juta jiwa. Menjadikan negara ini sebagai pangsa pasar yang sangat menggiurkan bagi pelaku judi online untuk beroperasi. 
 
Dalam ekosistem bisnis ilegal tersebut terdapat kluster pembuat rekening (nominee) yang bertugas menyediakan rekening bank, e-wallet atau akun merchant. 

Rekening-rekening tersebut kemudian dikumpulkan dan dioperasikan oleh kluster operator yang berada di luar negeri.

Selain itu, terdapat kluster pemasaran yang juga beroperasi dari luar negeri, bertugas melakukan promosi secara masif melalui media sosial, spamming, dan rekrutmen pemain. 

Para pelaku judi online biasanya menyediakan call center atau chat support berbahasa Indonesia untuk memudahkan interaksi dengan pemain dan menumbuhkan kepercayaan guna memperluas basis pengguna. 

Penyelenggaraan judi online secara keseluruhan dilakukan oleh kluster operator/penyelenggara yang menjalankan server situs judi online, mengelola platform transaksi, dan melakukan sistem pencucian uang. Mereka umumnya beroperasi dari negara-negara yang memiliki pengaturan dan pengawasan rendah terhadap praktik judi online.

Dalam penegakan hukum, Aparat Penegak Hukum (APH) merujuk pada ketentuan dalam UU ITE yang terakhir diubah dengan UU 1/2024. 

Pasal 27 ayat (2) UU 1/2024 menyatakan: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.”

Penjelasan pasal tersebut menerangkan, ketentuan ini mengacu pada praktik menawarkan atau memberikan kesempatan bermain judi, menjadikannya mata pencaharian, menawarkan kesempatan bermain kepada umum, serta turut serta dalam perusahaan untuk tujuan tersebut.

Sanksi hukum bagi pelaku judi online diatur dalam Pasal 45 ayat (3) UU 1/2024, yaitu pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp10 Miliar.

Namun, patut diingat, hukum positif Indonesia tidak dapat ditemukan atau ditentukan definisi serta unsur-unsur mengenai judi online secara jelas. 

Hal ini kemudian bisa dimanfaatkan sebagai celah pelaku judi online untuk terlepas dari jeratan hukum. 

Selain itu, regulasi yang ada saat ini belum secara spesifik mengatur kompleksitas judi online modern, seperti perjudian daring melibatkan teknologi yang kompleks (penggunaan cloud computing, VPN, cryptocurrency, dan blockchain).  

Hal ini menjadi salah satu hambatan bagi APH dalam penegakan hukum. Kecepatan adaptasi regulasi sering tertinggal dengan inovasi pelaku judi online.

Lalu upaya apa saja yang perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan terhadap judi online? 

Dalam upaya memberantas penyebaran judi online dibutuhkan sinergisme antar lembaga terkait. 

Pemerintah telah melakukan berbagai langkah positif untuk membatasi hal tersebut, antara lain adalah melalui penyusunan kebijakan yang lebih terperinci dan sesuai dengan perkembangan praktik judi online saat ini. 

Selain itu, Kominfo dan PPATK juga melakukan pengawasan ketat terhadap aktivitas situs serta transaksi keuangan yang dicurigai mengarah pada judi online.

Sejalan dengan itu, agar penegakan hukum terhadap pelaku judi online berjalan lebih efektif, maka diperlukan  peningkatan kemampuan teknis dan pemahaman bagi hakim dan jaksa mengenai seluk-beluk teknologi digital, blockchain, dan transaksi elektronik yang menjadi ciri khas judi online. 

Penguatan kapasitas ini menjadi penting untuk mencegah terjadinya kesalahan terhadap pertimbangan hukum akibat keterbatasan pengetahuan teknologi.

Mahkamah Agung selama ini telah menjatuhkan hukuman bagi pelaku judi online, baik terhadap penyelenggara maupun pemain. 

Berdasarkan data dari Direktori Putusan Mahkamah Agung (MA), penanganan kasus perjudian daring di tingkat peradilan Indonesia menunjukkan pola penegakan hukum yang konsisten, terutama dalam menggunakan landasan hukum khusus (UU ITE). 

Hukuman yang diberikan secara umum berupa pidana penjara beserta denda yang lama dan jumlahnya bervariasi. 

Meskipun sanksi dalam UU ITE cukup tinggi, akan tetapi tidak memberikan efek jera bagi penyelenggara karena mampu membayar denda. 

Oleh karena itu, perlu dilakukan pemberian hukuman lebih berat yaitu dengan penegakan hukum lebih fokus pada pelacakan dan perampasan aset (termasuk aset digital/kripto) yang diperoleh dari aktivitas judi online (melalui UU Tindak Pidana Pencucian Uang).

Merujuk Nevada Revised Statutes (NRS) 458A.200 yang memberikan wewenang kepada pengadilan di Negara Bagian Nevada, untuk menetapkan program rehabilitasi atau pengobatan bagi individu yang mengalami gangguan adiktif akibat perjudian, sebagai bagian dari penyelesaian perkara pidana atau perdata. 

Peraturan ini memungkinkan pelaku judi online untuk mendapatkan penanganan rehabilitatif guna menyembuhkan ketergantungannya.  

Tujuan dari peraturan ini adalah untuk memberikan alternatif terhadap hukuman penjara, dengan fokus kepada pengobatan dan rehabilitasi dalam rangka mengatasi akar permasalahan adiksi mereka terhadap perjudian. 

Apa yang dilakukan oleh negara bagian Nevada kiranya dapat diterapkan di Indonesia kepada pelaku judi online yang berada dalam tahap adiksi, sebagai bagian dalam upaya pemberantasan judi online. 

APH (polisi atau jaksa) sebelum mengajukan perkara ke pengadilan dapat melakukan assessment terlebih dahulu sehingga dapat diketahui proses hukum yang perlu dilakukan.

Upaya rehabilitasi yang dilakukan bisa dilakukan melalui kerja sama dengan fasilitas pelayanan Kesehatan maupun dengan lembaga pendidikan keagamaan dan tokoh masyarakat.

Pemberantasan judi online tidak lagi sekadar masalah penindakan hukum, melainkan upaya mendesak untuk mengatasi krisis kesehatan mental dan stabilitas ekonomi yang melibatkan jutaan rakyat Indonesia. 

Data di atas menunjukkan, triliunan rupiah yang berhasil dikeruk oleh judi online dengan jutaan korban adiksi adalah bukti bahwa tantangan ini membutuhkan sinergisme total antara penegak hukum, regulator, dan penyedia layanan kesehatan. 

Solusi ke depan harus berpijak pada dua pilar utama, pertama, reformasi hukum yang adaptif terhadap semakin canggihnya teknologi informatika seperti blockchain dan cryptocurrency, dan didukung dengan peningkatan kapasitas teknis APH terhadap hal tersebut.
 
Kedua, perlunya implementasi pendekatan rehabilitatif yang manusiawi, mencontoh model seperti NRS 458A.200 Nevada, agar korban adiksi mendapatkan pengobatan, bukan sekadar hukuman. 

Hanya dengan melihat masalah ini secara menyeluruh dan bertindak secara terintegrasi dengan mengobati korban dan memutus rantai kejahatan siber, maka Indonesia dapat membebaskan diri dari jerat wabah digital ini. 

Penulis: Yopi Ananda
Editor: Tim MariNews