Ketika Komisi III DPR RI mengesahkan dua hakim perempuan yaitu Lailatul Arofah dan Muhayah sebagai Hakim Agung di Kamar Agama, gema kesetaraan bergema dari ruang rapat parlemen hingga lembaga peradilan.
Momen itu bukan sekadar penambahan figur di puncak lembaga yudikatif, melainkan sebuah tonggak sejarah hadirnya perempuan dalam puncak pengambilan keputusan keagamaan di tingkat nasional.
Dalam konteks peradilan agama yang selama ini identik dengan dominasi laki-laki, langkah ini memancarkan harapan baru bahwa keadilan tidak pernah tunggal jenis kelaminnya.
Dalam perspektif teori mubadalah yang digagas oleh Faqihuddin Abdul Kodir, hubungan laki-laki dan perempuan dalam Islam semestinya dibangun atas dasar kesalingan (mutuality), bukan subordinasi.
Laki-laki dan perempuan adalah dua kutub kemanusiaan yang saling membutuhkan, saling menegakkan, dan bersama-sama memikul amanah keadilan.
Ketika dua hakim perempuan kini menempati kursi tertinggi di Kamar Agama, sesungguhnya mereka sedang menghadirkan wajah Islam yang berkeadilan dan berkesalingan itu dalam praksis kelembagaan.
Kehadiran mereka juga menegaskan bahwa peradilan agama bukan semata ruang tafsir hukum, tetapi juga ruang tafsir nilai kemanusiaan.
Di tengah arus digitalisasi dan tantangan moral modern, keadilan yang berpihak pada kesalingan menjadi kebutuhan mendesak.
Teori mubadalah memberi kerangka berpikir baru bahwa setiap keputusan hukum, setiap amar putusan, sejatinya harus lahir dari dialog nurani antara rasionalitas dan empati—dua hal yang tidak mengenal batas gender
Kesalingan sebagai Paradigma Keadilan
Dalam tradisi hukum Islam klasik, banyak tafsir yang menempatkan laki-laki sebagai pusat otoritas, sementara perempuan kerap menjadi objek dari keputusan hukum. Namun, paradigma ini mulai bergeser seiring munculnya kesadaran baru tentang justice for all bahwa keadilan bukan milik jenis kelamin tertentu.
Di sinilah teori mubadalah tampil sebagai jembatan antara teks dan konteks, antara hukum dan kemanusiaan. Ia mengajarkan bahwa setiap relasi, termasuk relasi hukum, harus berdiri di atas asas kesalingan (mutual respect dan mutual responsibility).
Prinsip kesalingan ini menemukan relevansinya dalam dunia peradilan agama. Sebagai institusi yang menegakkan hukum berbasis nilai-nilai Islam, peradilan agama tidak boleh terjebak pada paradigma patriarkal yang memisahkan antara “hakim laki-laki yang berwenang” dan “hakim perempuan yang sekadar pelengkap.”
Pengangkatan dua hakim agung perempuan di Kamar Agama menjadi bukti bahwa integritas dan kapasitas keilmuan tidak mengenal batas biologis. Dalam kerangka mubadalah, kepemimpinan bukan soal siapa yang memerintah, tetapi siapa yang berbuat adil.
Lebih dari itu, kehadiran mereka membawa warna baru bagi interpretasi hukum keluarga Islam di Indonesia. Isu-isu seperti dispensasi kawin, hak asuh anak (hadhanah), dan kesetaraan hak ekonomi suami-istri akan semakin kaya maknanya bila dilihat melalui lensa mubadalah.
Perspektif perempuan yang memahami kompleksitas sosial dan psikologis keluarga akan melengkapi pandangan normatif yang selama ini dominan dari sisi laki-laki. Dengan demikian, keputusan hukum yang dihasilkan bukan hanya sah secara yuridis, tetapi juga berkeadilan secara moral dan sosial.
Kita juga perlu membaca peristiwa ini sebagai refleksi dari transformasi kelembagaan Mahkamah Agung. Reformasi peradilan tidak cukup dengan digitalisasi sistem perkara atau percepatan administrasi, tetapi juga memerlukan reformasi cara berpikir hakim dari paradigma hirarkis menuju paradigma kesalingan.
Di sinilah nilai mubadalah menegaskan dirinya membangun ruang dialog di mana keadilan tidak lahir dari dominasi, melainkan dari kolaborasi nurani.
Keadilan yang Menyapa Kesetaraan
Peradilan agama hari ini sedang menapaki fase baru: fase ketika integritas, kecerdasan, dan empati menjadi satu tarikan napas dalam menegakkan keadilan.
Pengangkatan dua hakim agung perempuan di Kamar Agama bukan sekadar pencapaian individual, melainkan momentum spiritual bagi institusi peradilan untuk menegaskan kembali jati dirinya sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Nilai mubadalah hadir untuk mengingatkan bahwa hukum Islam sejatinya diturunkan untuk memuliakan manusia baik laki-laki maupun perempuan sebagai mitra sejajar dalam membawa cahaya keadilan di bumi.
Di tengah gelombang perubahan sosial dan teknologi, teori mubadalah memberikan arah baru bagi dunia hukum Islam keadilan yang tidak kaku pada teks, melainkan lentur terhadap konteks, keadilan yang tidak menindas, tetapi merangkul, keadilan yang tidak menghakimi, tetapi menyembuhkan. Paradigma kesalingan ini menjadi penting bagi hakim, karena setiap putusan bukan hanya hasil pertimbangan yuridis, melainkan juga cerminan kesadaran spiritual dan kemanusiaan.
Pengangkatan dua hakim perempuan di Mahkamah Agung adalah cermin bahwa peradilan agama mampu beradaptasi dengan zaman tanpa kehilangan akarnya. Ia menegaskan bahwa Islam tidak pernah memusuhi perempuan, justru memuliakan mereka sebagai penjaga nurani keadilan.
Selama prinsip mubadalah hidup dalam hati para hakim, keadilan tidak akan lagi berdiri di satu sisi. Ia akan berdiri di tengah menyapa semua, tanpa membedakan siapa pun.
Pada akhirnya, keadilan bukan sekadar keputusan hukum, tetapi gema nurani yang tumbuh dari kesalingan. Ketika dua hakim perempuan (Lailatul Arofah dan Muhayah) berdiri di puncak Mahkamah Agung, mereka tidak hanya membawa nama dirinya, melainkan menghadirkan semangat mubadalah bahwa keadilan lahir dari perjumpaan dua pandang rasionalitas dan kasih sayang, teks dan konteks, hukum dan kemanusiaan.
Peradilan agama kini sedang menulis bab baru dalam sejarahnya: bab di mana suara perempuan bukan sekadar pelengkap, tetapi penafsir yang ikut menyalakan cahaya keadilan.
Selama prinsip kesalingan ini terjaga, hukum Islam akan terus hidup bukan sebagai dogma yang membeku, tetapi sebagai rahmat yang menyejukkan, yang menuntun manusia menuju martabat yang setara di hadapan Tuhan dan sesamanya.