Penegakkan Hukum Tindak Pidana Korupsi melalui Paradigma Disrupsi di Indonesia

Korupsi dapat dipahami sebagai sebuah praktek penyalahgunaan kekuasaan maupun wewenang yang dimiliki untuk mendapat suatu manfaat
Ilustrasi korupsi. Foto freepik.com
Ilustrasi korupsi. Foto freepik.com

Korupsi dapat dipahami sebagai sebuah praktek penyalahgunaan kekuasaan maupun wewenang yang dimiliki untuk mendapat suatu manfaat dari tindakannya melalui cara-cara yang melanggar hukum. 

Praktik korupsi tidak hanya bisa dilakukan secara individu namun juga bisa dilakukan secara berkelompok dan sering kali tergantung seberapa besar suatu hal yang dikenai praktek korupsi.

Kata korupsi pastilah sering didengar oleh masyarakat dan kita sendiri sebagai rakyat sekaligus individu yang tinggal di Indonesia. 

Dengan familiarnya kita terhadap fenomena korupsi, maka tidak salah jika sebagian pihak ada yang mengatakan bahwa korupsi sejatinya telah menjadi budaya di Indonesia. 

Berbicara mengenai korupsi maka tidak lepas juga menyangkut perihal kekuasaan, dimana Lord Acton berpendapat “power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” atau jika diterjemahkan kekuasaan cenderung memberi kesempatan untuk korup, dan jika kekuasaan berlaku mutlak maka korupsi juga akan berlaku mutlak disana.

Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam. Salah satu daerah di Indonesia yang kaya akan sumber daya alam, seperti batu bara adalah Kalimantan Selatan. 

Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam termasuk di Kalimantan Selatan tersebut diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hal itu tidak lepas dari prinsip negara hukum yang dianut Indonesia. 

Indonesia adalah negara hukum modern (W. Friendman, 1971). Hal ini bisa dilihat secara konstitusional, misalnya pada rumusan tujuan negara yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, Mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan keadilan soisal. 

Normatifisasi tujuan negara tersebut, khususnya memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial antara lain termuat dalam Pasal 33 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Disrupsi Dalam Dunia Peradilan Indonesia Dikaitkan dengan Penegakkan Hukum Tindak Pidana Korupsi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disrupsi memiliki arti hal yang tercabut dari akarnya. Apabila ditarik ke fenomena saat ini maka disrupsi diartikan sebagai keadaan dimana terjadi suatu perubahan yang besar, yang menyebabkan berubahnya sebagian besar atau bahkan keseluruhan tatanan dalam kehidupan masyarakat. 

Lebih lanjut dijelaskan dalam KBBI, Era Disrupsi adalah masa dimana perubahan-perubahan yang terjadi disebabkan karena adanya inovasi yang begitu hebat sehingga mengubah sistem dan tatanan kehidupan masyarakat secara luas. 

Kata disrupsi ini pertama kali diperkenalkan oleh Clayton Christensen melalui bukunya yang berjudul The Innovator’s Dilemma, pada tahun 1997.

Mahkamah Agung memiliki peran yang besar untuk dapat melakukan berbagai inovasi yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat. 

Salah satu disrupsi besar dalam dunia peradilan terjadi pada 2018. Terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018, yang kemudian disempurnakan melalui Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2019 tentang administrasi perkara dan persidangan di pengadilan secara elektronik yang kemudian diubah dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2022, bertujuan untuk memenuhi azas peradilan yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan.

PERMA ini merupakan landasan dari implementasi aplikasi e-Court di dunia peradilan Indonesia. 

Inovasi berikutnya adalah Elektronik Berkas Pidana Terpadu yang disingkat e-BERPADU melalui kebijakan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2022 merupakan aplikasi yang bertujuan membantu dan memberikan kemudahan bagi pelaksanaan tugas pengadilan dan aparat penegak hukum terkait dalam rangka menyelenggarakan proses peradilan bagi para pihak mulai dari penyidik kepolisian, kejaksaan, KPK, dan penyidik lain seperti BNN atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), penuntut umum Kejaksaan dan KPK, Lembaga Pemasyakatan (LP)/Rumah Tahanan (Rutan), terdakwa atau keluarganya, advokat dan masyarakat umum lainnya terutama masyarakat pencari keadilan. 

Layanan ini pun berlaku dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi yang disidangkan di seluruh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. 

Disrupsi lain yang bersinggungan dalam penegakkan hukum tindak pidana korupsi berupa Smart Majelis, aplikasi robotika berbasis kecerdasan buatan untuk memilih majelis hakim secara otomatis, dengan menggunakan berbagai faktor antara lain pengalaman, kompetensi dan beban kerja hakim, mempertimbangkan jenis perkara yang akan diadili agar para hakim yang dipilih memiliki keahlian yang sesuai dengan perkara yang ditangani. 

Selain itu ada pula Court live streaming, yakni aplikasi yang memungkinkan masyarakat untuk menyaksikan pembacaan amar putusan kasasi dan penijauan kembali secara langsung melalui live streaming.

Penutup

Paradigma disrupsi dunia peradilan Indonesia bergantung pada kesungguhan transformasi administrasi dan persidangan di pengadilan secara elektronik yang merupakan pembaruan dalam rangka mencapai cita-cita untuk mewujudkan proses peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, dengan tetap berpegang pada 10 prinsip pedoman perilaku hakim dan 7 nilai utama peradilan. 

Mewujudkan keadilan merupakan esensi dari pembentukan UU Kekuasaan Kehakiman, yakni UU No. 48 Tahun 2009. Ketentuan Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman secara lugas menyatakan, “Pengadilan membantu mencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan”. 

Oleh karena itu Mahkamah Agung dan Pengadilan tidak boleh berhenti untuk senantiasa melakukan transformasi dalam proses peradilan. 

Selanjutnya paradigma tersebut menjadi terwujud apabila MA dan Pengadilan mendapatkan jaminan keamanan dan kesejahteraan yang yang memadai dan mendapatkan sumber daya manusia (SDM) yang cakap dan menguasai teknologi informasi serta memiliki passion yang kuat untuk membangun “industri” peradilan. Termasuk dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia.

Tak hanya itu, perlu adanya sinergitas antara masyarakat dan pemerintah dalam hal pemberantasan korupsi yang ada di Indonesia dalam menghadapi fenomena disrupsi, Hakim dan aparatur peradilan selaku operator/pelaksana, tidak boleh meninggalkan 10  prinsip pedoman perilaku hakim adil, jujur, arif bijaksana, mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjungjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati, profesional dan 7 nilai utama peradilan, kemandirian kekuasaan kehakiman, integritas dan kejujuran, akuntabilitas, responsibilitas, keterbukaan, ketidak berpihakan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum. 

Untuk menjaga agar hakim dan aparatur peradilan memegang teguh dan mengamalkan 10 prinsip dan 7 nilai utama tersebut harus diperhatikan faktor keamanan dan kesejehteraan mereka agar tidak terancam atau tergoda oleh kekuasaan lain seperti suap, gratifikasi dan lain-lain.